Alika Lahitani Dalam sejarah seringkali dikatakan jika penulisannya itu tidak dapat berbentuk laporan saja, tetapi harus dijelaskan s...

Mengurai untuk Memahami



Alika Lahitani

Dalam sejarah seringkali dikatakan jika penulisannya itu tidak dapat berbentuk laporan saja, tetapi harus dijelaskan secara rinci. Penjelasan yang rinci dimaksudkan agar pemahaman kita terhadap peristiwa sejarah lebih terpetakan dan tidak terlalu mengawang. Penjelasan” itu terdiri dari berbagai laporan yang disusun berdasarkan plot yang dapat dipahami. Lantas seperti apa plot yang dapat dipahami itu?




Paul Veyne dalam buku Writing History : Essay on Epistemology memposisikan “penjelasan” sebagai sesuatu yang begitu kuat yang berasal dari fakta yang telah ditetapkan secara mendasar atau teori khusus kemudian berkembang menjadi teori yang lebih umum. Akan tetapi hal itu hanya mungkin terjelaskan apabila fakta yang dipakai memiliki kekuatan untuk mengurai plot. Karena terdapat beberapa fakta dalam sejarah yang tidak memiliki daya penjelas yang kuat.  Penjelasan” dipandang sebagai sesuatu yang berbeda, di mana sintesa dari penjelasan” itu dipertemukan pada satu titik kesulitan tertentu guna mempertajam sintesa itu sendiri. Kesulitan yang akan ditemui tidak hanya terbatas pada kritik dan penggunaan dokumen saja. Berbicara mengenai penjelasan, artinya kita akan berbicara mengenai sesuatu yang terlalu banyak atau sesuatu yang terlalu sedikit untuk dijelaskan.

Pada bagian tentang Memahami Plot ini, Veyne lantas menyatakan jika tidak ada penjelasan sejarah yang dapat diartikan pasti secara ilmiah. Hal ini memperkuat pernyataan Veyne di bagian awal, bahwa sejarawan tidak bisa memastikan peristiwa sejarah itu persis sama sebagaimana yang terjadi. Sejarawan hanya bisa membuat rekonstruksi yang mirip, tetapi tetap dapat memberikan pemahaman terhadap pembacanya. Bagi sejarawan, menjelaskan berarti menunjukkan bentangan plot untuk bisa dipahami. Sejarawan tertarik terhadap berbagai peristiwa karena peristiwa tersebut dianggap memang terjadi, sehingga harus mengalami penelitian lebih lanjut agar tidak menimbulkan salah paham.

Penjelasan sejarah menggunakan berbagai pengetahuan yang disebut sebagai kenyataan yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Sejarah tidak berbicara mengenai suatu hukum yang berlaku, tetapi secara luwes berbicara mengenai kebebasan, kesempatan, dan berbagai hal yang tidak ditemukan dalam dunia sains yang kaku.

Sejarah tidak dapat memberikan suatu penjelasan yang bersifat menyimpulkan atau meraba-raba. Karena sejarah hanya menuliskan fakta- fakta yang didapat melalui proses heuristik dan telah melalui verifikasi. Terkadang sejarah memberi kesan seolah penarikan abstraksinya didapat begitu saja tanpa suatu proses yang berarti. Sebagai contoh, Revolusi Prancis digambarkan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi karena adanya kebangkitan dari kelas kapitalis menengah. Tidak dijelaskan apakah kelas menengah yang dimaksud merupakan penjaga toko atau pengacara. Tanpa elaborasi, akan ada satu pemahaman sederhana bahwa Revolusi Prancis hanya menampilkan gambaran umum mengenai revolusi, tidak lebih dari itu.

Kita tidak mencari tahu mengenai teori  dan konsep revolusi secara umum, semisal ketika bicara mengenai Revolusi Prancis. Kita hanya membicarakan hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya yang mendukung pecahnya revolusi di tahun 1789. Bagaimana dengan penyebab terjadinya revolusi? Tentu selalu ada sebab di setiap tulisan sejarah, hanya saja sebab itu biasanya dimasukkan secara halus dalam narasi sejarah.

Seignobos mengatakan setiap peristiwa selalu memiliki sebab, semua sebab memiliki nilai yang sejajar. Sulit untuk menentukan sebab mana yang paling istimewa atau lebih baik daripada di antara sebab-sebab yang ada, tapi persoalan mengenai sebab dalam sejarah tidak sama seperti yang Seignobos katakan. Dalam kasus ini Veyne membuat sebuah ilustrasi, ia menggambarkan jika terdapat sejumlah episode yang membentuk sebuah cerita di dalamnya akan ada satu episode khusus yang dianggap sebagai sebab terjadinya cerita.

Seignobos menganggap sejarawan memiliki cara kerja yang sama dengan jurnalis, yang artinya sejarawan hanya mengumpulkan fakta, mencari penyebab dan merasa tidak puas jika tidak ditemukan sebab dalam fakta yang didapatnya. Tapi lagi-lagi, cara pandang Seignobos ini bertentangan dengan Veyne yang menganggap jika sejarawan lebih menyerupai detektif dibanding jurnalis. Tidak seperti jurnalis, sejarawan tidak secara spontan menemukan sebab dalam peristiwa. Dalam proses pencarian itu, sejarawan akan berhadapan dengan beberapa plot yang memiliki nilai penjelasan” yang sama tapi memiliki karakteristik yang berbeda. Lalu, apakah ada batas tertentu dalam objektivitas sejarah?

Sejarah tersusun dari berbagai plot yang berbeda, tapi plot-plot itu akan memiliki benang merah yang saling terkait dan merujuk pada satu sebab untuk dianalisis. Setiap laporan sejarah sejatinya memang tersusun dari berbagai plot yang menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat. Fakta dalam sejarah dikembangkan dari suatu ide sehingga menghasilkan tiga klasifikasi sebab sejarah, yaitu ketidaksengajaan atau superficial cause, kondisi objektif atau material cause, dan final cause dengan sifat yang lebih bebas dibanding dua sebab sebelumnya.

Meskipun terdapat tiga macam sebab dalam penulisan sejarah, Veyne membahas secara khusus dua di antaranya, yaitu tentang material cause dan final  cause. Untuk memutuskan suatu fakta sebagai material cause dan final material tidak harus mengkaji buku-buku sejarah atau pun bacaan lain yang merujuk pada sejarah. Fakta itu akan terlihat lewat aktivitas sehari-hari manusia karena ia hanya muncul melalui tindakan mereka. Beberapa sejarawan tidak memberikan penjelasan yang mendalam terhadap fakta yang dikaji. Hal ini menyebabkan penjelasan dalam penulisan itu tanggung atau kurang lengkap. Dalam proses pencarian ini sejarawan dapat menghentikan pendalaman pada tahap mana pun. Jika berhenti pada tahap material cause atau sebab material, maka akan tercipta suatu pandangan yang dibangun oleh mereka sendiri yang mengartikan manusia sebagai sebuah kondisi objektif. Hal tersebutlah yang dinamakan materialisme marxis, penjelasannya dibangun lewat fakta-fakta sederhana yang muncul dari pemahaman sehari-hari yang berhenti pada suatu titik tertentu tanpa menyentuh substansi intinya.

Setiap hal yang kita lakukan, disadari atau tidak, dilatarbekangi oleh suatu maksud yang tidak dapat dijelaskan tapi dapat kita pilih. Suatu sebab terkadang sulit untuk dilihat, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebab juga tidak dapat disejajarkan karena ia memiliki kekuatan yang berbeda. Bisa saja ada sebab yang lebih kuat atau lebih lemah daripada sebab lainnya.

Sejarawan harus berhati-hati dalam menyikapi peristiwa sejarah yang dihadapinya karena terdapat sejumlah kepingan peristiwa yang dianggap dapat mewakili sejarah secara keseluruhan. Sebagai contoh, meskipun Revolusi di tahun 1789 dan 1917 dianggap memiliki sebab yang kuat dan mengakar, tetapi penjelasan yang mendalam tetap diperlukan. Jika sejarah selalu membutuhkan penjelasan yang detail, lantas adakah metode khusus dalam penulisan sejarah? Dalam hemat Veyne, metode bukanlah sesuatu yang dimiliki sejarah. Tugas yang sulit yang dihadapi sejarawan dalam hal ini adalah mengelaborasi fakta-fakta yang mereka temukan secara detail.

Penjelasan sejarah terkadang menampilkan struktur yang tidak permanen dan tidak mendasar. Sejarawan profesional umumnya memiliki sedikit gagasan sedikit daripada sejarawan pemula dalam kerja pembacaannya. Dalam hal ini pula metodologi sejarah nyatanya tidak memiliki pokok yang pasti. Selain itu, banyak sejarawan yang tidak dapat menghadapi berbagai permasalahan yang muncul saat mengembangkan fakta. Tidak heran kemudian jika tulisan yang dihasilkan tampak sangat kering, tumpul, dan mengecewakan jika dibaca. Upaya untuk menghindarinya adalah dengan mempelajari dan mengelaborasi fakta secara detail. Dalam hal ini, pemahaman terhadap fakta menjadi hal yang lebih penting daripada metode itu sendiri.

Sejarah sebenarnya merupakan ilmu yang konkrit. Ide, teori, dan konsep yang membuat sejarah terkesan mati hanya sesekali diungkap saja karena yang terpenting adalah cara sejarawan memandang peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang dapat diorganisir pengisahannya. Sejarah tidak memiliki struktur ataupun metode, tapi hal ini menjadi suatu keuntungan karena sejarah dapat terus lahir dan berkembang. Sejarah dikatakan tidak memiliki metode karena bagi Veyne cara sejarawan memandang sejarah itu sama seperti cara kita memandang sesuatu yang asing, di tanah yang asing itu sejarawan berusaha menemukan plot-plot yang dapat membentuk peristiwa sejarah secara spesifik. Dalam menemukan sebuah plot, sejarawan memilah mana yang ingin ditulis dan mana yang disingkirkan. Sebuah penjelasan kisah akan dirangkai secara detail dan terorganisir sehingga membuat plot dapat dipahami.

Memasuki bahasan mengenai teori, tipe, dan konsep, lantas timbul pertanyaan apakah ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar memahami plot? Kemudian bagaimana peran teori dan konsep itu dalam upaya memahami plot sejarah? Teori dan tipe disebut juga sebagai permasalahan abadi dalam konsep sejarah. Teori pada dasarnya merupakan sebuah plot yang ditentukan melalui kriteria sejarah.

Teori, tipe dan konsep sejatinya merupakan hal yang sama. Ketiganya berfungsi sebagai ringkasan dari plot. Karena objek sejarah yang terus mengalami pergerakan, sejarawan memerlukan alat agar plot- plot itu dapat dituliskan seluruhnya secara singkat dan jelas. Tulisan sejarah yang detail tidak berarti harus dibangun dari berbagai penjelasan yang panjang apalagi berputar- putar. Tulisan semacam itu tidak nyaman untuk dibaca dan menyebabkan fakta sejarah tak bisa tersampaikan sebagaimana mestinya. Teori, tipe dan konsep hadir untuk membuat plot lebih mudah dipahami dengan cara menampilkan bagian mana saja yang harus ditulis dan harus diabaikan sejarawan. Menjelaskan seluruh pergerakan sejarah tidak bisa dicapai hanya dengan pemahaman seadanya. Pemahaman itu harus benar- benar menukik hingga ke akarnya.


Apa yang disebut sebagai teori dikatakan pula sebagai ringkasan dari plot. Sejarawan mungkin saja terjebak dalam mengabstraksi seputar ringkasan dan plot. Hal ini dikarenakan mereka lupa untuk mengonversi ulang abstraksi ke dalam plot yang konkrit. Misalnya di sebuah kota atau negara, bukan hanya pemerintah dan tentara yang punya eksistensi dalam sejarah itu, tetapi juga petani. Hal yang seringkali dianggap sepele dalam penulisan sejarah terkadang justru merupakan aspek pendukung yang penting agar teori dapat dipahami.

Untuk bisa memahami teori, tipe, dan konsep, ada yang perlu diingat, yakni sejarah memiliki kekhasan tersendiri. Sesuatu yang khas itu memang tidak selalu ditemukan dalam setiap peristiwa sejarah karena dalam sejarah suatu hal yang khas dan unik terkadang ditentukan secara subjektif. Mungkin inilah sebab munculnya perbedaan  pandangan terhadap satu peristiwa sejarah karena sejarawan sejatinya dapat menginterpretasikan peristiwa itu dari sudut pandang yang berbeda, pula objek natural sejarah juga muncul setelah melewati berbagai kriteria yang ditetapkan.

Leopold van Ranke mengatakan jika dalam menuliskan sejarah, sejarawan harus menuliskan peristiwa sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi bukan berarti penjelasan yang timbul harus dibuat sepanjang mungkin, karena tipe ataupun teori sejarah baru berfungsi jika deskripsinya disajikan secara singkat dan padat. Perlu diingat jika teori, tipe dan konsep memiliki kesamaan, dalam arti ketiganya sama-sama meringkas suatu plot yang ada.

Konsep seringkali menjadi pemasalahan pelik dalam sejarah. Sejarawan seringkali terlalu terpaku pada konsep atau tipe yang mereka gunakan. Hal itu dapat menjadi penghalang dalam penulisan sejarah karena sejarawan justru akan kesulitan mengembangkan analisisnya sendiri. Sejarawan pemula biasanya yang paling mudah terjebak dalam kesulitan ini. Dalam penjelasan mengenai hal ini dalam pembahasan di atas Memahami Plot, sejarawan seharusnya menuliskan suatu hal yang spesifik secara detail. Konsep berguna untuk membuat detail-detail dalam tulisan sejarah.

Konsep sejarah memang seperti unsur yang sangat aneh dalam sejarah. Karena di satu sisi, konsep membiarkan kita untuk memahami fakta dengan berbagai definisinya, sedangkan di sisi lain hal itu bisa menyebabkan kita menginterpretasikan fakta secara tidak tepat.

Sejarah hanya menginginkan suatu hal yang konkrit, ia juga bukan sesuatu yang dituliskan di lembar yang kosong di mana kita tidak dapat menemukan segalanya di atasnya. Karena itulah historiografi menjadi alat untuk melawan kecenderungan dalam penempatan interpretasi yang salah itu agar sejarawan tidak lagi terjebak dalam berbagai hal yang tidak perlu diceritakan.

Kesalahan terus diproduksi karena konsep sebenarnya terjadi karena ambiguitas yang dimilikinya. Ambiguitas itu muncul karena objeknya seringkali bergerak sehingga terus mengalami perubahan. Konsep merupakan rintangan dalam pengetahuan sejarah. Karena pengetahuan bersifat dekriptif, sedangkan sejarah yang tidak membutuhkan dasar-dasar dalam penjelasannya hanya membutuhkan sejumlah kata untuk menunjukkan peristiwa yang terjadi sebagaimana mestinya. Banyak hal yang perubahannya lebih cepat daripada kata, sehingga sejarawan harus terus berpindah dari satu gaya ke gaya yang lain. Konsep selalu mengalami perubahan bentuk terhadap objek realitas dari setiap waktu yang dihadapinya.

Untuk dapat memahami plot, sangat penting untuk terlebih dahulu memahami teori dan konsep yang tersaji. Beberapa tulisan sejarah seringkali menyuguhkan fakta dengan ide yang bertentangan dengan zamannya atau diluar kategori- kategori yang lazim. Ketika konsepyang sering membuat sejarawan terjebak dalam interpretasidapat membuat fakta ditafsirkan dengan benar, hal itu akan membuat sejarah seperti hasil karya seni. Artinya sejarah telah mencapai titik kesempurnaan. Hal ini seolah merepsentasikan apa yang dikatakan Chuang-tze, “menaklukkan berbagai hal tanpa ada yang terlukai.”

Dalam sejarah seringkali dikatakan jika penulisannya itu tidak dapat berbentuk laporan saja, tetapi harus dijelaskan secara rinci. Penjelasan yang rinci dimaksudkan agar pemahaman kita terhadap peristiwa sejarah lebih terpetakan dan tidak terlalu mengawang. Penjelasan” itu terdiri dari berbagai laporan yang disusun berdasarkan plot yang dapat dipahami. Lantas seperti apa plot yang dapat dipahami itu?

Paul Veyne dalam buku Writing History : Essay on Epistemology memposisikan “penjelasan” sebagai sesuatu yang begitu kuat yang berasal dari fakta yang telah ditetapkan secara mendasar atau teori khusus kemudian berkembang menjadi teori yang lebih umum. Akan tetapi hal itu hanya mungkin terjelaskan[K2]  apabila fakta yang dipakai memiliki kekuatan untuk mengurai plot. Karena terdapat beberapa fakta dalam sejarah yang tidak memiliki daya penjelas yang kuat.  Penjelasan” dipandang sebagai sesuatu yang berbeda, di mana sintesa dari penjelasan” itu dipertemukan pada satu titik kesulitan tertentu guna mempertajam sintesa itu sendiri. Kesulitan yang akan ditemui tidak hanya terbatas pada kritik dan penggunaan dokumen saja. Berbicara mengenai penjelasan, artinya kita akan berbicara mengenai sesuatu yang terlalu banyak atau sesuatu yang terlalu sedikit untuk dijelaskan.

Pada bagian tentang Memahami Plot ini, Veyne lantas menyatakan jika tidak ada penjelasan sejarah yang dapat diartikan pasti secara ilmiah. Hal ini memperkuat pernyataan Veyne di bagian awal, bahwa sejarawan tidak bisa memastikan peristiwa sejarah itu persis sama sebagaimana yang terjadi. Sejarawan hanya bisa membuat rekonstruksi yang mirip, tetapi tetap dapat memberikan pemahaman terhadap pembacanya. Bagi sejarawan, menjelaskan berarti menunjukkan bentangan plot untuk bisa dipahami. Sejarawan tertarik terhadap berbagai peristiwa karena peristiwa tersebut dianggap memang terjadi, sehingga harus mengalami penelitian lebih lanjut agar tidak menimbulkan salah paham.

Penjelasan sejarah menggunakan berbagai pengetahuan yang disebut sebagai kenyataan yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Sejarah tidak berbicara mengenai suatu hukum yang berlaku, tetapi secara luwes berbicara mengenai kebebasan, kesempatan, dan berbagai hal yang tidak ditemukan dalam dunia sains yang kaku.

Sejarah tidak dapat memberikan suatu penjelasan yang bersifat menyimpulkan atau meraba- raba. Karena sejarah hanya menuliskan fakta- fakta yang didapat melalui proses heuristik dan telah melalui verifikasi. Terkadang sejarah memberi kesan seolah penarikan abstraksinya didapat begitu saja tanpa suatu proses yang berarti. Sebagai contoh, Revolusi Prancis digambarkan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi karena adanya kebangkitan dari kelas kapitalis menengah. Tidak dijelaskan apakah kelas menengah yang dimaksud merupakan penjaga toko atau pengacara. Tanpa elaborasi, akan ada satu pemahaman sederhana bahwa Revolusi Prancis hanya menampilkan gambaran umum mengenai revolusi, tidak lebih dari itu.

Kita tidak[K3]  mencari tahu mengenai teori  dan konsep revolusi secara umum, semisal ketika bicara mengenai Revolusi Prancis. Kita hanya membicarakan hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya yang mendukung pecahnya revolusi di tahun 1789. Bagaimana dengan penyebab terjadinya revolusi? Tentu selalu ada sebab di setiap tulisan sejarah, hanya saja sebab itu biasanya dimasukkan secara halus dalam narasi sejarah.

Seignobos mengatakan setiap peristiwa selalu memiliki sebab, semua sebab memiliki nilai yang sejajar. Sulit untuk menentukan sebab mana yang paling istimewa atau lebih baik di antara sebab-sebab yang ada, tapi persoalan mengenai sebab dalam sejarah tidak sama seperti yang Seignobos katakan. Dalam kasus ini Veyne membuat sebuah ilustrasi, ia menggambarkan jika terdapat sejumlah episode yang membentuk sebuah cerita di dalamnya akan ada satu episode khusus yang dianggap sebagai sebab terjadinya cerita.

Seignobos menganggap sejarawan memiliki cara kerja yang sama dengan jurnalis, yang artinya sejarawan hanya mengumpulkan fakta, mencari penyebab dan merasa tidak puas jika tidak ditemukan sebab dalam fakta yang didapatnya. Tapi lagi-lagi, cara pandang Seignobos ini bertentangan dengan Veyne yang menganggap jika sejarawan lebih menyerupai detektif dibanding jurnalis. Tidak seperti jurnalis, sejarawan tidak secara spontan menemukan sebab dalam peristiwa. Dalam proses pencarian itu, sejarawan akan berhadapan dengan beberapa plot yang memiliki nilai penjelasan” yang sama tapi memiliki karakteristik yang berbeda. Lalu, apakah ada batas tertentu dalam objektivitas sejarah?

Sejarah tersusun dari berbagai plot yang berbeda, tapi plot-plot itu akan memiliki benang merah yang saling terkait dan merujuk pada satu sebab untuk dianalisis. Setiap laporan sejarah sejatinya memang tersusun dari berbagai plot yang menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat. Fakta dalam sejarah dikembangkan dari suatu ide sehingga menghasilkan tiga klasifikasi sebab sejarah, yaitu ketidaksengajaan atau superficial cause, kondisi objektif atau material cause, dan final cause dengan sifat yang lebih bebas dibanding dua sebab sebelumnya.

Meskipun terdapat tiga macam sebab dalam penulisan sejarah, Veyne membahas secara khusus dua di antaranya, yaitu tentang material cause dan final  cause. Untuk memutuskan suatu fakta sebagai material cause dan final material tidak harus mengkaji buku-buku sejarah atau pun bacaan lain yang merujuk pada sejarah. Fakta itu akan terlihat lewat aktivitas sehari-hari manusia karena ia hanya muncul melalui tindakan mereka. Beberapa sejarawan tidak memberikan penjelasan yang mendalam terhadap fakta yang dikaji. Hal ini menyebabkan penjelasan dalam penulisan itu tanggung atau kurang lengkap. Dalam proses pencarian ini sejarawan dapat menghentikan pendalaman pada tahap mana pun. Jika berhenti pada tahap material cause atau sebab material, maka akan tercipta suatu pandangan yang dibangun oleh mereka sendiri yang mengartikan manusia sebagai sebuah kondisi objektif. Hal tersebutlah yang dinamakan materialisme marxis, penjelasannya dibangun lewat fakta-fakta sederhana yang muncul dari pemahaman sehari-hari yang berhenti pada suatu titik tertentu tanpa menyentuh substansi intinya.

Setiap hal yang kita lakukan, disadari atau tidak, dilatarbekangi oleh suatu maksud yang tidak dapat dijelaskan tapi dapat kita pilih. Suatu sebab terkadang sulit untuk dilihat, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebab juga tidak dapat disejajarkan karena ia memiliki kekuatan yang berbeda. Bisa saja ada sebab yang lebih kuat atau lebih lemah daripada sebab lainnya.

Sejarawan harus berhati- hati dalam menyikapi peristiwa sejarah yang dihadapinya karena terdapat sejumlah kepingan peristiwa yang dianggap dapat mewakili sejarah secara keseluruhan. Sebagai contoh, meskipun Revolusi di tahun 1789 dan 1917 dianggap memiliki sebab yang kuat dan mengakar, tetapi penjelasan yang mendalam tetap diperlukan. Jika sejarah selalu membutuhkan penjelasan yang detail, lantas adakah metode khusus dalam penulisan sejarah? Dalam hemat Veyne, metode bukanlah sesuatu yang dimiliki sejarah. Tugas yang sulit yang dihadapi sejarawan dalam hal ini adalah mengelaborasi fakta-fakta yang mereka temukan secara detail.

Penjelasan sejarah terkadang menampilkan struktur yang tidak permanen dan tidak mendasar. Sejarawan profesional umumnya memiliki sedikit gagasan daripada sejarawan pemula dalam kerja pembacaannya. Dalam hal ini pula metodologi sejarah nyatanya tidak memiliki pokok yang pasti. Selain itu, banyak sejarawan yang tidak dapat menghadapi berbagai permasalahan yang muncul saat mengembangkan fakta. Tidak heran kemudian jika tulisan yang dihasilkan tampak sangat kering, tumpul, dan mengecewakan jika dibaca. Upaya untuk menghindarinya adalah dengan mempelajari dan mengelaborasi fakta secara detail. Dalam hal ini, pemahaman terhadap fakta menjadi hal yang lebih penting daripada metode itu sendiri.

Sejarah sebenarnya merupakan ilmu yang konkrit. Ide, teori, dan konsep yang membuat sejarah terkesan mati hanya sesekali diungkap saja karena yang terpenting adalah cara sejarawan memandang peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang dapat diorganisir pengisahannya. Sejarah tidak memiliki struktur ataupun metode, tapi hal ini menjadi suatu keuntungan karena sejarah dapat terus lahir dan berkembang. Sejarah dikatakan tidak memiliki metode karena bagi Veyne cara sejarawan memandang sejarah itu sama seperti cara kita memandang sesuatu yang asing, di tanah yang asing itu sejarawan berusaha menemukan plot-plot yang dapat membentuk peristiwa sejarah secara spesifik. Dalam menemukan sebuah plot, sejarawan memilah mana yang ingin ditulis dan mana yang disingkirkan. Sebuah penjelasan kisah akan dirangkai secara detail dan terorganisir sehingga membuat plot dapat dipahami.

Memasuki bahasan mengenai teori, tipe, dan konsep, lantas timbul pertanyaan apakah ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar memahami plot? Kemudian bagaimana peran teori dan konsep itu dalam upaya memahami plot sejarah? Teori dan tipe disebut juga sebagai permasalahan abadi dalam konsep sejarah. Teori pada dasarnya merupakan sebuah plot yang ditentukan melalui kriteria sejarah.

Teori, tipe dan konsep sejatinya merupakan hal yang sama. Ketiganya berfungsi sebagai ringkasan dari plot. Karena objek sejarah yang terus mengalami pergerakan, sejarawan memerlukan alat agar plot- plot itu dapat dituliskan seluruhnya secara singkat dan jelas. Tulisan sejarah yang detail tidak berarti harus dibangun dari berbagai penjelasan yang panjang apalagi berputar- putar. Tulisan semacam itu tidak nyaman untuk dibaca dan menyebabkan fakta sejarah tak bisa tersampaikan sebagaimana mestinya. Teori, tipe dan konsep hadir untuk membuat plot lebih mudah dipahami dengan cara menampilkan bagian mana saja yang harus ditulis dan harus diabaikan sejarawan. Menjelaskan seluruh pergerakan sejarah tidak bisa dicapai hanya dengan pemahaman seadanya. Pemahaman itu harus benar- benar menukik hingga ke akarnya.


Apa yang disebut sebagai teori dikatakan pula sebagai ringkasan dari plot. Sejarawan mungkin saja terjebak dalam mengabstraksi seputar ringkasan dan plot. Hal ini dikarenakan mereka lupa untuk mengonversi ulang abstraksi ke dalam plot yang konkrit. Misalnya di sebuah kota atau negara, bukan hanya pemerintah dan tentara yang punya eksistensi dalam sejarah itu, tetapi juga petani. Hal yang seringkali dianggap sepele dalam penulisan sejarah terkadang justru merupakan aspek pendukung yang penting agar teori dapat dipahami.

Untuk bisa memahami teori, tipe, dan konsep, ada yang perlu diingat, yakni sejarah memiliki kekhasan tersendiri. Sesuatu yang khas itu memang tidak selalu ditemukan dalam setiap peristiwa sejarah karena dalam sejarah suatu hal yang khas dan unik terkadang ditentukan secara subjektif. Mungkin inilah sebab munculnya perbedaan  pandangan terhadap satu peristiwa sejarah karena sejarawan sejatinya dapat menginterpretasikan peristiwa itu dari sudut pandang yang berbeda, pula objek natural sejarah juga muncul setelah melewati berbagai kriteria yang ditetapkan.

Leopold van Ranke mengatakan jika dalam menuliskan sejarah, sejarawan harus menuliskan peristiwa sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi bukan berarti penjelasan yang timbul harus dibuat sepanjang mungkin, karena tipe ataupun teori sejarah baru berfungsi jika deskripsinya disajikan secara singkat dan padat. Perlu diingat jika teori, tipe dan konsep memiliki kesamaan, dalam arti ketiganya sama-sama meringkas suatu plot yang ada.

Konsep seringkali menjadi pemasalahan pelik dalam sejarah. Sejarawan seringkali terlalu terpaku pada konsep atau tipe yang mereka gunakan. Hal itu dapat menjadi penghalang dalam penulisan sejarah karena sejarawan justru akan kesulitan mengembangkan analisisnya sendiri. Sejarawan pemula biasanya yang paling mudah terjebak dalam kesulitan ini. Dalam penjelasan mengenai hal ini dalam pembahasan di atas Memahami Plot, sejarawan seharusnya menuliskan suatu hal yang spesifik secara detail. Konsep berguna untuk membuat detail-detail dalam tulisan sejarah.

Konsep sejarah memang seperti unsur yang sangat aneh dalam sejarah. Karena di satu sisi, konsep membiarkan kita untuk memahami fakta dengan berbagai definisinya, sedangkan di sisi lain hal itu bisa menyebabkan kita menginterpretasikan fakta secara tidak tepat.

Sejarah hanya menginginkan suatu hal yang konkrit, ia juga bukan sesuatu yang dituliskan di lembar yang kosong di mana kita tidak dapat menemukan segalanya di atasnya. Karena itulah historiografi menjadi alat untuk melawan kecenderungan dalam penempatan interpretasi yang salah itu agar sejarawan tidak lagi terjebak dalam berbagai hal yang tidak perlu diceritakan.

Kesalahan terus diproduksi karena konsep sebenarnya terjadi karena ambiguitas yang dimilikinya. Ambiguitas itu muncul karena objeknya seringkali bergerak sehingga terus mengalami perubahan. Konsep merupakan rintangan dalam pengetahuan sejarah. Karena pengetahuan bersifat dekriptif, sedangkan sejarah yang tidak membutuhkan dasar-dasar dalam penjelasannya hanya membutuhkan sejumlah kata untuk menunjukkan peristiwa yang terjadi sebagaimana mestinya. Banyak hal yang perubahannya lebih cepat daripada kata, sehingga sejarawan harus terus berpindah dari satu gaya ke gaya yang lain. Konsep selalu mengalami perubahan bentuk terhadap objek realitas dari setiap waktu yang dihadapinya.

Untuk dapat memahami plot, sangat penting untuk terlebih dahulu memahami teori dan konsep yang tersaji. Beberapa tulisan sejarah seringkali menyuguhkan fakta dengan ide yang bertentangan dengan zamannya atau diluar kategori- kategori yang lazim. Ketika konsepyang sering membuat sejarawan terjebak dalam interpretasidapat membuat fakta ditafsirkan dengan benar, hal itu akan membuat sejarah seperti hasil karya seni. Artinya sejarah telah mencapai titik kesempurnaan. Hal ini seolah merepresentasikan apa yang dikatakan Chuang-tze, “menakukkan berbagai hal tanpa ada yang terlukai.”


(sulur.id - alk/kln)

0 comments: