Kelana Wisnu “Mengapa dimulai dengan Herodotus?” adalah pertanyaan pembuka yang dilemparkan Gani Ahmad Jaelani sebagai pemantik diskusi ...

Catatan Diskusi Herodotus Sang Pendusta

Kelana Wisnu

“Mengapa dimulai dengan Herodotus?” adalah pertanyaan pembuka yang dilemparkan Gani Ahmad Jaelani sebagai pemantik diskusi pertama Komunitas Sulur. Pertanyaan itu membuat para peserta diskusi yang berasal dari jurusan sejarah, sastra, dan umum memfokuskan diri untuk mengikuti jalannya diskusi. Gani melanjutkan, bahwa pentingnya membahas Herodotus adalah sebagai pintu masuk untuk melihat perdebatan dalam historiografi, perihal predikat “tukang bohong” yang dialamatkan kepada Herodotus adalah titik awal perdebatan historiografi yang mungkin paling tua dalam sejarah.  



Persoalan itu dimulai dari catatan perjalanan Herodotus yang dijadikan buku berjudul Histories, terdiri dari sembilan jilid, menceritakan Perang Persia yang terjadi satu generasi sebelum sang penulis hidup dan catatan faktual tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Timur. Apa yang disampaikan oleh Gani adalah upaya untuk menjelaskan kembali secara verbal materi diskusi yang diunggah di laman Sulur berjudul “Herodotus Bapak Sejarah Tukang Kibul”. Persoalan ini dianggap penting karena selain sebagai pintu masuk terhadap perdebatan tentang historiografi, posisi Herodotus sebagai seorang “sejarawan” dapat dipahami sebagai proses dialektis yang terjadi dalam ruang dan waktu yang cukup panjang.

Kenapa Herodotus tidak dianggap sebagai seorang sejarawan adalah karena pengamatannya yang tidak bersandarkan pada penglihatan langsung, melainkan lewat penuturan (oral). Metode yang digunakan oleh Herodotus dianggap tidak lazim karena memungkinkan terjadinya distorsi informasi yang diterima oleh penulis. Hal ini pula yang membuat Thucydides, penulis Perang Peloponesia menganggap klaim Herodotus tidak aman karena ia tidak hidup pada zaman di mana peristiwa yang ditulis Herodotus terjadi. Gani pun menjelaskan keterkaitan masalah ini dengan etimologi kata history yang berasal dari kata istoria yang kurang lebih berarti penglihatan, maka tak heran jika pada mulanya ilmu pencatatan ini berbasiskan pada pengamatan yang langsung oleh mata bukan lewat lisan, seperti yang dilakukan juga oleh ilmu kedokteran.

Beratus tahun kemudian setelah predikat tukang bohong melekat pada Herodotus, zaman pencerahan tiba. Para intektual mulai meneliti kembali teks-teks Herodotus. Seiring semangat zaman yang melihat sejarah lewat dokumen-dokumen tertulis, karya-karya Herodotus kembali diperbincangkan. Apa yang dilakukan oleh Herodotus dianggap lumrah. Namanya pun selamat, predikat “bapak tukang bohong” itu berubah menjadi bapak ilmu sejarah, bahkan disebutkan pula jika Thucydides, salah satu pengkritik awal Herodotus sekaligus sebagai tokoh penting dalam perdebatan historiografi, hidup di masa depan, mungkin ia akan menganggap lumrah apa yang dilakukan oleh Herodotus. Seperti yang disebut sebelumnya, Herodotus tidak ujug-ujug menjadi bapak ilmu sejarah.

Diskusi ini pun memancing pertanyaan-pertanyaan yang cukup menarik, salah satu pertanyaan itu datang dari Fadly Rahman. Ia mengatakan bahwa posisi Herodotus sebagai “bapak sejarah” adalah sesuatu yang “taken for granted”, diterima apa adanya tanpa proses kritik. Hal ini menurutnya merupakan sebuah bentuk mistifikasi sebuah ilmu yang sering dilakukan tanpa disadari oleh siapa pun. Ia meneruskan tanggapannya itu dengan bertanya, apakah selama ini pernah dijumpai perdebatan Herodotus sebagai bapak sejarah selain yang disebut oleh Gani dalam pengantarnya.




Tanggapan sekaligus pertanyan yang dilontarkan Fadly memicu sebuah diskusi yang menarik, yang mengarahkan diskusi untuk menyinggung lebih lanjut perihal tataran sejarah sebagai fakta dalam konteks yang lebih jauh. Memitoskan sesuatu dewasa ini oleh Gani dianggap berbahaya karena tidak sepenuhnya sejarah yang ditulis oleh para sejarawan di masa lalu atau di masa kini benar-benar objektif atau bertopang pada fakta yang akurat. Akibat pertanyaan tersebut diskusi menjadi lebih mengarah pada perbincangan mengenai apa yang dianggap sebagai fakta dan mitos dalam sejarah. Yakni, fakta adalah sebuah rekonstruksi.

Lebih jauh, contoh yang diberikan adalah bahaya klaim-klaim dalam penulisan sejarah tadi. Memistifikasi sejarah sebagai fakta adalah hal yang kurang arif, karena sang penulis atau pembuat klaim tidak terlepas dari afiliasinya dalam konteks sosial-politik. Praktik semacam inilah yang terkadang membuat manipulasi sejarah dilembagakan. Mungkin di sinilah posisi Herodotus menjadi penting, seperti apa yang ia lakukan,  menempatkan posisi orang non-Yunani dalam tulisannya yang membuat sejarah itu ditulis untuk merekam pandangan dari dua belah pihak. Meskipun pilihannnya ini membuatnya dijuluki pecinta kaum barbar.

Obrolan diskusi yang semakin mengarah pada perdebatan antara fakta dan mitos dalam sejarah itu membuat pertanyaan-pertanyaan lainnya timbul. Salah satunya datang dari Budi Gustaman yang menyoal Homerus yang juga dianggap sebagai bapak sejarah dalam buku Greek Tragedy and Historian yang disunting oleh Christoper Pelling. Ia pun menanyakan kesahihan dokumen sejarah tradisional seperti babad dalam penulisan sejarah. Dalam dokumen sejarah tradisional yang kita miliki, semisal Babad Tanah Jawi, tidak lepas dari mitos. Lalu, bagaimana memperlakukan dokumen sejarah tradisional itu sebagai rujukan penulisan sejarah? Menurutnya pula berdasarkan pengalamannya belajar ilmu sejarah, dewasa ini menulis sejarah sudah tidak lagi berurusan dengan mana yang mitos dan mana yang fakta.

Pemaparan dan pertanyaan itu memancing untuk mendiskusikan mengenai fakta dan mitos lebih lanjut—tidak heran jika pertanyaan yang muncul setidaknya menyoal mistifikasi karena tema pokok diskusi kali ini berkaitan dengan mitos yang berkaitan dengan bapak ilmu sejarah. Gani menjawab bahwa historiografi tradisional bisa dilihat sebagai fakta dari representasi bahasa simboliknya. Pernyataan ini berbuah sebuah respon beberapa peserta diskusi yang menanggapi secara spontan perihal cara berhadapan dengan teks, dalam hal ini karya sastra. Apakah karya sastra dapat dilihat sebagai sumber sejarah atau sebuah penulisan sejarah dapat dianggap fiksi? Mungkin pertanyaan ini akan didiskusikan dalam pertemuan kelas Sulur selanjutnya.



Ketika diskusi hampir berakhir, Fadly menambahkan bahwa perwacanaan mengenai historiografi Indonesia penting untuk didiskusikan karena wilayah itu sangat minim hadir dalam perbincangan. Ia juga menjadi penasaran tentang apa saja yang ditulis oleh Herodotus dalam sembilan jilid buku mengenai perang Persia dan negeri-negeri Timur itu, dengan berandai-andai ia juga berpendapat bahwa mungkin saja dalam buku itu banyak terberai catatan perihal kehidupan sehari-hari, semisal cara memasak dsb. Pendapat Fadly yang paling terakhir mengingatkan kita pada buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, buku tersebut adalah buku sejarah yang menggunakan metode lisan, di dalamnya pula terdapat cerita sehari-hari seperti cara memasak, bercocok tanam, dst. Diskusi Sulur pada hari Senin (19/02/17) berakhir, di luar Perpustakaan Batu Api hujan pun menanti, Herodotus tersenyum menari. 

(sulur.id - kln)

0 comments: