Fadly Rahman*
Setiap bangsa punya sejarah. Sejarah sendiri
hakikatnya ditulis untuk menyadarkan kesadaran terhadap jejak masa lalu sebuah
bangsa untuk lantas direfleksikan dalam menjalani hidup kekinian dan keakanannya.
Ada ungkapan umum bahwa bangsa yang sadar sejarah adalah bangsa yang peka
dalam membaca tanda-tanda zaman. Pun mawas diri untuk tidak terjerembab jatuh
mengulangi kesalahan yang pernah terjadi pada masa lalu.
Konteks dari sejarah yang menyadarkan
itu tidak bisa lepas dari fungsi sejarah sebagai ilmu. Sebagai ilmu, sejarah
berpijak pada filsafat, metode, dan metodologi yang ditunjang oleh pembacaan
dan pendalaman terhadap sumber-sumber—baik primer maupun sekunder). Kebutuhan
sejarah terhadap sumber menandakan “sejarah sebagaimana dituliskan” (history as written) berbeda dengan
“sejarah sebagaimana terjadi” (history as
actually happened).
“Sejarah sebagaimana dituliskan”
berupaya merekonstruksi “sejarah sebagaimana terjadi” melalui pendekatan sumber-sumber.
Rekonstruksi atas masa lalu itu sendiri menandakan seorang sejarawan tak
mungkin bisa sepenuhnya mengisahkan masa lalu secara riil sebagaimana terjadi
pada masa lalu. Untuk bisa setidaknya mendekati apa yang terjadi pada masa
lalu, sejarawan membutuhkan sumber-sumber hingga pendekatan lintas disiplin
ilmu.
Sumber-sumber yang digunakan itu
sendiri diperoleh tidak secara sembarangan dan serampangan, apalagi dibuahi
dari mimpi dan lamunan. Untuk memperolehnya harus melalui tahapan heuristic, yakni proses penelusuran
pustaka, naskah, dokumen, dan arsip.
Di dalam sumber terkandung data-data
yang perlu diverifikasi, dikritik dan diinterpretasi untuk menghasilkan fakta
sejarah. Artinya, fakta sejarah tidak mudah begitu saja diucapkan dan
dituliskan apalagi dinyatakan sebagai suatu yang obyektif. Fakta sejarah harus
dihasilkan melalui proses riset terhadap sumber yang dikaji secara saksama dan kritis.
Sejarawan E.H. Carr dalam What is History? (1990) menyatakan bahwa
sejarah adalah kumpulan tulisan fakta yang ditemukan. Dalam buku yang terbit
perdana tahun 1960 itu, Carr menjelaskan definisi fakta sejarah melalui
ilustrasi bagus: “The facts are available
to the historian in documents, inscriptions and so on, like fish in the
fishmonger’s slab. The historian collects them, takes them home, and cooks and
serves them in whatever style appeals to him.”
Proses menemukan fakta sebagaimana
Carr ilustrasikan itulah yang menentukan tertib tidaknya imajinasi seorang
sejarawan dalam menafsirkan fakta demi merekonstruksi masa lalu. Namun Carr
menyiratkan di ujung kalimatnya, bahwa fakta tak lepas dari selera yang
diinginkan atau bahkan disukai oleh seorang sejarawan. Selera inilah yang
memungkinkan fakta sejarah yang ditemukan sejarawan, baik disadari atau tidak
maupun disengaja atau tidak, tidak berarti selalu menyadarkan; justru
sebaliknya dapat menyesatkan pembacanya. Bayangkan, jika tidak melalui proses “menggoreng”
fakta yang matang, siapapun dapat bebas berimajinasi dan membuahkan fakta-fakta
manipulatif bahkan bualan.
Ya, fakta sejarah memang dapat
“digoreng” sekehendak hati dan pikiran sejarawan. Tidak heran bagi kalangan
sejarawan tertentu, fakta sejarah jadi hidangan paling gurih dan renyah untuk
dimanipulasi. Mereka yang menulis sejarah untuk dan atas kepentingan pesanan
penguasa dan pengusaha galibnya berpeluang untuk melakukan perekayasaan fakta.
Dengan menutup-nutupi fakta yang
dinilai buruk bagi citra sejarah sebuah bangsa dan sesosok tokoh sangat mungkin
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan sebuah rezim dapat hilang dari teks-teks
sejarah nasional. Perekayasaan fakta sejarah memang banyak terjadi di berbagai negara
seperti kebijakan kurikulum pendidikan sejarah di Jepang yang menutupi
kejahatan perang militernya pada masa Perang Dunia II atau manipulasi sejarah
oleh rezim Orde Baru di Indonesia yang dalam teks-teks sejarah menutupi peristiwa
genosida pasca1965. Ini merupakan masalah serius terlebih menjadi lebih serius
masalahnya jika publik tidak menyadari manipulasi sejarah telah mengelindaninya
secara sistematis dan masif.
Fakta-fakta yang ditemukan sejarawan akan
memengaruhi kesadaran kolektif pembacanya. Jika pembaca kritis, maka fakta-fakta
dapat dikritik olehnya. Namun jika sebaliknya, mereka bakal terperdaya dan
menerima bahkan mengimani begitu saja berbagai dusta dan bualan dari fakta sejarah
sekalipun yang menuliskannya bukan dari kalangan sejarawan.
Fakta-fakta bualan temuan “sejarawan dadakan”
nyatanya pernah banyak beredar dalam beragam publikasi “buku sejarah”–begitu
diklaim penulis maupun pembacanya–di Indonesia yang beredar di toko-toko buku dan
di media-media daring. Mulai dari kisah Candi Borobudur peninggalan Nabi
Sulaiman; Majapahit kerajaan Islam dan Gajahmada seorang muslim: hingga Napoleon
Bonaparte yang diduga muslim dari Makassar. Di antaranya bahkan masuk dalam
kategori best-seller dan berjajar
rapi di rak-rak perpustakaan.
Padahal jika ditilik saksama,
sumber-sumber yang dipakai sebagai bahan penulisannya amat jauh dari praktik
ilmu sejarah. Jangankan bicara metode dan metodologi sejarah serta sumber
primer, rujukan sumber yang dipakainya pun banyak melacak dari internet dengan
fakta-fakta yang jelas tidak bisa dipertanggung-jawabkan kesahihannya. Meski
begitu, karya “uthak-athik gathuk” ini justru banyak dibaca dan disukai
khalayak yang awam terhadap pengetahuan sejarah. Mengapa bisa begitu? Tak bisa
dipungkiri, rendahnya kesadaran literasi sejarah, menjadi sebab para pembaca
awam menjadi sasaran para penulis “uthak-athik
gathuk” ini.
Fakta-fakta sejarah bualan itu bahkan
menjadi lelucon yang viral di media sosial. Ya, seolah ini hiburan yang dapat dijadikan
sebagai “obat awet muda”. Tapi, jangan sampai sejarawan terlena. Jika praktik menggoreng
fakta semacam ini dibiarkan tersaji hingga publik menikmati dan memper-cayainya
sebagai fakta sejarah, maka artinya kewibawaan sejarawan dan ilmu sejarah sendiri
bisa-bisa terkangkangi oleh “ilmu uthak-athik
gathuk” ini.
Ketika sejarawan menganggapnya sebagai
hal tak patut diseriusi, bukan mustahil rezim politik atau pihak-pihak tertentu
leluasa memancing keuntungan di air keruh dengan memanipulasi fakta sejarah. Ini
jelas merupakan tantangan penting bagi sejarawan agar lebih serius menggoreng fakta
sejarah sematang mungkin sebelum disajikan dan dinikmati oleh publik.
Pengajar di Departemen Sejarah, UNPAD
Penulis Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942; Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan di Indonesia. Pengurus Komunitas Noong.
Penulis Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942; Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan di Indonesia. Pengurus Komunitas Noong.
0 comments:
Posting Komentar