Farhan Assidiq
Dalam pembelajaran sejarah, sering kita dapati pembelajaran mengenai sejarah dilakukan secara formal dikelas. Hal tersebut dibuat seakan-akan sejarawan merupakan suatu profesi semata tanpa melihat eksistensi sejarawan itu seperti apa.Sejarah bukanlah sains, hal itu yang coba dijelaskan oleh Paul Veyne bahwa eksistensi seorang sejarawan bukan hanya bertujuan untuk mengejar profesi semata, melainkan seorang sejarawan harusnya benar-benar mampu menempatkan dirinya di antara celah masa lalu dan masa kini. Untuk mencapai hal tersebut, sejarawan semestinya mampu memahami bagaimana peristiwa sejarah dibentuk dan melihat keunikan yang dimiliki oleh plot sejarah. Sejarah merupakan jalan untuk menjelaskan sejelas-jelasnya bagaimana suatu peristiwa dapat terjadi. Penggabungan peristiwa sejarahmerupakan hasil dari mengorganisir data-data. Dalam mengorganisir data-data, terkadang sejarawan sering membuat kesalahan. Paul Veyne menyebut salah satu kesalahan yang kadang tidak disadari oleh sejarawan adalah melakukan tindakan yangkadang hanya didasari teori yang belum memiliki kejelasan dan masih berupa kemungkinan, Veyne menyebutnya sebagai Retrodiction.
Masalah utama dari Retrodiction ada pada masalah asumsi sendiri yang dapat terjadi oleh sebab. Untuk memahami hal tersebut, Paul Veyne memberi proposisi sederhana dari peristiwa “Louis XIV menjadi tidak disukai karena kebijakan pajak yang tinggi”. Hal ini dapat ditulis dengan dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, maksud dari pernyataan tersebut diketahui sejarawan melalui dokumen-dokumen bahwa kebijakan pajak yang tinggi merupakan penyebab Raja Louis tidak disukai, jadi sejarawan berbicara dan mendengar hal tersebut dengan telinganya sendiri melalui dokumen-dokumen yang telah ia temukan. Kedua, sejarawan hanya mengetahui bahwa pajak yang tinggi dan hal itulah membuat raja menjadi tidak disukai sampai akhir pemerintahannya. Dalam kasus pertama dapat dilihat bahwa ada keterhubungan antar plot-plot yang dibaca melalui dokumen-dokumen yang menjelaskan bahwa sistem pajak membuat raja tidak disukai. Sedangkan dalam kasus yang kedua dapat dilihat bahwa sejarawan membuat Retrodiction, ia hanya membuat alasan tidak disukainya raja atas dasar kemungkinan sebagai sebab untuk menjelaskan hipotesis tanpa melihat secara menyeluruh jejak-jejak peninggalan sejarah.
Kausalitas merupakan sesuatu yang alami dan tidak teratur,masa depan selalu dapat berubah.Apa yang akan terjadi esok tidak akan pernah diketahui sebelum hal itu terjadi. Kausalitas selalu bersama dengan mental sejarawan. Peristiwa terdiri dari berbagai plot yang semuanya persis tapi tidak selalu sama. Peristiwa memiliki sebab, tetapi sebab tersebut tidak selalu memiliki resiko dalam jangka pendek, dan kesempatan terjadinya peristiwa juga tidak selalu sama. Kausalitas dibuat berdasarkan hubungan kausal terhadap sesuatu. Retodiction, merupakan suatu jalan relasi untuk menjelaskan suatu alasan dengan analogi atau dalam bentuk prediksi apa yang akan terjadi dimasa depan. Pondasi dari Retrodiction dapat dilihat bahwa ia bukan merupakan generalisasi yang konstan, efeknya selalu mengikuti sebab atau bukan dari pondasi dalam keadaan khusus, melainkan fenomena alami yang berurutan. Hal itu merupakan sesuatu yang empiris, sesuatu berasal dari pengalaman pribadi, artinya retodiction sangat personal, dan sangat berhubungan dengan lingkungan sekitar dimana seseorang itu hidup.
Sejarah memberikan periodisasi dalam rekonstruksinya berdasarkan klasifikasi yang didapat di antara dokumen-dokumen dan Retrodiction. Apa yang kita sebut “fakta” sejarah sejauh diketahui sangat konsisten (tetap dan pasti), pada kenyataannya fakta selalu jelas mengambil ukuran dari apa yang disebut Retrodiction. Untuk memahami kausalitas dan Retrodiction, sejarawan sebaiknya mempunyai pengalaman langsung dalam menganalisis suatu peristiwa sejarah. Pengalaman sejarah adalah pengetahuan yang paling umum dari semua yang dilakukan oleh sejarawan dalam sejarahnya. Hal tersebut menyatu dan dapat dipelajari dari kehidupannya, seperti apa yang ia baca dan dengan siapa ia mendapat pendidikan. Karena itu tidaklah mungkin sejarawan satu dan yang lainnya memiliki pengalaman yang sama. Dalam melakukan interpretasi, sejarawan penting untuk mempelajari periode sekarang atau periode yang lain dalam sejarah. Sejarawan sebaiknya dapat menggambarkan pemikirannya dengan dilandasi fakta, berbeda dengan sains yang pada prinsipnya difokuskan oleh hukum ilmiah. Akan tetapi jika logika empiris relevan membuat sejarah juga dapat dilihat dari satu hukum,hal tersebut benar-benar sangat kecil kemungkinannya.
Pemilihan plot juga benar-benar akan menentukan apa yang akan menjadi sebab relevan dan apa yang tidak. Sains dapat membuat itu sebagai proses yang dibutuhkan, akan tetapi sejarah akan berpegang teguh pada aturan bahwa keberadaan sebab merupakan kumpulan gagasan dari berbagai plot. Sejarah tidak akan pernah seperti sains,dikarenakan hal itu hanya akan menyisakan jurang hukum yang saling terhubung. Fisika dan sains manusia dapat membuat semua perkembangan menjadi mungkin, sejarah tidak demikian; sejarah merupakan peristiwa yang sudah terjadi. Berbeda dengan sains yang melakukan perhitungan dengan tujuan dapat memperediksi apa yang akan terjadi, sejarah akan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi melalui pengalaman dari peristiwa masa lalu. Oleh karena itu, penting sekali untuk melihat secara keseluruhan dan memahami betul bagaimana berbagai plot dapat membentuk suatu peristiwa yang akan dicari faktanya oleh sejarawan.
Sejarawan memang sebaiknya mengetahui benar konsep dari kausalitas sehingga tidak terjerumus ke dalam Retrodiction. Dalam konsepnya, kausalitas memiliki 2 aspek yang penting yaitu material causality dan human causality. Material causality meliputi gagasan yang diterima dari luar seperti di lingkungan ia berada. Terkadang teman terdekat dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang semula sudah ditetapkan oleh seorang sejarawan. Hal ini dikarenakan adanya kedekatan emosional.
Sejarawan sebaiknya dapat menempatkan diri terhadap pengaruh gagasan bahwa kedekatan emosional bukan berarti menyalah gunakan data sejarah yang ditemukan. Human causality merupakan kondisi psikologis dari sejarawan. Hal tersebut biasanya muncul dari kegelisahan sejarawan melihat fenomena-fenomena disekitarnya. Memang agak membingungkan, akan tetapi bila diresapi dengan benar akan terlihat di mana letak perbedaannya. Dari sini menunjukkan bahwa pengalaman sejarawan jauh lebih berpengaruh dalam penulisan sejarah dibandingkan metode secara menyeluruh. Dalam penulisan sejarah justru kondisi psikologis sejarawan pada saat mencari data, sudut pandang mana yang ingin ia tulis bergantung dari pengalaman dan kebiasaan sejarawan, bukan dari metode yang terkesan sebagai hukum baku agar sebuah tulisan sejarah menjadi ilmiah.
Situasi seperti itu ditemukan sejarawan sering memanfaatkan masa lalu untuk kepentingan penguasa. Sejarawan tidak tahu seperti apa ia harus bersikap ketika dibawah rezim penguasa. Hal inilah yang membuat banyak karya sejarah yang justru memberi pandangan yang salah terhadap masa lalu. Ideologi para sejarawan sangat mempengaruhi benar tulisan-tulisannya. Pada kasus ini sejarawan dapat saja membuat propaganda dengan mengatasnamakan agama yang membuat masyarakat secara sadar atau tidak sadar menjadi terprovokasi. Sangat memprihatinkan bahwa masa lalu yang seharusnya menjadi pengalaman pembentuk mental suatu negara malah dijadikan alat untuk politik. Hal itu dilakukan terus-menerus sehingga masyarakat sudah menganggap bahwa suatu peristiwa tertentu adalah sebuah fakta tanpa mempertimbangkan faktor lain. Institusi justru mendukung untuk memberi pandangan ideologis yang salah mengenai sejarah. Institusi memberi motivasi bukan bertujuan agar para pelajarnya memiliki mental kritis, melainkan hanya untuk memikirkan karir saja. Sejarawan seharusnya mampu menempatkan diri di antara masa lalu dan masa kini, tetapi pada kenyataanya sejarawan sering abai dalam melihat secara kausalitas suatu peristiwa sejarah dan hanya menjadi sekedar profesi semata. Artinya, sejarawan membuat karya sejarah hanya untuk kepentingan penguasa. Institusi membuat sejarawan menjadi formal sehingga sejarawan sendiri kehilangan eksistensinya. Itulah mengapa banyak tulisan sejarah yang terkesan kering. Sejarawan dibatasi benar terhadap apa yang dibacanya, sementara apa yang dibaca oleh sejarawan menentukan kualitas dan cara pandang sejarawan terhadap suatu hal.
Kesulitan sebenarnya yang dihadapi sejarawan adalah bagaimana mengingat hubungan antara kesadaran terhadap bentuk kausal dari peristiwa sejarah dan bagaimana sebaiknya sejarawan bertindak. Hal tersebut merupakan bagian yang terpenting. Kesulitan lainnya adalah bagaimana peristiwa dapat diverifikasi, dan apakah itu cukup dengan hanya melihat dari dokumen-dokumen? Tentu saja sejarah tidak sesederhana itu. Kesadaran sejarawan memang bukan merupakan tujuan akhir. Untuk dapat merasakan kesadaran terhadap masa lalu, urutan tindakan sejarawan tidak dapat dikurangi dari banyak data yang ia dapat dan ia susun, meskipun demikian hal tersebut hanya merupakan pertimbangan dan bukan informasi mengenai tujuan sebenarnya. Oleh karena itu, sejarah merupakan sesuatu yang kompleks sehingga sejarawan hanya dapat mendekati sebagian kecil fakta yang terjadi pada masa lalu.
0 comments:
Posting Komentar