Anugrah Rahmatulloh Dalam sebuah peristiwa sejarah, juga berlaku dalam penelitian sejarah, kita akan menemukan banyak hal di lapanga...

Sejarah yang Enak Dibaca



Anugrah Rahmatulloh

Dalam sebuah peristiwa sejarah, juga berlaku dalam penelitian sejarah, kita akan menemukan banyak hal di lapangan yang berkaitan dengan fakta. Fakta-fakta tersebut dapat ditemukan dengan berbagai cara dalam proses heuristik sehingga kita akan masuk pada sebuah pertanyaan besar, bisakah fakta-fakta tersebut disejajarkan? Pertanyaan tersebut mengembangkan pelbagai pertanyaan yang tidak kalah penting, yaitu apakah tidak akan terjadi sebuah kekacauan ketika berbagai fakta di sama ratakan; lalu, dalam suatu peristiwa (atau berbagai perisiwa dalam konteks waktu yang sama), apakah terdapat satu fakta yang lebih penting dari fakta yang lain; dan bagaimana bisa fakta tersebut bisa lebih penting dibanding fakta yang lain?



Sebagai gambaran, Paul Veyne dalam Writing History: Essay and Epistemology menyatakan bahwa harus ada pilihan dalam pembahasan sejarah. Berdasarkan dari pernyataan itu, jelaslah bahwa dalam suatu fakta sejarah akan ada fakta yang lebih penting dibandingkan fakta yang lain, di mana fakta tersebut akan menguak berbagai penyebab dan dampak yang ditimbulkan peristiwa tersebut. Hingga setiap peristiwa memiliki alur tersendiri dalam menyampaikan sebab, proses serta akibat dari peristiwa tersebut. Hal itulah yang kemudian kita kenal sebagai “plot”.

Pada kenyataannya, fakta tidak terbentuk dari sesuatu yang mengisolasi. Dalam artian, tidak ada batasan dalam sebuah fakta. Hanya saja, sebuah fakta terbentuk dalam suatu alur tertentu yang menjadi patokan bagi berkembangnya fakta tersebut, atau yang lebih dikenal dengan nama plot. Pendeknya, plot berguna bagi sejarawan untuk melakukan analisis bagaimana fakta memiliki suatu objek kajian yang saling berhubungan dan juga sangat penting untuk diketahui.

Sebagai contoh, di sini disebutkan awal masa sistem masyarakat feodal, atau masa-masa revolusi Prancis. Pada dasarnya, plot bisa dibuat dari sesuatu yang tidak melulu bersifat kronologis, tetapi lebih dari itu, plot juga berbicara mengenai bagaimana penempatan objek terhadap sesuatu yang terjadi pada objek tersebut. Bagaimana juga sebuah plot bisa mengungkapkan hubungan antarfakta yang ditemukan. Sebuah plot bisa dianggap memiliki determinasi atau bahkan tidak memiliki determinasi sama sekali. Determinasi di sini dijelaskan bahwa sejarawan bisa menentukan apa saja hal yang terjadi dalam suatu peristiwa dan juga menentukan ke mana arah dari peristiwa tersebut. Misalnya, ketika Napoleon memberikan sebuah intruksi kepada para prajuritnya, sejarawan bisa menjelaskan beberapa kali mengapa para prajurit menuruti perintah dia. Dari sana bisa terlihat bagaimana sebuah intruksi diberikan kepada prajurit mengenai apa yang akan terjadi dan bagaimana cara para prajurit menghadapi peristiwa tersebut. Karena pada perkembangan selanjutnya, bisa jadi para prajurit tidak menuruti perintah Napoleon, dan tentu alur cerita akan berubah.

Sebuah plot juga dapat menentukan bagaimana sejarawan menentukan fakta-fakta yang menarik untuk dikaji, plot memberikan patokan mengenai bagaimana pelbagai peristiwa terjadi dalam satu zaman. Akan ada kemiripan-kemiripan yang ditunjukan antarperistiwa sezaman yang kemudian menjadi sebuah plot yang terstruktur. Adapun yang membedakan hanyalah detail-detail lain yang bisa memperkaya suatu plot dan bisa menarik minat para sejarawan. Sebuah fakta akan terlihat kering dan tidak bermakna ketika tidak memiliki plot.

Dalam kajian sejarah revolusi misalnya, bagaimana revolusi akan muncul dari adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan penguasa, hingga akhirnya terdapat seorang tokoh yang dianggap sebagai pahlawan karena memimpin sebuah pemberontakan atau kudeta misalnya. Seperti dalam sejarah Revolusi Prancis kita dapat melihat bagaimana Napoleon Bonaparte menjadi seseorang yang sangat dipuja masyarakat pada saat itu karena memimpin revolusi Prancis.

Perlu diingat juga, bahwa fakta sejarah bukan merupakan sesuatu yang terbagi atas beberapa butiran, tetapi sebuah fakta yang bisa menjelaskan kondisi secara umum. Terdapat banyak bagian yang dapat memengaruhi fakta sejarah. Di sini Veyne menjelaskan bagaimana fakta sejarah tidak terbentuk sebagai bagian-bagian dari butiran yang terpisah tersebut melalui Serangan Tentara Jerman ke Wilayah Sedan pada 1940, dalam analisa peristiwa tersebut, terdapat plot strategi, administrasi dan psikologi. Bagaimana tentara antarkedua pasukan yang saling berhadapan memiliki gaya jalan yang berbeda dengan kebanyakan orang, mereka berjalan dengan patokan tertentu, itu menunjukan bagaimana tekanan memenuhi perasaan mereka. Gerakan langkah yang berbeda itu pula menunjukkan bagaimana tindakan yang akan mereka lakukan. Bahasa tubuh yang mereka tunjukan bisa memengaruhi keadaan yang sedang terjadi, dan dapat memengaruhi penyampaian fakta tersebut.
Objek kajian sejarah tidak hanya menekankan pada sebuah fenomena yang sedang terjadi pada waktu dan keadaan tertentu, tetapi juga menekankan kepada aspek-aspek yang mengikuti dan ada di sekitar fenomena tersebut. Hal itulah yang kemudian membuat sejarah menjadi sesatu yang unik, karena dari satu fenomena kita bisa menemukan banyak fakta atau objek yang bisa dikaji.

Dalam ulasannya, Veyne juga mengkritik beberapa pihak yang percaya bahwa sejarah hanya bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, tanpa membuka kemungkinan terhadap sudut pandang yang lain. Istilah tersebut sering disebut dengan “Geometric Figure”. Penganut teori tersebut berpendapat bahwa dalam peristiwa sejarah hanya dijelaskan satu peristiwa yang menjadi narasi utamanya. Hal ini pun disepakati oleh semua penganut teori tersebut. Fenomena inilah yang menjadi fokus kritik Veyne. Ia berpendapat bahwa sebuah peristiwa yang sama menawarkan beragam pandangan, tentu pandangan tersebut muncul dari berbagai individu pula, tidak muncul dari satu individu saja. Istilah tersebut dikenal dengan sudut pandang. Ia mencontohkan dalam peristiwa Perang Dunia I yang terjadi pada 1914 sampai 1918 dinyatakan tidak hanya menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, tetapi bisa merembet kepada hal-hal yang lain yang bisa terpengaruh. Dengan narasi utama perang, orang yang berada di sekitar peristiwa tersebut bisa jadi menafsirkan bahwa perang tersebut memiliki kaitan dengan kondisi politik yang terjadi pada masa itu. Individu lainnya menyatakan bahwa perang itu bisa memicu terjadinya sebuah permasalahan ekonomi. Hal tersebut menandakan bahwa peristiwa tersebut bukanlah suatu hal yang bisa dilihat dari satu sisi. Peristiwa tersebut luas, banyak hal yang bisa dijelaskan dengan melihat peristiwa tersebut menurut sudut pandang yang berbeda.

Pada akhirnya semua kembali bergantung pada plot yang menjadi kerangka peristiwa tersebut. Dengan demikian, sejarah bisa menjadi sesuatu yang sangat subjektif. Seperti yang dikatakan oleh Henry Irenee Marrou, seorang sejarawan Prancis abad 20-an. Ketika semua hal menjadi sejarah, sejarah menjadi sesuatu yang bergantung pada pilihan. Namun lebih lanjut, Marrou mengingatkan bahwa subjektifitas tersebut bukan hal yang sembarangan, atau dalam artian diinterpretasikan secara sembarang. Tapi tetap berada pada lingkup yang terbatas. Salah satu pengingatnya ialah bahwa tidak akan ada fakta yang mendasar. Setiap fakta hanya memiliki makna dalam plotnya sendiri serta fakta tersebut kemudian mengacu kepada plot lain yang luas dan berhubungan dengan fakta tersebut. Sehingga fakta yang dihasilkan tidak menjadi fakta yang ideal, melainkan fakta yang memiliki keanekaragaman secara nomina.

Namun, dengan adanya plot serta sudut pandang kemudian akan memunculkan masalah baru, yaitu kesulitan untuk mendeskripsikan suatu peristiwa, kesulitan di sini bukan berarti sebuah peristiwa tersebut tidak bisa di deskripsikan, tetapi lebih kepada keberagaman pendeskripsian yang ditujukan terhadap peristiwa tersebut. Misalnya ketika penggambaran terhadap periode Romantisme, orang akan mendeskripsikan hal tersebut secara berbeda-beda. Sebagian sejarawan akan menyatakan bahwa periode tersebut dinamakan periode Post-Classinism atau periode pascaklasik. Atau sebaliknya, periode klasik bisa disebut oleh sejarawan sebagai periode praromantisme. Hal tersebutlah yang kemudian menyulitkan sejarawan untuk membentuk suatu sintetis yang komprehensif, terutaman jika yang ditulis ialah fakta yang bersifat umum. Dengan munculnya berbagai fakta dari suatu peristiwa yang sama, kemudian para sejarawan harus bisa mengoroborasikan berbagai fakta tersebut agar menunjukan suatu keserasian yang kemudian menjadi satu analisis yang berkaitan

Selanjutnya kita akan membicarakan hal-hal yang spesifik dalam sebuah peristiwa. Hal pertama yang dibahas oleh Veyne ialah peristiwa yang membuat para sejarawan tertarik. Hal ini sangat penting dalam kajian sejarah. Sebab ketertarikan sejarawan terhadap suatu peristiwa memiliki perbedaan yang bermacam-macam. Bisa jadi terdapat suatu peristiwa yang menarik minat banyak orang maupun sebaliknya. Sehingga kemudian muncul sejarah populer. Sejarah populer sendiri muncul dari banyaknya fakta-fakta yang menarik minat para sejarawan yang kemudian memakainya sebagai kajian sejarah modern.

Lebih jauh, Veyne sedikit mengkritik teori dari Weber yang menyatakan bahwa sejarah terkait dengan nilai. Di sini Veyne menyoroti bagaimana Weber melihat bahwa sebuah fakta pembentuk sejarah hanya muncul dari sesuatu yang bernilai besar, sedangkan hal-hal kecil menjadi tidak berarti (setidaknya itulah yang saya tangkap dari bagian ini). Pada kenyataannya, bahwa seluruh aspek-aspek dalam suatu peristiwa bisa memengaruhi peristiwa tersebut, besar atau kecil. Ia mencontohkan bagaimana kritiknya terhadap narasi yang dibuat Weber mengenai Peristiwa Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh Frederik Williams IV. Weber menyatakan bahwa hal tersebut tidak ada hubungan sama sekali dengan penjahit yang membuatkan seragam yang dipakai Frederik Williams IV dalam peristiwa tersebut, dan hanya menyatakan bahwa itu hanya pengetahuan bagi sejarah busana. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, hal itu menyiratkan pesan bagaimana seragam yang dibuat oleh penjahit itu bisa memunculkan efek tertentu yang cukup memengaruhi peristiwa sejarah yang sedang berlangsung.

Veyne juga menekankan bagaimana kemudian muncul sebuah gagasan mengenai sejarah yang menarik. Dalam hal ini ia menekankan bahwa ketertarikan terhadap sebuah peristiwa yang sebenarnya muncul dari esensi yang didapat dari peristiwa tersebut, yang kemudian hanya ditemukan berhubungan dengan kenapa peristiwa itu terjadi, yang kemudian menghilangkan dua hal utama dalam sebuah ketertarikan, yaitu nilai dan contoh. Kemudian ketertarikan juga dipengaruhi oleh dua pola dasar penulisan sejarah: yaitu tindakan untuk membuat suatu memori yang akan selalu diingat, dan membuat perbedaan antara satu dengan yang lain. Lebih jauh lagi, ketertarikan terhadap sejarah bisa datang melalui sesuatu yang spesifik. Memang pada dasarnya bahwa sejarah muncul dari sesuatu yang umum, tetapi perlu ditekankan juga bahwa sejarah terbangun atas berbagai hal khusus yang kemudian saling berhubungan membentuk suatu fakta dan peristiwa. Pada akhirnya akan ada satu ketertarikan sejarawan terhadap peristiwa yang lebih spesifik di balik peristiwa umum yang sangat membosankan atau sebaliknya.

Dari semua yang dibicarakan oleh Veyne pada bab ini, akan ada dua prinsip dari peristiwa sejarah dan juga termasuk penulisan sejarah. Pertama, sejarah merupakan pengetahuan yang tidak penting, dan bukan juga merupakan memori bersama. Kedua, apa pun yang terjadi, sejarah itu merupakan hal yang sangat penting dan setiap kejadian adalah sejarah. Kedua prinsip tersebut kemudian saling mengikuti satu sama lain. Pada dasarnya historiografi bukan merupakan biografi dari sebuah dinasti ataupun sebuah bangsa. Tetapi historiografi adalah suatu tulisan yang tidak hanya memuat mengenai masa lalu suatu bangsa atau dinasti. Waktu bukan merupakan hal yang esensial bagi sejarah, yang terpenting ialah bagaimana kejadian masa lalu bisa memberikan gambaran dan juga pencerahan mengenai berbagai pengetahuan yang muncul. Waktu hanya menjadi patokan untuk mengetahui sejauh mana sebuah peristiwa sejarah berlangsung dan bisa menarik minat para pengkajinya.
Selanjutnya Veyne menyatakan bahwa menulis sejarah itu merupakan suatu aktivitas intelektual. Bagaimana tidak, dalam menulis sebuah karya sejarah, seseorang harus melihat banyak kemungkinan yang terjadi. Bagaimana ketertarikan terhadap bagian dari pada peristiwa sejarah, lalu melihat hubungannya dengan pengetahuan sejarah yang akan sangat berkaitan dibanding dengan pengetahuan lain. Juga mengenai subjek dan objek dari sejarah sendiri sangat sulit untuk dibedakan. Sehingga kemudian menulis sejarah harus menggunakan berbagai macam pertimbangan. Salah satunya ialah mengenai kesadaran.

Banyak yang menyatakan bahwa kesadaran tidak bisa dimanfaatkan sebagai pengetahuan sejarah. Alasannya karena kesadaran secara luas tidak bisa dielaborasikan dengan berbagai data. Namun pada kenyataannya, kesadaran bisa berguna sebagai pengetahuan sejarah. Bagaimana kemudian secara sadar, orang memikirkan sebuah kejadian secara kronologis dan berdasarkan plot yang diingat. Kesadaran dapat membuat sebuah prolog atau keterangan dari apa yang dilakukan dan diingatnya.

Kemudian sebuah pertanyaan muncul, apa yang menjadi tujuan dari pengetahuan sejarah? Pertanyaan ini dapat dijawab ketika melihat sejauh mana ketertarikan seseorang terhadap peristiwa tersebut. Hal tersebut merujuk pada dua alasan, pertama karena terdapat hal yang menarik dari masa lalu kelompok, keluarga, negara yang menjadi latar belakang orang tersebut, sehingga menarik minat ia untuk lebih mengeksplorasi kejadian yang terjadi di masa lalu; kedua, karena adanya kebutuhan akan pengetahuan yang berguna bagi dirinya maupun orang lain. Singkatnya, pengetahuan sejarah dapat berguna dalam dua hal: bagi alasan pertama, pengetahuan sejarah berguna sebagai pengingat akan kesadaran masa lalu yang dimiliki oleh suatu kelompok; kedua, pengetahuan sejarah berguna untuk memberikan sebuah pengetahuan dan juga sebagai sarana hiburan. Sejarah merupakan aktivitas kebudayaan yang mengandung suatu nilai yang merujuk pada keindahan, yang dapat menyajikan cerita menarik. 

Terakhir, dalam peristiwa yang kemudian ditafsirkan selalu memiliki pengaruh politis yang kuat. Hal ini dilihat dari bagaimana sudut pandang penafsir sendiri terhadap peristiwa tersebut. Begitulah kemudian penyebab adanya keharusan untuk “membersihkan” pandangan terhadap sejarah agar sejarah menjadi lebih baik untuk dinikmati.

(sulur.id - ang/kln)


0 comments: