Penulis Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942; Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan di Indonesia. Pengurus Komunitas Noong.
Fadly Rahman* Setiap bangsa punya sejarah. Sejarah sendiri hakikatnya ditulis untuk menyadarkan kesadaran terhadap jejak masa lalu seb...
Bagaimana Sejarawan Menggoreng Fakta Sejarah?
Fadly Rahman*
Setiap bangsa punya sejarah. Sejarah sendiri
hakikatnya ditulis untuk menyadarkan kesadaran terhadap jejak masa lalu sebuah
bangsa untuk lantas direfleksikan dalam menjalani hidup kekinian dan keakanannya.
Ada ungkapan umum bahwa bangsa yang sadar sejarah adalah bangsa yang peka
dalam membaca tanda-tanda zaman. Pun mawas diri untuk tidak terjerembab jatuh
mengulangi kesalahan yang pernah terjadi pada masa lalu.
Konteks dari sejarah yang menyadarkan
itu tidak bisa lepas dari fungsi sejarah sebagai ilmu. Sebagai ilmu, sejarah
berpijak pada filsafat, metode, dan metodologi yang ditunjang oleh pembacaan
dan pendalaman terhadap sumber-sumber—baik primer maupun sekunder). Kebutuhan
sejarah terhadap sumber menandakan “sejarah sebagaimana dituliskan” (history as written) berbeda dengan
“sejarah sebagaimana terjadi” (history as
actually happened).
“Sejarah sebagaimana dituliskan”
berupaya merekonstruksi “sejarah sebagaimana terjadi” melalui pendekatan sumber-sumber.
Rekonstruksi atas masa lalu itu sendiri menandakan seorang sejarawan tak
mungkin bisa sepenuhnya mengisahkan masa lalu secara riil sebagaimana terjadi
pada masa lalu. Untuk bisa setidaknya mendekati apa yang terjadi pada masa
lalu, sejarawan membutuhkan sumber-sumber hingga pendekatan lintas disiplin
ilmu.
Sumber-sumber yang digunakan itu
sendiri diperoleh tidak secara sembarangan dan serampangan, apalagi dibuahi
dari mimpi dan lamunan. Untuk memperolehnya harus melalui tahapan heuristic, yakni proses penelusuran
pustaka, naskah, dokumen, dan arsip.
Di dalam sumber terkandung data-data
yang perlu diverifikasi, dikritik dan diinterpretasi untuk menghasilkan fakta
sejarah. Artinya, fakta sejarah tidak mudah begitu saja diucapkan dan
dituliskan apalagi dinyatakan sebagai suatu yang obyektif. Fakta sejarah harus
dihasilkan melalui proses riset terhadap sumber yang dikaji secara saksama dan kritis.
Sejarawan E.H. Carr dalam What is History? (1990) menyatakan bahwa
sejarah adalah kumpulan tulisan fakta yang ditemukan. Dalam buku yang terbit
perdana tahun 1960 itu, Carr menjelaskan definisi fakta sejarah melalui
ilustrasi bagus: “The facts are available
to the historian in documents, inscriptions and so on, like fish in the
fishmonger’s slab. The historian collects them, takes them home, and cooks and
serves them in whatever style appeals to him.”
Proses menemukan fakta sebagaimana
Carr ilustrasikan itulah yang menentukan tertib tidaknya imajinasi seorang
sejarawan dalam menafsirkan fakta demi merekonstruksi masa lalu. Namun Carr
menyiratkan di ujung kalimatnya, bahwa fakta tak lepas dari selera yang
diinginkan atau bahkan disukai oleh seorang sejarawan. Selera inilah yang
memungkinkan fakta sejarah yang ditemukan sejarawan, baik disadari atau tidak
maupun disengaja atau tidak, tidak berarti selalu menyadarkan; justru
sebaliknya dapat menyesatkan pembacanya. Bayangkan, jika tidak melalui proses “menggoreng”
fakta yang matang, siapapun dapat bebas berimajinasi dan membuahkan fakta-fakta
manipulatif bahkan bualan.
Ya, fakta sejarah memang dapat
“digoreng” sekehendak hati dan pikiran sejarawan. Tidak heran bagi kalangan
sejarawan tertentu, fakta sejarah jadi hidangan paling gurih dan renyah untuk
dimanipulasi. Mereka yang menulis sejarah untuk dan atas kepentingan pesanan
penguasa dan pengusaha galibnya berpeluang untuk melakukan perekayasaan fakta.
Dengan menutup-nutupi fakta yang
dinilai buruk bagi citra sejarah sebuah bangsa dan sesosok tokoh sangat mungkin
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan sebuah rezim dapat hilang dari teks-teks
sejarah nasional. Perekayasaan fakta sejarah memang banyak terjadi di berbagai negara
seperti kebijakan kurikulum pendidikan sejarah di Jepang yang menutupi
kejahatan perang militernya pada masa Perang Dunia II atau manipulasi sejarah
oleh rezim Orde Baru di Indonesia yang dalam teks-teks sejarah menutupi peristiwa
genosida pasca1965. Ini merupakan masalah serius terlebih menjadi lebih serius
masalahnya jika publik tidak menyadari manipulasi sejarah telah mengelindaninya
secara sistematis dan masif.
Fakta-fakta yang ditemukan sejarawan akan
memengaruhi kesadaran kolektif pembacanya. Jika pembaca kritis, maka fakta-fakta
dapat dikritik olehnya. Namun jika sebaliknya, mereka bakal terperdaya dan
menerima bahkan mengimani begitu saja berbagai dusta dan bualan dari fakta sejarah
sekalipun yang menuliskannya bukan dari kalangan sejarawan.
Fakta-fakta bualan temuan “sejarawan dadakan”
nyatanya pernah banyak beredar dalam beragam publikasi “buku sejarah”–begitu
diklaim penulis maupun pembacanya–di Indonesia yang beredar di toko-toko buku dan
di media-media daring. Mulai dari kisah Candi Borobudur peninggalan Nabi
Sulaiman; Majapahit kerajaan Islam dan Gajahmada seorang muslim: hingga Napoleon
Bonaparte yang diduga muslim dari Makassar. Di antaranya bahkan masuk dalam
kategori best-seller dan berjajar
rapi di rak-rak perpustakaan.
Padahal jika ditilik saksama,
sumber-sumber yang dipakai sebagai bahan penulisannya amat jauh dari praktik
ilmu sejarah. Jangankan bicara metode dan metodologi sejarah serta sumber
primer, rujukan sumber yang dipakainya pun banyak melacak dari internet dengan
fakta-fakta yang jelas tidak bisa dipertanggung-jawabkan kesahihannya. Meski
begitu, karya “uthak-athik gathuk” ini justru banyak dibaca dan disukai
khalayak yang awam terhadap pengetahuan sejarah. Mengapa bisa begitu? Tak bisa
dipungkiri, rendahnya kesadaran literasi sejarah, menjadi sebab para pembaca
awam menjadi sasaran para penulis “uthak-athik
gathuk” ini.
Fakta-fakta sejarah bualan itu bahkan
menjadi lelucon yang viral di media sosial. Ya, seolah ini hiburan yang dapat dijadikan
sebagai “obat awet muda”. Tapi, jangan sampai sejarawan terlena. Jika praktik menggoreng
fakta semacam ini dibiarkan tersaji hingga publik menikmati dan memper-cayainya
sebagai fakta sejarah, maka artinya kewibawaan sejarawan dan ilmu sejarah sendiri
bisa-bisa terkangkangi oleh “ilmu uthak-athik
gathuk” ini.
Ketika sejarawan menganggapnya sebagai
hal tak patut diseriusi, bukan mustahil rezim politik atau pihak-pihak tertentu
leluasa memancing keuntungan di air keruh dengan memanipulasi fakta sejarah. Ini
jelas merupakan tantangan penting bagi sejarawan agar lebih serius menggoreng fakta
sejarah sematang mungkin sebelum disajikan dan dinikmati oleh publik.
Pengajar di Departemen Sejarah, UNPAD
Penulis Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942; Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan di Indonesia. Pengurus Komunitas Noong.
Penulis Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942; Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan di Indonesia. Pengurus Komunitas Noong.
Analisis peranan penting dilihat untuk menimbang bagaimana sebuah pengetahuan itu diproduksi lantas didistribusikan ke masyarakat. Seperti y...
Sejarah, Fakta Sejarah, dan Sejarawan
Analisis peranan penting dilihat untuk menimbang bagaimana sebuah pengetahuan itu diproduksi lantas didistribusikan ke masyarakat. Seperti yang dikatakan Berger dan Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966), hal itu akan mengungkap mediasi pengetahuan antara alam semesta makroskopis dengan individu dalam masyarakat.
Nah, kita akan mendsikusikan lebih lanjut dengan topik bahasan "Sejarah, Fakta Sejarah, dan Sejarawan" yang akan dipantik oleh Fadly Rahman. Seperti yang kita ketahui, kenyataan objektif yang dicerap oleh sejarawan belum tentu sama antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kita perlu untuk membahas bagaimana fakta sejarah itu disikapi oleh pegiat ilmu sejarah itu sendiri.
Pada pertemuan ini kita akan mulai membahas salah satu dari ketiga buku yang disusun Kelas Historiografi Sulur. Kita akan masuk dalam perdebatan tentang historiografi itu lewat buku What is History karangan E.H Carr. Jangan lupa untuk membacanya dulu, kawan-kawan.
Untuk jadwal kelas khusus minggu ini akan dialihkan pada hari Rabu dengan waktu yang sama, bertempat di Ruang B1.01, FIB Unpad (Ruang kelas Taman Gorky). Kami tunggu kehadirannya, lur~
Nah, kita akan mendsikusikan lebih lanjut dengan topik bahasan "Sejarah, Fakta Sejarah, dan Sejarawan" yang akan dipantik oleh Fadly Rahman. Seperti yang kita ketahui, kenyataan objektif yang dicerap oleh sejarawan belum tentu sama antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kita perlu untuk membahas bagaimana fakta sejarah itu disikapi oleh pegiat ilmu sejarah itu sendiri.
Pada pertemuan ini kita akan mulai membahas salah satu dari ketiga buku yang disusun Kelas Historiografi Sulur. Kita akan masuk dalam perdebatan tentang historiografi itu lewat buku What is History karangan E.H Carr. Jangan lupa untuk membacanya dulu, kawan-kawan.
Untuk jadwal kelas khusus minggu ini akan dialihkan pada hari Rabu dengan waktu yang sama, bertempat di Ruang B1.01, FIB Unpad (Ruang kelas Taman Gorky). Kami tunggu kehadirannya, lur~
Kelana Wisnu “Mengapa dimulai dengan Herodotus?” adalah pertanyaan pembuka yang dilemparkan Gani Ahmad Jaelani sebagai pemantik diskusi ...
Catatan Diskusi Herodotus Sang Pendusta
Kelana Wisnu
“Mengapa dimulai dengan Herodotus?” adalah pertanyaan pembuka yang dilemparkan Gani Ahmad Jaelani sebagai pemantik diskusi pertama Komunitas Sulur. Pertanyaan itu membuat para peserta diskusi yang berasal dari jurusan sejarah, sastra, dan umum memfokuskan diri untuk mengikuti jalannya diskusi. Gani melanjutkan, bahwa pentingnya membahas Herodotus adalah sebagai pintu masuk untuk melihat perdebatan dalam historiografi, perihal predikat “tukang bohong” yang dialamatkan kepada Herodotus adalah titik awal perdebatan historiografi yang mungkin paling tua dalam sejarah.
Persoalan
itu dimulai dari catatan perjalanan Herodotus yang dijadikan buku berjudul Histories, terdiri dari sembilan jilid,
menceritakan Perang Persia yang terjadi satu generasi sebelum sang penulis
hidup dan catatan faktual tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Timur.
Apa yang disampaikan oleh Gani adalah upaya untuk menjelaskan kembali secara
verbal materi diskusi yang diunggah di laman Sulur berjudul “Herodotus Bapak Sejarah Tukang Kibul”. Persoalan ini dianggap penting karena selain sebagai
pintu masuk terhadap perdebatan tentang historiografi, posisi Herodotus sebagai
seorang “sejarawan” dapat dipahami sebagai proses dialektis yang terjadi dalam
ruang dan waktu yang cukup panjang.
Kenapa Herodotus tidak dianggap sebagai seorang sejarawan adalah karena pengamatannya
yang tidak bersandarkan pada penglihatan langsung, melainkan lewat
penuturan (oral). Metode yang digunakan oleh Herodotus
dianggap tidak lazim karena memungkinkan terjadinya distorsi informasi yang diterima
oleh penulis. Hal ini pula yang membuat Thucydides, penulis Perang Peloponesia menganggap klaim
Herodotus tidak aman karena ia tidak hidup pada zaman di mana peristiwa yang
ditulis Herodotus terjadi. Gani pun menjelaskan keterkaitan masalah ini dengan etimologi kata history yang berasal dari kata istoria yang kurang lebih berarti
penglihatan, maka tak heran jika pada mulanya ilmu pencatatan ini berbasiskan pada pengamatan yang langsung oleh mata bukan lewat lisan, seperti yang dilakukan juga
oleh ilmu kedokteran.
Beratus
tahun kemudian setelah predikat tukang bohong melekat pada Herodotus, zaman
pencerahan tiba. Para intektual mulai meneliti kembali teks-teks Herodotus.
Seiring semangat zaman yang melihat sejarah lewat dokumen-dokumen tertulis,
karya-karya Herodotus kembali diperbincangkan. Apa yang dilakukan oleh
Herodotus dianggap lumrah. Namanya pun selamat, predikat “bapak tukang bohong”
itu berubah menjadi bapak ilmu sejarah, bahkan disebutkan pula jika Thucydides,
salah satu pengkritik awal Herodotus sekaligus sebagai tokoh penting dalam perdebatan
historiografi, hidup di masa depan, mungkin ia akan menganggap lumrah apa yang
dilakukan oleh Herodotus. Seperti yang disebut sebelumnya, Herodotus tidak
ujug-ujug menjadi bapak ilmu sejarah.
Diskusi ini
pun memancing pertanyaan-pertanyaan yang cukup menarik, salah satu pertanyaan
itu datang dari Fadly Rahman. Ia mengatakan bahwa posisi Herodotus sebagai
“bapak sejarah” adalah sesuatu yang “taken
for granted”, diterima apa adanya tanpa proses kritik. Hal ini menurutnya
merupakan sebuah bentuk mistifikasi sebuah ilmu yang sering dilakukan tanpa
disadari oleh siapa pun. Ia meneruskan tanggapannya itu dengan bertanya, apakah selama ini pernah
dijumpai perdebatan Herodotus sebagai bapak sejarah selain yang disebut oleh Gani
dalam pengantarnya.
Tanggapan sekaligus pertanyan yang dilontarkan Fadly memicu sebuah diskusi yang menarik, yang mengarahkan diskusi
untuk menyinggung lebih lanjut perihal tataran sejarah sebagai fakta dalam
konteks yang lebih jauh. Memitoskan sesuatu dewasa ini oleh Gani dianggap
berbahaya karena tidak sepenuhnya sejarah yang ditulis oleh para sejarawan di
masa lalu atau di masa kini benar-benar objektif atau bertopang pada fakta yang
akurat. Akibat pertanyaan tersebut diskusi menjadi lebih mengarah pada perbincangan mengenai apa
yang dianggap sebagai fakta dan mitos dalam sejarah. Yakni, fakta adalah
sebuah rekonstruksi.
Lebih jauh,
contoh yang diberikan adalah bahaya klaim-klaim dalam penulisan sejarah tadi.
Memistifikasi sejarah sebagai fakta adalah hal yang kurang arif, karena sang penulis atau pembuat klaim tidak terlepas dari afiliasinya dalam konteks sosial-politik. Praktik
semacam inilah yang terkadang membuat manipulasi sejarah dilembagakan. Mungkin
di sinilah posisi Herodotus menjadi penting, seperti apa yang ia lakukan, menempatkan posisi orang
non-Yunani dalam tulisannya yang membuat sejarah itu ditulis untuk merekam pandangan
dari dua belah pihak. Meskipun pilihannnya ini membuatnya dijuluki pecinta kaum
barbar.
Obrolan diskusi yang semakin mengarah pada perdebatan antara fakta dan mitos dalam sejarah itu membuat
pertanyaan-pertanyaan lainnya timbul. Salah satunya datang dari Budi Gustaman
yang menyoal Homerus yang juga dianggap sebagai bapak sejarah dalam buku Greek Tragedy and Historian yang
disunting oleh Christoper Pelling. Ia pun menanyakan kesahihan dokumen sejarah
tradisional seperti babad dalam penulisan sejarah. Dalam dokumen sejarah
tradisional yang kita miliki, semisal Babad
Tanah Jawi, tidak lepas dari mitos. Lalu, bagaimana memperlakukan dokumen
sejarah tradisional itu sebagai rujukan penulisan sejarah? Menurutnya pula
berdasarkan pengalamannya belajar ilmu sejarah, dewasa ini menulis sejarah sudah
tidak lagi berurusan dengan mana yang mitos dan mana yang fakta.
Pemaparan
dan pertanyaan itu memancing untuk mendiskusikan mengenai fakta dan mitos lebih
lanjut—tidak
heran jika pertanyaan yang muncul setidaknya menyoal mistifikasi karena tema pokok diskusi kali ini berkaitan dengan mitos yang berkaitan dengan bapak ilmu sejarah. Gani menjawab
bahwa historiografi tradisional bisa dilihat sebagai fakta dari representasi
bahasa simboliknya. Pernyataan ini berbuah sebuah respon beberapa peserta diskusi yang menanggapi secara spontan perihal cara berhadapan dengan teks, dalam hal ini karya sastra. Apakah karya sastra dapat
dilihat sebagai sumber sejarah atau sebuah penulisan sejarah dapat dianggap
fiksi? Mungkin pertanyaan ini akan didiskusikan dalam pertemuan
kelas Sulur selanjutnya.
Ketika
diskusi hampir berakhir, Fadly menambahkan bahwa perwacanaan mengenai
historiografi Indonesia penting untuk didiskusikan karena wilayah itu sangat
minim hadir dalam perbincangan. Ia juga menjadi penasaran tentang apa saja yang ditulis oleh Herodotus dalam sembilan jilid buku mengenai perang Persia dan negeri-negeri Timur itu, dengan berandai-andai ia juga berpendapat bahwa mungkin saja dalam buku itu banyak terberai catatan perihal kehidupan sehari-hari, semisal cara memasak dsb. Pendapat Fadly yang paling terakhir mengingatkan kita pada buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, buku tersebut adalah buku sejarah yang menggunakan metode lisan, di dalamnya pula terdapat cerita sehari-hari seperti cara memasak, bercocok tanam, dst. Diskusi Sulur
pada hari Senin (19/02/17) berakhir, di luar Perpustakaan Batu Api hujan pun menanti, Herodotus tersenyum menari.
(sulur.id - kln)
(sulur.id - kln)
Gani Ahmad Jaelani * Herodotus dikenal sebagai bapak ilmu sejarah, sekaligus tukang kibul. Kalau peletak dasar ilmu sejarah memiliki rep...
Herodotus Bapak Sejarah Tukang Kibul
Gani Ahmad Jaelani*
Herodotus dikenal sebagai bapak ilmu sejarah, sekaligus tukang kibul. Kalau peletak dasar ilmu sejarah memiliki reputasi tidak jujur, maka bisa dibayangkan bahwa ilmu sejarah dibangun di atas tumpukan kebohongan dan mereka yang mengikuti jejaknya–para sejarawan–juga tidak lebih dari sekumpulan para pendusta. Kenyataan ini tentu sangat mengganggu para praktisi ilmu sejarah, terutama mereka yang mengklaim bahwa keilmuan yang dipraktikkannya sangatlah objektif dan memproduksi kebenaran. Sebab, tuduhan dusta dan pabrik kebohongan benar-benar menghancurkan fondasi keilmuan sejarah. Tapi, apakah benar memang demikian? Apakah benar Herodotus adalah seorang mendaciorum patrem, bapak tukang kibul?
Jawaban atas pertanyaan itu adalah positif pada satu masa dan negatif pada masa lain. Artinya, pada satu masa, ia dikenal sebagai tukang kibul, tapi pada masa yang lain ia dikenal sebagai bapak ilmu sejarah. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencari tahu hal-hal apa saja yang membuat ia dianggap tukang kibul dan apa pula yang membuat dianggap sebaliknya.
Telinga Si Pendongeng
Saya akan memulai dari apa yang menjadi akar permasalahan Herodotus, entah itu sebagai bapak ilmu sejarah atau si tukang kibul, yakni karyanya yang berjudul Histories. Terdiri dari sembilan jilid, terbit sekitar tahun 426 SM, kemungkinan setelah sang penulis meninggal (Evans, 1968: 12), setidaknya ada dua hal yang menjadi fokus karya ini: pertama, kisah perang persia yang terjadi satu generasi sebelum sang penulis hidup; kedua, catatan perjalanan tentang kondisi aktual peristiwa-peristiwa yang terjadi negeri-negeri Timur (Momigliano, 1958: 2).
Histories, judul karya Herodotus, pada masa ketika ia menulis, merupakan sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang menyandarkan cara bagaimana pengetahuan itu diperoleh kepada mata dan penglihatan. Ini bisa dilihat dari akar katanya: historia merupakan turunan dari histôr yang memiliki akar (wid) bermakna "melihat", dan juga memiliki kata kerja oida, yang memiliki arti "saya mengetahui". Demikian histôr bisa diartikan sebagai "seseorang yang mengetahui karena menyaksikan", dan historiē bermakna suatu pengetahuan yang didasarkan secara spesifik pada kesaksian visual (Darbo-Peschanski, 2007: 28).
Mata atau opsis merupakan basis material utama untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini kemudian sering dipertentangkan dengan telinga dan pendengaran atau akoē. Pengetahuan yang diperoleh melalui telinga dianggap kurang sahih. Dengan kata lain, pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian orang lain, yang disebarkan dari mulut ke mulut, tingkat kesahihannya lebih rendah dibandingkan dengan pengetahuan yang diperoleh oleh penglihatan langsung sang subjek. Paradigma berpikir seperti ini, yang beranggapan bahwa dasar ilmu pengetahuan adalah mata dan penglihatan, mirip dengan paradigma ilmu kedokteran yang dioperasikan oleh Hippocrates dan juga ilmu alam, yakni autopsi (yang juga turun dari kata opsis): bahwa seorang peneliti hanya bisa mendeskripsikan sesuatu yang disaksikannya sendiri (Schepens, 2007: 43–48).
Berdasarkan pengartian historia sebagai sebuah pengetahuan yang didasarkan pada kesaksian mata, maka apa yang dilakukan oleh Herodotus jelas tidak memenuhi itu. Pertama, tulisannya tentang Perang Persia dianggap tidak valid karena Herodotus tidak menyaksikannya secara langsung. Kedua, catatannya tentang kondisi-kondisi aktual negeri-negeri Timur, memang diamatinya secara langsung, tapi ia tidak mengerti bahasa dari negeri-negeri itu, karena itulah pengetahuan yang diperolehnya pun dipertanyakan. Demikian, Herodotus dianggap telah menulis sebuah peristiwa yang tidak ia saksikan sendiri dan melakukan pengamatan langsung sebuah negeri yang bahasanya tidak ia mengerti. Dalam kerangka inilah kemudian muncul gagasan bahwa Herodotus menyembunyikan sumber-sumber yang dirujuknya, yang karenanya ia juga dituduh telah melakukan plagiarisme, atau merekayasa data (Momigliano, 1958: 5). Dari sinilah muncul kemudian reputasi dirinya sebagai si tukang kibul.
,
Thucydides, sang penulis Perang Peloponesia, bisa dikatakan sebagai pengkritik pertama dari bangunan pengetahuan Herodotus (Harto, 2007: 92). Menurutnya, menulis sejarah dengan cara Herotodotus dianggap kurang aman. Sebab, untuk menulis sejarah yang benar, seseorang haruslah hidup sezaman dengan peristiwa yang ditulisnya untuk memahami apa-apa yang dikatakan dan dirasakan oleh mereka yang terlibat di dalam peristiwa itu. Sejarah yang sahih, menurutnya, tidaklah terkait dengan masa lalu, tapi lebih dengan masa kini, juga tidak bisa membahas negeri-negeri jauh, tapi menulis tempat-tempat yang kita hidup di dalamnya dan mengerti bahasa dan kebiasaannya (Momigliano 1958, 3–4).
Persoalan cara kerja historia yang mengandaikan kesaksian langsung memang sudah menjadi pakem pada masa itu. Sekalipun mengoperasikan sebuah produk pengetahuan yang didasarkan pada pengamatan langsung, Thucydides menghindari penggunaan istilah historia sebagai judul karyanya (ia cukup memberi judul Perang Peloponesia).
Para filsuf di masa itu juga berada pada posisi yang mendukung bahwa melihat merupakan instrumen pengetahuan. Xénophane, misalnya, mengatakan bahwa untuk mengetahui, maka orang harus sudah melihatnya. Aristoteles, dalam Métaphysique, menulis:
Dalam pandangan Heraclitus, "mata merupakan kesaksian yang paling meyakinkan dibandingkan dengan telinga" (dalam Hartog, 1980: 272–73).
Kami cenderung menempatkan penglihatan di atas segalanya. Sebab, penglihatan, dari segala sisi, merupakan sesuatu yang membuat kita bisa mendapat pengetahuan dan membuat kita menemukan perbedaan-perbedaan.
Dalam pandangan Heraclitus, "mata merupakan kesaksian yang paling meyakinkan dibandingkan dengan telinga" (dalam Hartog, 1980: 272–73).
Pertentangan mata dengan telinga sebagai sumber pengetahuan memang persoalan utama dalam kasus Herodotus si tukang kibul ini. Kita bisa menduga bahwa apa yang dilakukan oleh Herotodus lebih didasarkan pada telinga dan karenanya kurang bisa dipercaya. Ia mengumpulkan sebagian besar informasinya didasarkan pada tradisi lisan (Murray, 2007: 16). Dalam pandang sejarawan masa kini, apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang lumrah. Tapi pada masanya, justru itulah yang menjadi sasaran para pengkritiknya.
Penggunaan tradisi lisan sebagai sumber tulisannya menjadikan Herodotus dianggap sebagai seorang pendongeng (story-teller). Itulah kenapa ia dianggap tidak memedulikan kebenaran sebuah cerita, tapi lebih menekankan kesenangan telinga buat para pendengarnya (Evans, 1968: 12; Hartog, 2007: 59).
Kenapa Drajat Tradisi Lisan Lebih Rendah dari Kesaksian Mata?
François Hartog menjelaskan bahwa pengamatan langsung memiliki tingkat keakurasian yang tinggi karena untuk mencapai suatu pengetahuan ia melalui serangkaian prosedur verifikasi kesaksian untuk menghasilkan fakta setepat mungkin. Di sisi lain, telinga tidak pernah memberi kepastian. Sebab apa yang disampaikan dari mulut ke telinga tidak pernah bisa dibuktikan. Pada dasarnya kita tidak bisa menaruh kepercayaan kepada ingatan, sebab ia sangat riskan untuk lupa dan pada saat menyampaikan, terutama, selalu ada kecenderungan untuk menyampaikan sesuatu yang menyenangkan telinga (Hartog, 2007: 76).
Untuk memperjelas uraiannya, ia kemudian menyampaikan satu contoh, berupa kisah yang diambil dari karya Thucydides. Ketika Nicias, kepala ekspedisi Athena di Sicilia, hendak memberi peringatan kepada penduduk kota terkait suatu keadaan yang cukup kritis, ia kemudian mengutus para penyampai pesan, sesuatu yang cukup normal. Akan tetapi, khawatir si penyampai pesan lupa dan karenanya kemudian menyampaikan sesuatu yang tidak sebenarnya, tapi lebih menyampaikan informasi yang orang-orang ingin mendengarnya, maka ia kemudian memutuskan untuk menulis surat. Demikian, dalam pandangannya, orang kemudian akan kebenaran informasi yang utuh. Terkait lubang yang ada di dalam ingatan yang membuatnya menjadi rapuh sebagai sumber pengetahuan, Thucydides mempertegas bahwa tidak ada sejarah kecuali sejarah masa kini (Hartog, 2007: 76)
Sebetulnya, terkait ‘mata’ sebagai sumber pengetahuan yang lebih utama dibandingkan ‘telinga’, Herodotus juga tampak memahami ini. Dalam karyanya, ada satu kisah seorang raja Lydie bernama Candaule yang ingin meyakinkan orang kepercayaannya, Gyges, akan kecantikan istrinya. Ia menuduh Gyges tidak percaya kepada dirinya ketika ia berbicara tentang kecantikan istrinya. Tidak yakin akan kemampuan telinga untuk mencapai kebenaran, ia kemudian meminta Gyges untuk melihat langsung istrinya. Melihat dengan mata kepala sendiri merupakan puncak pencapaian pengetahuan (Hartog, 1980: 273). Hanya saja, secara keseluruhan, justru Herodotus melakukan sesuatu yang sebaliknya.
Selain Thucydides, para penulis generasi selanjutnya juga mengkritik Herodotus. Ctesias, seorang dokter Yunani yang bekerja di istana Persia satu generasi setelah Herodotus, menyampaikan catatan-catatan atas kekeliruan yang dilakukan oleh pendahulunya. Sebagai seorang dokter pribadi Artaxerxes II, dan hidup di negeri asing, ia lebih paham bahasa dan kebudayaan dari subjek yang ditulisnya. Atas dasar itulah ia banyak mengkritik catatan Herodotus tentang Persia dan India (Luce, 1997: 79).
Ekspedisi yang dilakukan oleh Alexander Agung telah membuka jalan pertemuan dengan negeri-negeri asing. Pertemuan ini juga telah memungkinkan orang untuk mendapat informasi dengan lebih sahih, berdasarkan pengamatan langsung, juga pengetahuan budaya dan bahasa yang jauh lebih baik. Itu juga berarti, sejumlah catatan kritis terhadap Histories-nya Herodotus pun bermunculan. Kritik-kritik itu juga semakin menegaskan bahwa sang Bapak Sejarah merupakan figur yang kurang bisa dipercaya. Sayangnya, menurut Momigliano, semua tulisan anti-Herodotus pada masa Hellenis ini hilang. Beruntung berkat De Herodoti Malignitate karya Plutarch, sejarawan yang hidup pada abad ke-1, bisa dikatakan mewakili keluhan-keluhan akan kredibilitas Herodotus (Momigliano, 1958: 6). Di dalam karyanya itu, Plutarch menyebut Herodotus sebagai philobarbaros, si pencinta kaum barbar. Tidak seperti para pengkritik sebelumnya, ia tidak memedulikan kenyataan bahwa apa yang diproduksi oleh Herodotus hanya sebuah dongeng, tapi ia lebih menyerangnya sebagai seseorang yang tidak jujur karena ia lebih mendahulukan kaum barbar ketimbang orang Yunani (Marincola, 2016: 104).
Terkait tuduhan Plutarch ini, Momigliano juga mengatakan bahwa itu bukanlah yang terburuk. Sebab, para penulis lain memiliki tuduhan yang lebih serius. Manethon menulis sebuah buku berjudul Contre Hérodote, sebuah karya yang mengupas kebohongan-kebohongan Herodotus terkait Mesir. Selain itu, beberapa karya lain, seperti On Herodotus Thefts karya Valerius Pollio, atau On Herodotus Lies karya Ælius Harpocration, begitu pula dengan buku karya Libanius Against Herodotus, merupakan contoh-contoh yang menunjukkan sampai batas mana sang Bapak Sejarah dikenal sebagai tukang bohong atau tidak jujur (Momigliano, 1958: 7; lihat juga Hartog, 1980: 305–6).
Menjadi Bapak Sejarah
Herodotus mendapat reputasi sebagai ‘tukang kibul’ karena ia tidak mengikuti aturan cara bekerja sebuah disiplin historia. Selain itu, keyakinan bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh secara valid melalui media ‘mata’, sementara ‘telinga’ kurang bisa dipercaya sebagai sumber pengetahuan juga membuat penelitian Herodotus kurang berharga. Reputasi ini bertahan selama berabad-abad, sampai ia kembali dibicarakan ulang, dengan perspektif yang baru pada masa Renaisans.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari upaya penerjemahan karya Herodotus ke dalam bahasa latin oleh Lorenzo Valla (1407-1457) pada tahun 1455. Perlu disebutkan bahwa sebelum penerbitan ini, reputasi Herodotus yang negatif di kalangan para pemikir Humanis tidak didasarkan atas pembacaan langsung karyanya. Mereka mendapat informasi lebih dari tulisan-tulisan berbahasa latin seperti Cicero dan Aulus Gellius. Terhadap Herodotus, posisi Cicero cukup ambigu, di satu sisi ia mengakui sebagai Bapak Sejarah, tapi di sisi lain ia juga menyebutnya sebagai tukang dongeng. Sementara itu Aulus Gellius menyebut Herodotus sebagai tukang dongeng. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa reputasi Herodotus lebih banyak disebabkan oleh pembacaan yang sepotong. Setelah tahun 1457 karya Herotodus bisa diakses secara keseluruhan melalui terjemahan Valla (Foley, 2016: 216–21).
Buah dari itu adalah penerbitan Apologia Pro Herodoto karya Henri Estienne pada tahun 1566. Karya ini merupakan titik balik dari reputasi Herodotus, sebab di dalamnya terdapat pembelaan yang begitu bersemangat terhadapnya. Estienne mengatakan bahwa untuk memercayai bahwa dongeng-dongeng yang disampaikan oleh Herodotus bisa dipercaya, orang cukup melihat peristiwa-peristiwa luar yang terjadi pada abad pertengahan dan pada masanya (Earley, 2016: 121). Di dalam karyanya Methodus ad facilem historiarum cognitionem, terbit tahun 1566, Jean Bodin mengatakan bahwa Herodotus merupakan seseorang yang mendapat gelar Bapak Sejarah dari Cicero, tapi para penulis pada periode Antik menuduhnya sebagai tukang kibul. Meskipun demikian dia juga mengakui bahwa tuduhan itu tidak bisa dibuktikan oleh mayoritas para penulis yang menuduhnya. Yang menarik adalah, bagi Bodin, Herotodus lebih diakui sebagai seorang pemikir politik. Menurutnya, orang bisa berdebat tentang kesahihan informasi dari karya Herodotus, tapi catatannya tentang bagaimana tatanan politik dibangun pada masanya merupakan sumbangan terhadap pemikiran politik yang sangat penting (Earley, 2016: 132–33).
Terkait kritik bahwa sejarah harus didasarkan kepada kesaksian mata, yang menjadi salah satu alasan kenapa Herodotus dituduh pembual, penggunaan dokumen sebagai sumber sejarah merupakan jawaban atas itu. Penggunaan kesaksian langsung dan tradisi lisan berakhir ketika sejarawan mulai mengakses arsip-arsip dan dokumen tertulis resmi. Tentu saja penggunaan sumber-sumber itu baru berjalan secara efektif sejak abad ke-19. Meskipun demikian para antikuarian zaman Yunani dan Romawi juga sudah mengetahui terkait penggunaan dokumen resmi ini, sebuah tradisi yang kemudian disempurnakan oleh para antikuarian di zaman Renaisans. Catatan-catatan resmi yang dikeluarkan oleh kerajaan bisa dianggap menggantikan kesaksian langsung. Selain itu bukti-bukti arkeologis, numismatik dan epigrafi juga merupakan sumber-sumber sejarah yang setara dengan kesaksian langsung. Dengan melakukan ekskavasi situs arkeologis, penelitian arsip, perbandingan koin-koin, membaca inskripsi kita dianggap sudah pergi ke masa lalu, menyaksikan masa lalu dengan rasa percaya diri tinggi seperti yang dulu Thucydides lakukan. Itulah kenapa kemudian ada ungkapan, seandainya ia hidup di masa kini, mungkin tidak akan menolak metode sejarahnya Herodotus (Momiglian, 1958: 8–9; Hartog, 1980: 291).
Tentu saja, “penemuan dokumen” bukan satu-satunya alasan kenapa reputasi Herodotus bisa pulih. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya ketertarikan yang baru terhadap persoalan etnografi. Kita tahu bahwa catatan Herodotus tentang negeri-negeri Timur merupakan bentuk dari pekerjaan etnografi. Pada abad ke-16 para sejarawan banyak melakukan perjalanan ke negeri-negeri asing, mereka mencatat apa-apa yang mereka saksikan. Aktivitas ini semakin dimungkinkan oleh banyaknya ekspedisi yang dilakukan untuk menjelajahi tempat-tempat baru di Amerika, Asia, dan Afrika. Pertemuan yang semakin intensif antara Barat dan Timur pada abad penjelajahan ini juga membuat orang kembali membicarakan karya Herodotus (Momigliano, 1958: 10).
Sebetulnya kritik terhadap Herodotus yang tidak mengikuti cara kerja historia pada zamannya, yang menyandarkan pengetahuan kepada ‘mata’ dan kesaksian langsung bisa dikatakan kurang relevan. Sebab Herodotus melalui karyanya bermaksud mengenalkan cara kerja penelitian yang orisinal. Ia berusaha mengombinasikan antara ‘mata’ (opsis), ‘telinga’ (akoē), dan ‘penalaran’ (gnōmē). Jacoby yang melakukan penelitian intensif terhadap Herodotus dan historiografi Yunani mengatakan bahwa
penggunaan kaitan etimologi antara oida dan ideîn memang sahih ketika dihubungkan dengan Thucydides, karena sang sejarawan memang menggunakan opsis dan akoē [dalam penelitiannya], tapi menerapkannya terhadap Herodotus adalah menyesatkan. Yang terakhir ini tidak mendasarkan pengetahuannya kepada opsis secara khusus… sebab baginya akoē, opsis dan bahkan gnōmē merupakan sumber pengetahuan yang setara kesahihannya. (dalam Hartog, 1980: 282)Demikian, untuk memproduksi pengetahuan, Herodotus menggunakan tiga metode : akoē, opsis, dan gnōmē. Herodotus juga memaknai historia sebagai sebuah aktivitas penyelidikan. Ketiga metode ini, dalam paradigma Herodotus, memiliki tingkat keakuratan yang setara. Wajar saja kalau Herodotus juga berulang kali menegaskan bahwa tugas dia adalah melaporkan apa yang dilihat dan didengar, terlepas orang akan memercayai atau tidak (Luraghi, 2006: 77–79).
Myres dalam bukunya Herodotus Father of History mengatakan bahwa klaim Herodotus sebagai bapak sejarah didasarkan pada rumusan akan pentingnya masa lalu dan pencapaian-pencapaian orang harus didokumentasikan. Artinya Herodotus membuat rumusan akan pentingnya kesadaran terhadap masa lalu, kebesaran yang pernah dicapai di masa lalu tidak boleh dilupakan. Meskipun demikian, ia juga menegaskan bahwa pencapaian-pencapaian besar ini bukanlah monopoli sekelompok orang. Itu yang menjelaskan kenapa ketika menulis Perang Persia, Herodotus berusaha menampilkan sisi lain, seperti pandangan-pandang orang non-Yunani terhadap orang Yunani, tindakan yang membuat dirinya mendapat julukan "si pecinta kaum barbar" dari Plutarch. Terakhir, Herodotus juga meletakan dasar kesadaran historis, bahwa tindakan-tindakan orang di masa lalu terdiri dari motif dan tujuan yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi material yang membentuknya. Pun ia menegaskan bahwa kondisi masa kini merupakan akibat dari tindakan di masa lalu, bahwa masa lalu merupakan bekal untuk menjalani hidup masa kini sebagai persiapan menyongsong masa depan. Gagasan ini sebagaimana dijelaskan Myers bisa dilihat di pengantar Histories-nya Horodotus. Dan itulah yang membuat dia kokoh sebagai bapak sejarah (Myres, 1953: 66).
Sebagai Bapak Sejarah, Herodotus bukanlah seorang sejarawan dalam pengertian masa kini. Ia mendapat reputasi itu karena meletakan dasar-dasar keilmuan sejarah. Histories sebetulnya bukan monopoli para sejarawan. Dalam pengertian lain, historia yang bermakna penyelidikan ini juga bisa diaplikasikan untuk kajian-kajian lain. Itulah kenapa, Herodotus juga merupakan pelopor dalam bidang etnografi (Bernadete 1969, 1–2).
Terkait tuduhan terhadapnya yang tidak kritis dalam menerima informasi lisan, tuduhan ini juga tidak sepenuhnya benar. Benardete dalam studinya tentang cara kerja Histories Herodotus memberikan contoh sampai batas mana dia melakukan kritik terhadap sumber. Disebutkan dalam buku ke-8 sebuah kisah tentang Xerxes, kisah yang Herodotus sendiri kurang meyakininya. Suatu ketika dalam perjalanan pulang setelah menaklukkan Salamis, Xerxes harus berlayar ke Eion. Ketika badai tiba-tiba menghadang, sang kapten kapal mengingatkan bahwa kapal akan karam kecuali bebannya dikurangi supaya menjadi lebih ringan. Xerxes kemudian meminta orang-orang Persia di kapal agar mereka mengutamakan keselamatan dirinya dengan cara lompat ke laut. Karena mereka taat dan kapal pun bisa selamat berlabuh. Xerxes kemudian mengatakan bahwa ia akan mengganjar sang kapten dengan emas karena telah menyelamatkan dirinya. Tapi ia juga akan memenggal kepala sang kapten sebagai hukuman karena telah membuat banyak orang-orang Persia kehilangan nyawa (Bernadete, 1969: 4).
Herodotus yang ragu akan kesahihan cerita ini kemudian meletakannya hanya sebagai dongeng, tapi ia tetap memasukkan kisah itu ke dalam tulisannya. Kalau merujuk ke Luraghi (2006) bisa jadi itu dilakukan karena Herodotus “hanya” melaporkan apa yang dilihat dan dengar. Sementara itu dalam pandangan Benardete (1969: 5), cerita itu dimasukkan karena makna yang terkandung di dalamnya tentang keadilan. Bisa jadi kisah itu tidak benar terjadi, tapi cara orang berpikir tentang makna keadilan yang bisa diambil dari kisah itu adalah nyata.
***
Herodotus menjadi Bapak Sejarah karena ia memulai suatu model penelitian yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh orang sezaman dan generasi setelahnya, yakni penggabungan antara, mata, telinga dan penalaran. Juga ia menginisiasi sebuah studi untuk mendokumentasikan pencapaian-pencapaian orang di masa lalu untuk kebutuhan masa kini dalam rangka menyiapkan masa depan. Selain itu ia juga terus mengingatkan supaya hal itu tidak hanya monopoli satu kelompok atau satu bangsa, karenanya penilaian terhadap itu semua harus seimbang. Konsekuensi dari pilihan-pilihannya itu membuat dia kemudian memiliki reputasi sebagai tukang bohong, pencinta kaum barbar, tapi juga tentu yang paling utama adalah bapak sejarah. Perubahan dari cara memandang Herodotus menunjukkan sebuah retakan dalam diskusi pada tataran epistemologis. Dan perubahan cara bagaimana suatu pengetahuan diperoleh itulah yang kemudian menjadikan Herodotus sebagai Bapak Sejarah.
*Doktor sejarah lulusan EHESS, Paris
Pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Unpad
Daftar Rujukan
Bernadete, Seth. 1969. Herodotean Inquiries. The Hague: Martinus Nijhoff.
Darbo-Peschanski, Catherine. 2007. L’Historia: Commencements grecs. Collection Folio Essais. Paris: Gallimard.
Earley, Benjamin. 2016. “Herodotus in Renaissance France.” In Brill’s companion to the reception of Herodotus in antiquity and beyond, oleh Jessica Priestley dan Vasiliki Zali, 120–42. Leiden ; Boston: Brill.
Evans, J. A. S. 1968. “Father of History or Father of Lies: The Reputation of Herodotus.” The Classical Journal 64 (1): 11–17.
Foley, Adam. 2016. “Valla’s Herodotean Labours: Toward a New View of Herodotus in the Italian Renaissance.” In Brill’s companion to the reception of Herodotus in antiquity and beyond, oleh Jessica Priestley dan Vasiliki Zali, 214–31. Leiden ; Boston: Brill.
Hartog, François. 1980. Le miroir d’Hérodote: Essai sur la représentation de l’autre. Bibliothèque des Histoires. Paris: Gallimard.
———. 2007. Évidence de l’histoire: ce que voient les historiens. Collection Folio Histoire. Paris: Gallimard.
Luce, T. James. 1997. The Greek historians. London ; New York: Routledge.
Luraghi, Nino. 2006. “Meta-historiē: Method and genre in the Histories.” In The Cambridge companion to Herodotus, oleh Carolyn Dewald dan John Marincola, 76–91. Cambridge, UK ; New York: Cambridge University Press.
Marincola, John. 2016. “History without Malice: Plutarch Rewrites the Battle of Plataea.” In Brill’s companion to the reception of Herodotus in antiquity and beyond, oleh Jessica Priestley dan Vasiliki Zali, 101–19. Leiden ; Boston: Brill.
Momigliano, Arnaldo. 1958. “The Place of Herodotus in the History of Historiography.” History 43 (147): 1–13.
Murray, Oswyn. 2007. “Herodotus and Oral History.” In The Historian’s Craft in the Age of Herodotus, oleh Nino Luraghi, 16–44. Oxford: Oxford University Press.
Myres, John Linton. 1953. Herodotus: Father of History. Oxford: Clarendon Press.
Schepens, Guido. 2007. “History and Historia: Inquiry in the Greek Historians.” In A Companion to Greek and Roman Historiography, oleh John Marincola, 1 & 2:39–55. Malden, MA ; Oxford: Blackwell Pub.
Langganan:
Postingan (Atom)
0 comments:
Posting Komentar