Chairani Rahiimi E.H. Carr dalam buku Apa Itu Sejarah? di bab kelima mengenalkan dua pandangan sejarah yang populer: mitisisme d...

Memandang Kemajuan dalam Sejarah


Chairani Rahiimi




E.H. Carr dalam buku Apa Itu Sejarah? di bab kelima mengenalkan dua pandangan sejarah yang populer: mitisisme dan sinisme. Mitisisme adalah suatu pandangan bahwa sejarah memiliki pergerakan yang bergerak pada suatu tujuan. Cara pandang mitisisme ini berkaitan dengan adanya kekuatan suprasejarah, yakni adanya kekuatan yang menggerakkan sejarah di luar manusia. Sementara sinisme adalah suatu pandangan bahwa sejarah hanya cukup sebagai “masa lalu” yang tak bernilai apa-apa, tidak ada pandangan terhadap pergerakan dan terpaku pada satu titik saja.

Pada abad pertengahan, proses pergerakan sejarah dikenalkan oleh orang-orang Yahudi-Kristen. Sejarah pun memiliki arti dan tujuan, tetapi cara pandang ini cenderung lebih religius, menuju pada ketuhanan. Pada zaman pencerahan, pandangan Yahudi-Kristen ini diperbarui dengan menyisipkan pokok duniawi pada tujuannya, sehingga jelas petunjuknya untuk menilai “gerak sejarah”.

Dalam bukunya, Carr menelaah konsep kemajuan, hal-hal di balik konsep kemajuan, dan mengkritiknya. Konsep itu dibagi menjadi empat, pertama tentang kesejajaran sejarah dengan alam; kedua tentang awal dan akhir kemajuan; ketiga tentang pergerakan kemajuan; dan keempat tentang esensi kemajuan terhadap sejarah.

Pertama, masa pencerahan memercayai adanya kemajuan. Akan tetapi kepercayaan ini membuat sejarah dengan alam itu sejajar. Anggapan bahwa landasan dasar di antara sejarah dan alam itu berbeda ini tidak begitu tepat. Landasan dasar sejarah adalah kemajuan (akuisisi sosial), sementara landasan dasar alam adalah evolusi (warisan biologis). Kedua hal ini  diibaratkan dengan kasus bayi Eropa yang tinggal dalam keluarga Tiongkok. Bayi Eropa ini akan tumbuh dengan kulit putih dan mampu berbahasa Tiongkok. Ras kulit si bayi merupakan warisan biologis dan kemampuan bahasanya adalah hasil akuisisi terhadap sosial.

Kedua, Carr menyarankan untuk tidak menganggap kemajuan memiliki awal atau akhir yang pasti. Permulaan peradaban bisa saja dianggap sebagai titik awal hipotesis kemajuan, tetapi itu bukanlah reka-cipta yang sebelumnya tidak ada. Hal tersebut merupakan proses perkembangan lambat yang tak terbatas, adanya lompatan-lompatan spektakuler kemungkinan yang terjadi dari waktu ke waktu. Bagi sejarawan, akhir dari kemajuan bukan berarti pokok tersebut telah berubah secara signifikan. Titik akhir adalah sesuatu yang masih jauh tak terbatas, dan petunjuk-petunjuk ke arahnya hanya bisa dilihat ketika kita bergerak maju.

Ketiga, kemajuan itu tidak selalu berjalan lurus. Kemajuan pun memiliki bagian yang terputus-putus, bahkan sampai kemunduran. Jika terdapat kebangkitan dari kemunduran, hal itu terjadi bukan di tempat yang sama dengan cara yang sama pula. Kemajuan dalam sejarah tidak terpaku dalam konteks waktu dan tempat. Carr berpendapat bahwa suatu kelompok yang berperan dalam kemajuan budaya pada satu periode tidak akan bisa memainkan peran yang sama pada periode selanjutnya.

Keempat, esensi kemajuan dalam sejarah adalah historical action (tindakan sejarah). Mereka yang bertindak pada masa lalu tidak sadar bahwa mereka bergerak maju. Mereka hanya sadar untuk melakukannya saat itu. Sejarawanlah[K2]  yang melakukan hipotesis kemajuan dan menginterpretasikan tindakan-tindakan di masa lalu itu menjadi sebuah kemajuan. Hal ini memunculkan hikmah dari pengalaman masa lalu yang terletak pada pencatatan dari sejarah itu sendiri. Carr mengatakan,

kepercayaan pada kemajuan lebih condong pada perkembangan progresif potensi manusia. Kemajuan adalah istilah abstrak dan akhir konkret yang dituju oleh umat manusia dari waktu ke waktu diperoleh dari gerak sejarah, bukan dari sumber-sumber di luarnya. Dengan konsepsi kemajuan, masyarakat akan tahu bagaimana cara bertahan hidup. Adanya pengorbanan masyarakat pada generasi sebelumnya untuk ditujukan kepada generasi selanjutnya.

Pembahasan mengenai kemajuan memunculkan pertanyaan baru, yakni bagaimana proses objektivitas sejarah? Dalam ilmu-ilmu sosial, subjek dan objek adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Fakta-fakta sejarah pun tidak dapat sepenuhnya objektif karena fakta-fakta tersebut telah melalui proses penilaian signifikansi oleh sejarawan. Signifikansi adalah standar objektivitas sejarawan dalam interpretasi sejarah. Objektivitas dalam sejarah hanyalah objektivitas antara fakta dan interpretasi yang dikaitkan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Jika ditemui kesalahan-kesalahan bukan berarti sejarawan melakukan “kesalahan”. Artinya, ada sesuatu yang tidak memadai seperti ditemukannya bukti-bukti baru atau sejarawan melakukan kekeliruan dalam sudut pandang melihat masalah. Lalu bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa sejarawan itu bersikap objektif? Ada dua kemungkinan penyebab, sejarawan tersebut mendapatkan fakta-fakta yang akurat atau ia melakukan signifikansi yang tepat. Objektivitas sejarah terus berkembang seiring pergerakan sejarah. Sejarah lebih memiliki arti dan objektif jika masa lalu bersangkut paut dengan masa depan.

Dalam hal signifikansi, sejarawan tidak hanya mencari logika terhadap arah pergerakan sejarah, tetapi ada rasa moral dalam arah geraknya. Hal inilah yang memunculkan fakta dan nilai. Dalam fakta dan nilai, terdapat penurunan nilai dari fakta serta penurunan fakta dari nilai. Namun kedua hal ini bersifat relatif.

Penurunan nilai dari fakta sebagian benar dan sebagian salah. Hal ini harus dilihat dari sistem nilai yang berasal dari fakta-fakta lingkungan yang bergantung pada periode atau wilayah. Nilai-nilai pun dapat berbeda karena adanya perbedaan fakta-fakta sejarah. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai yang tidak bisa diturunkan dari fakta adalah nilai-nilai yang sepihak dan menyesatkan.

Penurunan fakta dari nilai tidak sepenuhnya benar dan perlu kualifikasi. Penggambaran terhadap fakta-fakta lingkungan disebabkan oleh nilai-nilai yang digunakan untuk mendekati fakta. Masalah ini perlu ditimbang sebab nilai-nilai adalah bagian penting dalam manusia agar mampu menghadapi lingkungan sehingga menghasilkan sejarah. Untuk menangani dikotomi antara fakta dan nilai, di sini penggunakan kata “kebenaran” dipakai. Kebenaran tidak hanya menjelaskan mengenai fakta atau nilai saja. Kebenaran merangkul dua hal itu. Sejarawan perlu seimbang antara fakta dan nilai karena dua hal itu tidak dapat dipisahkan. Bisa saja sejarah menjadi teologi yang membuat arti masa lalu atau menjadi kesastraan masa lalu tanpa arti. Carr juga mengatakan pandangan kita terhadap sejarah mewakili pandangan masyarakat.
***
Pembahasan proses pergerakan sejarah dan sejarawan yang maju telah mencapai pada simpulan tentang kedudukan sejarah dan sejarawan dewasa ini. Pada bab keenam, Carr menjelaskan bagaimana keberlanjutan kemajuan sejarah serta masyarakat masa kini dan masa depan dalam relevansinya: perubahan menyeluruh dan perubahan dari segi geografis.

Sejarah dimulai ketika manusia memikirkan berlalunya waktu dalam konteks peristiwa-peristiwa khas di mana manusia terlibat dan terpengaruh secara sadar. Sejarah adalah perjuangan manusia menggunakan logikanya untuk memahami lingkungannya dan bertindak sesuai pemahamannya. Periode modern telah memperluas dimensi logika dan sejarah bahwa tak hanya lingkungan saja yang dipahami dan ditindak oleh manusia, tetapi juga dirinya sendiri. Mereka mengaitkan kecemerlangan masa lalu dengan tindakan-tindakan untuk guna masa depan.

René Descartes adalah tonggak dimulainya pemikiran manusia terhadap dirinya sendiri, sehingga manusia dapat diposisikan sebagai subjek dan objek. Jean–Jacques Rosseau juga memberikan kesadaran diri baru kepada manusia dan pandangan baru terhadap dunia alam dan kebudayaan tradisional. Pada abad ke-17 dan ke-18, manusia mulai menggunakan logika untuk memahami lingkungan dan hukum-hukumnya. Ketetapan misterius dan takdir gaib mulai menghilang.

Pada transisi dari abad ke-18 ke dunia modern, Hegel muncul dengan mengubah gagasan hukum ketuhanan menjadi hukum logika. Tentang tujuan rasional, Hegel menulis bahwa manusia dalam tindakan untuk mewujudkannya membuat kesempatan untuk memuaskan keinginan mereka sendiri, tetapi maknanya berbeda dari tujuannya. Marx pun membuat transisi menuju konsepsi dunia yang diatur oleh hukum yang berkembang melalui proses rasional. Marx juga berpendapat bahwa sejarah mempunyai tiga hal yang saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan, (1) gerakan yang menyesuaikan dengan hukum objektif, terutama ekonomi; (2) perkembangan pemikiran yang berhubungan dengan hal tersebut melalui proses dialektik; dan (3) tindakan yang berhubungan langsung dalam bentuk perjuangan kelas yang merekonsiliasi dan menyatukan teori serta praktik revolusi.

Kemudian Sigmund Freud menambahkan dimensi baru bagi logika. Freud menitikberatkan pada kondisi psikologis dalam analisisnya. Apa yang dilakukan oleh Freud adalah memperluas kisaran pengetahuan dan pemahaman kita dengan membuka akar ketidaksadaran perilaku menuju kesadaran dan penyelidikan rasional. Hal ini merupakan peningkatan domain logika untuk manusia memahami diri sehingga mampu mengontrol dirinya sendiri, kemudian mengontrol lingkungannya.

Bagi sejarawan, signifikansi Freud memiliki dua arti. Pertama, ia menyatakan bahwa dasar tindakan manusia berasal dari motivasi yang diyakini tidak mampu menjelaskan apa pun, walaupun para pengikutnya dapat menganalisisnya melalui psikoanalisis. Penggunaan psikoanalisis ini bergantung pada pemeriksaan silang pada pasien. Kedua, ia membuat sejarawan memeriksa dirinya terhadap sejarah. Apa motif yang menuju pada pemilihan tema atau periodenya, bagaimana interpretasi fakta-fakta, apa saja latar belakang nasional dan sosial yang membentuk sudut pandangnya. Di sinilah sejarawan tidak lagi sebagai individu yang terpisah dari masyarakat dan sejarah.

Awal abad ke-20 terjadi revolusi-revolusi dalam kehidupan manusia. Adanya perubahan kepercayaan hukum ekonomi objektif menjadi kepercayaan manusia atas nasib ekonominya sendiri. Sains pun tidak lagi condong kepada penyelidikan alam objektif dan membuat hukum-hukum. Sains dapat digunakan melalui logika untuk transformasi lingkungan juga transformasi dirinya sendiri. Telebih itu pula, perubahan dalam persuasi dan indoktrinasi modern sangat berkembang. Dibuatlah kebijakan pendidikan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial yang telah disusun secara rasional.

Selain itu, individualisasi berkembang pesat saat itu. Adanya penganekaragaman keahlian, pekerjaan, dan kesempatan individu sesuai dengan pergerakan budaya sehingga berpengaruh pada minat orang untuk belajar. Dalam bidang ilmu mulai banyak spesialisasi individu yang ditawarkan.

Dari beberapa hal yang dipaparkan, Carr menjadikan revolusi teknologi sebagai aspek pertama dalam revolusi abad ke-20. Rasionalisasi produksi mendorong manusia untuk mempelajari mesin-mesin dan membuat mereka berpikir. Hal ini menyebabkan adanya rasionalisasi manusia.

Ada hal yang perlu diperhatikan ketika revolusi abad ke-20 ini berkembang. Individualisasi yang makin menguat ini digunakan oleh kelompok-kelompok yang mencoba untuk “menyetir” sosial. Di sini, para pengiklan komersial dan propagandis politik menggunakan logika untuk melakukan tugasnya. Mereka tidak peduli dengan fakta-fakta yang ada melainkan lebih memilih selera konsumen atau pemilih. Metode yang dilakukan ini menggunakan “hitting below the intellect”. Meskipun demikian, terdapat perbaikan pada tumbuhnya kesadaran logika di masyarakat dari bawah terhadap peran yang dimainkan logika.

Revolusi progresif pun terjadi pada tataran geografis. Pada abad ke-20 muncul negara-negara di luar Eropa Barat dan kelompok negara berbahasa Inggris yang mulai memengaruhi dunia, yakni Eropa Timur, Asia, dan Afrika. Jepang pada 1902 telah masuk aliansi besar kelompok Eropa. Revolusi Rusia pertama pada 1905 telah memengaruhi Persia, Cina dan Turki. Perang dunia I, yang sebenarnya perang saudara Eropa, memengaruhi seluruh dunia sehingga muncul dorongan industri di negara-negara Asia, antietnis asing di Cina, dan nasionalisme India dan Arab.

Perubahan bentuk dunia ini menurut Carr mengkhawatirkan kecenderungan kelompok-kelompok dominan untuk mengabaikan pemahaman perkembangan ini atau cenderung bergonta-ganti sikap antara meremehkan penuh curiga dan merendahkan dengan sopan, lalu kembali bernostalgia dengan masa lalunya yang buruk.

Acton mengatakan bahwa sejarah universal adalah perhatian semua sejarawan yang serius,  tetapi sejarawan-sejarawan di Inggris masih mengabaikannya. Carr pun mengungkapkan bahwa tak ada kemampuan dan kemauan untuk memahami sehingga mengisolasikan diri terhadap kejadian-kejadian di dunia. Carr khawatir akan hilangnya keyakinan terhadap pergerakan dunia. Jika hal itu terjadi, perubahan bukan dipandang lagi sebagai objek kemajuan, tetapi sebagai objek ketakutan. Negara-negara akan tertinggal dan akan kembali ke nostalgia yang dulu tanpa kemajuan karena ketakutan tersebut.


(sulur.id - crn/kln)

0 comments: