I. Gifar Ramzani
Kelas
belajar Sulur telah menginjak pertemuan keenam. Di pertemuan tersebut (24/4/2018),
Anugrah Rahmatullah membahas
hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan plot dalam sejarah dan hal-hal
yang spesifik dari sejarah. Materi ini masih berasal dari buku Paul Veyne, Writting History: Essay on Epistomology.
Anugrah
menjelaskan bahwa dalam sejarah kita akan menemukan begitu banyak fakta. Dari
fakta tersebut kita kemudian akan menghadapi banyak pertanyaan atau masalah,
seperti apakah sebuah fakta menjadi lebih penting dibanding fakta yang lain; jika suatu fakta memang
lebih penting dari fakta yang lain, lalu bagaimana cara kita menentukannya? Menurut
Veyne dalam bukunya, tentu saja akan ada fakta yang lebih penting dibanding
fakta yang lain. Dan cara menentukannya bisa dilihat dari cara seorang
sejarawan menyampaikannya dalam narasinya, apakah dalam narasi tersebut seorang
sejarawan menjelaskan bahwa fakta tersebut memberi dampak yang besar pada
terjadinya suatu peristiwa sejarah dan bagaimana dampaknya pada fakta-fakta
lain dalam narasi tersebut?
Penjelasan tersebutlah yang disebut dengan plot, yaitu sebuah alur yang
digunakan sejarah untuk menyampaikan tiap fakta, sebab-akibat, atau dampak dari
sebuah peristiwa sejarah.
Menurut
Veyne yang dijelaskan oleh Anugrah, plot dalam sejarah menjadi begitu penting karena
plot tersebutlah yang menyusun rangkaian hingga menjadi sebuah peristiwa
sejarah. Suatu plot bisa mendeterminasi atau tidak sama sekali, dalam artian suatu
plot bisa menentukan narasi utama dari sebuah peristiwa dan ke mana arah peristiwa bermuara. Sebagai contoh misalnya, ketika Napoleon
memberi perintah kepada para prajuritnya. Dalam narasinya, seorang sejarawan
bisa saja mengulang beberapa kali fakta tersebut karena bisa jadi di narasi selanjutnya,
para prajurit tersebut tidak menuruti perintah Napoleon, yang akan menyebabkan
alur peristiwa menjadi berubah.
Dari
plot ini juga kita akan bisa menemukan fakta-fakta yang menarik di tengah
sebuah alur peristiwa yang umum. Misalnya dalam kajian mengenai sejarah
revolusi, secara umum, plot atau alurnya adalah mengenai ketidakpuasan rakyat
terhadap penguasa. Lalu di situ, muncullah apa yang disebut menarik tadi, misalnya
dalam sejarah revolusi Prancis, hadir sosok Napoleon Bonaparte yang memimpin
revolusi Prancis.
Akan tetapi fakta dalam
sebuah plot juga bukan merupakan hal yang terpisah. Dari satu fakta ke fakta
lain tetap merupakan sebuah satu kesatuan. Veyne mencontohkan misalnya dengan
serangan tentara Jerman ke Sedan pada 1940. Dari peristiwa tersebut kita bisa
membaginya ke dalam tiga plot, yaitu strategi, psikologi, dan administrasi. Dari
plot psikologi misalnya, kedatangan para tentara dengan cara jalan yang berbeda
dengan rakyat sipil bisa kita liat bahwa kemungkinan beberapa waktu ke depan
akan terjadi penyerangan. Gambaran keadaan tersebut memengaruhi perasaan rakyat
sipil tersebut dan apa yang mereka lakukan. Hal inilah yang membuat sejarah
menjadi unik karena kita bisa melihat berbagai sudut pandang mengenai suatu
objek.
Berkaitan
dengan sudut pandang, Veyne mengkritik mereka yang seringkali melihat sesuatu
hanya dari satu sudut pandang. Ia menyebutnya dengan istilah “Geometric Figures”. Padahal, sebagai
contoh misalnya dari sebuah peristiwa perang, banyak yang bisa dikaji, bukan
hanya mengenai narasi terjadinya perang tersebut, tapi seperti bagaimana
kondisi masyarakat ketika perang tersebut terjadi, atau bagaimana persediaan
makanan bagi para tentara yang bertugas berperang. Sudut pandang seperti ini
pada akhirnya akan memunculkan dugaan mengenai subjektivitas. Subjektivitas
tidak menjadi masalah ketika ia diinterpretasikan secara seimbang. Caranya
adalah dengan menekankan tidak ada fakta yang mendasar. Seperti telah
dijelaskan di awal tadi, setiap fakta bergantung pada fakta yang lain.
Topik
bahasan selanjutnya adalah mengenai hal yang spesifik dan menarik dari sejarah.
(Peristiwa) apa yang menarik para sejarawan? Karena bisa saja, suatu peristiwa
dianggap menarik bagi satu sejarawan tapi tidak untuk sejarawan lain. Mengenai hal ini, kita dapat mengenal sejarah
populer, yaikni sebuah peristiwa yang menjadi kajian bagi banyak sejarawan. Untuk hal
tersebut, Veyne mengkritik teori Weber, bahwa sejarah hanyalah berisikan
hal-hal yang besar, sehingga menihilkan hal-hal yang bernilai kecil. Sebagai
contoh misalnya, ketika Weber menyampaikan mengenai perubahan konstitusi yang
dilakukan oleh Frederik Willams IV. Menurutnya peristiwa tersebut tidak
ada hubungannya sama sekali dengan pakaian yang digunakan oleh Frederik
Williams IV pada saat itu. Padahal, menurut Veyne, jika ditelisik lebih jauh,
pakaian yang digunakan tersebut bisa memengaruhi citra seorang
Frederik Williams ketika melakukan perubahan konstitusi tersebut yang tentu akan berpengaruh. Bagaimana jika penjahit
pakaian Frederik William bermain-main dengan kerjanya dalam menesain baju
upacara tersebut?
Lalu
apa yang menarik untuk ditulis bagi sejarawan? Setidaknya, Veyne menyampaikan
ada dua pola dasar, yaitu menulis untuk membuat suatu memori untuk terus
diingat dan membuat suatu perbedaan. Tulisan tersebut kemudian menghasilkan
pengetahuan sejarah. Dan apa tujuan atau pentingnya dari pengetahuan sejarah?
Veyne menyampaikan bahwa ada banyak hal yang terjadi di masa lalu entah mengenai
pribadi, keluarga, atau suatu bangsa yang membuat sejarawan atau siapa pun itu untuk terus
mengeksplorasi lebih jauh mengenai pengetahuan tersebut. Selain itu,
pengetahuan sejarah juga berguna bukan hanya untuk si penulis, tapi juga
khalayak umum. Sejarah bisa menjadi sebuah sarana hiburan karena di dalamanya
terdapat keindahan budaya dan sajian-sajian cerita yang menarik.
Pada
sesi diskusi, terdapat pertanyaan dari salah satu peserta, Fadel, yang
menanyakan mengenai fakta. Ia mengulang penjelasan Anugrah yang menyatakan bahwa
fakta bukanlah sesuatu yang mengisolasi, sedangkan pada praktiknya, seorang
sejarawan memilah-milah fakta yang berarti fakta tersebut mengisolasi. Menurut
Anugrah, yang dimaksud dari fakta yang mengisolasi tersebut adalah fakta yang
“mentah”, yaitu fakta yang belum melewati hasil interpretasi dari sejarawan,
yang berarti fakta yang ditemukan tersebut masih berada dalam tahapan kritik.
Di
akhir pertemuan, Rani sebagai moderator akhirnya memberi simpulan bahwa bahasan-bahasan
yang disampaikan oleh Veyne dalam bukunya ini terasa lebih rinci dibanding
bahasan-bahasan yang berasal dari buku E.H Carr yang telah menjadi materi dari
tiga pertemuan awal.
(sulur.id - gfr/kln)
(sulur.id - gfr/kln)
0 comments:
Posting Komentar