Alika Lahitani F akta sejarah bukan suatu hal yang ditemukan begitu saja dan langsung dipercayai kebenarannya. Masalah yang sering mu...

Catatan Diskusi Sejarah, Fakta Sejarah, dan Sejarawan

Alika Lahitani
Fakta sejarah bukan suatu hal yang ditemukan begitu saja dan langsung dipercayai kebenarannya. Masalah yang sering muncul dalam proses pencarian fakta sejarah adalah klaim yang menyatakan seorang sejarawan telah menemukan fakta berdasarkan pada sudut pandang yang dimilikinya. Fakta sejarah seyogianya perlu dikritik, tidak cukup bergantung pada masalah sudut pandang semata. Begitulah pendapat Fadly Rahman sebagai pemantik diskusi dengan topik “Sejarah, Fakta Sejarah, dan Sejarawan” pada pertemuan Kelas Historiografi Komunitas Sulur yang kedua (28/2/17). Topik bahasan pada pertemuan kali ini diambil dari buku sejarawan Inggris E.H Carr yang berjudul What is History?


Sejarah dipelajari untuk menumbuhkan kepekaan dalam diri sebuah bangsa. Kebutuhan terhadap kepekaan itu adalah untuk mencegah terulang kembalinya kesalahan yang menyebabkan kenestapaan sejarah. Dalam hal ini, fakta sejarah adalah sesuatu yang ditemukan melalui proses heuristik dan melalui proses interaksi dengan lintas disiplin ilmu, seperti dengan filologi maupun arkeologi. Penulisan sejarah tidak dapat dilakukan selintas lewat tanpa kesaksamaan.

Proses pencarian fakta ini oleh Fadly diibaratkan dengan aktivitas mencari ikan di pasar. Pencarian ini seperti proses seleksi terhadap ikan mana yang ingin dibeli untuk dibawa pulang, lalu dimasak lantas disajikan. Mirip kerja sejarawan yang mencari sumber-sumber di perpustakaan, memilah sumber yang akan digunakan. Semuanya dikerjakan tidak dengan instan, melainkan melalui proses yang cukup panjang.

Masalah yang muncul berkenaan dengan sudut pandang yang dicontohkan Fadly salah satunya berletak pada penulisan sejarah bangsa. Buku Sejarah Nasional yang beredar seolah dijadikan “kitab suci” oleh para pembacanya untuk merujuk fakta sejarah. Apa yang tertulis di dalamnya itu dianggap sebagai sesuatu yang mutlak kebenarannya sehingga tidak perlu ada keraguan terhadap kebenaran fakta tersebut. Padahal tulisan dari sejarawan yang ditugaskan pemerintah itu bisa jadi tidak objektif dalam penulisan sejarah. Dalam artian, sejarah digarap untuk melegitimasi kekuasaan.

Kerja sejarawan sangat muskil merekonstruksi masa lalu secara presisi. Dengan demikian, yang menjadi kerja sejarawan adalah bagaimana mendapatkan sebuah penulisan yang mendekati peristiwa aslinya. Kekuatan imajinasi dan penyelidikan menurut Carr merupakan faktor yang memengaruhi kerja historiografi dalam menghadapi sumber yang kemudian dikonfirmasi keakuratannya.

Ketika berbicara mengenai kerja sejarawan dalam mengahadapi fakta sejarah terdapat poin yang perlu diingat, yakni fakta yang merupakan penemuan dan penciptaan. Persoalannya terjadi ketika penciptaan fakta, semisal, pemilihan tempat tertentu untuk penggalian sumber. Gani kemudian mengilustrasikannya, mengapa dalam mencari ikan harus memilih Pasar Cileunyi, padahal terdapat banyak pasar yang menjual ikan; dan kenapa dalam memilih ikan, hanya ikan mas dan mujair saja yang disebutkan? Pilihan-pilihan seperti itu jelas merupakan persolan yang perlu didiskusikan oleh para peserta diskusi.




Tanggapan yang diberikan Gani A. Jaelani kemudian membuat diskusi semakin menarik. Ia mengungkap praktik yang lazim terjadi dalam penulisan sejarah, yakni ketika sejarawan menjual fakta. Dari mana datangnya fakta itu? Menurutnya akan lebih tepat jika praktik itu diibaratkan seperti kerja mencari ikan di samuderamenentukan tempat memancing, ikan yang dicari, pilihan kail yang dipakai—semua pilihan akan berpengaruh terhadap hasil pancingan. Hal yang tidak bisa diabaikan adalah, dalam memancing ikan di samudera, keberuntungan dan kebetulan juga turut berperan. Fakta yang dihasilkan oleh sejarawan pun dalam hal ini bukanlah sesuatu yang bebas nilai. 

Peter Carey yang melakukan penelitian tentang Diponegoro selama 30 tahun, membuka fakta unik yang mungkin belum terbayangkan sebelumnya. Siapa yang menyangka jika Diponegoro yang identik dengan keislamannya suka wine? Hal ini tentu tidak dimunculkan dalam buku-buku yang kita tahu selama ini, karena fakta ini akan berpengaruh terhadap simbol yang telah melekat pada Diponegoro. Pada kasus seperti inilah, sejarawan akan bergulat dengan fakta. Afiliasi institusinya dalam hubungan sosial-politik akan berpengaruh terhadap penulis dan hasilnya.

Salah satu tanggapan datang memecah kerutan mimik para peserta diskusi jadi tawa, pendapat itu kurang lebih seperti ini, mencari fakta seperti mencari jodoh, begitulah perumpamaan Budi Gustaman terhadap pencarian fakta sejarah. Dalam proses pencarian fakta yang sahih, maka tahapan yang dilakukan seperti kritik dan koroborasi membuatnya menjadi lama. 

Permasalahan selanjutnya yang diutarakan oleh Budi adalah ketika sejarah disikapi dengan paradigma sudut pandang, sebagai contoh lagi-lagi disebut Sejarah Nasional bangsa Indonesia yang dibangun lewat sudut pandang politis. Karenanya sejarah Indonesia menjadi sangat Jawa-sentris, padahal ada begitu banyak indikator yang membangun sejarah bangsa. Menurutnya hal ini sejalan dengan ungkapan, History without people, people without history

Dalam proses pencarian fakta seorang sejarawan pun berhadapan dengan masalah sudut pandang, yang dikhawatirkan adalah apakah kemudian kebenaran itu relatif? Yang artinya, bisa saja semua menjadi benar bergantung pada sudut pandang yang digunakan padahal basis material yang ada harus disepakati sehingga bisa dikatakan itu adalah fakta. Gani menambahkan jika yang dibahas oleh Carr tidak berkenaan dengan sudut pandang melainkan basis material, apa yang ada pada suatu masa dan apa yang tidak ada. Bermain sudut pandang hanya mungkin apabila basis materialnya kokoh sehingga tidak setiap peristiwa masa lalu itu dikatakan fakta sejarah. Ada tahapan untuk menggapainya sebagai fakta sejarah.




Diskusi mengenai sudut pandang dan fakta sejarah ini menimbulkan pelbagai pertanyaan. Yang pertama datang dari Randy yang menyoal mengenai arti kata history dan apakah benar sejarah itu ditulis oleh pihak yang menang. Lalu ia juga menambahkan apabila Indonesia menjadi negara yang sangat Islam-sentris, apakah mungkin masalah Candi Borobudur yang dianggap sebagai  peninggalan Sulaeman itu kemudian dibenarkan oleh pihak yang berkuasa? Akan seperti apa penulisan sejarah di masa depan yang membahas masa kini apabila menyoal  pernyataan History as an actually happen, and history as written?




Respon yang Fadly berikan berkaitan dengan peran media yang senang membesar-besarkan sesuatu. Sehingga hal yang awalnya menjadi candaan pun tidak bisa dianggap begitu lagi. Salah kaprah yang terjadi itu mengangkangi fakta-fakta yang sudah diteliti sedemikian rapi oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu. Semisal, faktanya Majapahit adalah kerajaan Hindu. Tetapi, permainan ilmu “cocoklogi” membuatnya menjadi kerajaan Islam.

Kemampuan story telling yang hebat dari orang yang memiliki kemampuan lemah dalam membaca narasi sejarah dapat menyesatkan. Yang menjadi ironi adalah kelemahan dalam kritik itu tidak hanya terjadi pada lapisan bawah, bahkan yang dikatakan "terpelajar" pun melakukan kesalahan serupa. Hoax yang ramai beredar pun pada dasarnya dibuat berdasarkan kesadaran dan kesengajaan. Tanggung jawab sosial sejarawan adalah mematahkan hoax tersebut. Sejarawan harus bekerja lebih jeli terkait dengan sumber-sumber yang ada.

Rima menambahkan apabila yang kita punya saat ini hanya cerita Lalu, apakah mungkin adanya silang cerita? Dalam peristiwa 65 saja ada sekitar lima cerita dari sudut pandang yang berbeda. Cerita mana yang paling benar kita tidak pernah tahu.

Menjelang akhir diskusi, Gani menambahkan pendapatnya mengenai masalah penarasian sejarah seperti yang disebut di atas,  bahwa dalam sejarah ada plot cerita. Hal itu sejalan dengan bahasan sejarawan Perancis, Paul Veyne, yang menulis tentang struktur narasi sejarah. Ada batasan antara sejarah dan sastra. Paul Ricoeur dalam bukunya Memory, History, and Forgetting menjelaskan bahwa antara sejarawan dan sastrawan memiliki kesamaan dalam tahapan pencarian data, yang membedakannya adalah pada tahap representasi data atau historiografi. Fakta yang kemudian harus kita percayai adalah yang paling banyak mendapat kritik. Akan tetapi, fakta tidak akan bertahan  selamanya ketika ditemukan fakta baru yang lebih kuat. Yang dikatakan Gani merujuk kepada sejarawan Italia, Benedetto Croce, bahwa sejarah itu selalu kontemporer sehingga selalu berdasarkan kepentingan saat masa sejarah itu ditulis.

(sulur.id - alk/kln)

0 comments: