Azmil R. Noel Hakim Sejarah, Sains, dan Moralitas Persoalan sejarah adalah sains atau bukanlah sebuah persoalan yang perlu d...

Sejarah Sebagai Ilmu dan Hukum Kausalitasnya



Azmil R. Noel Hakim


Sejarah, Sains, dan Moralitas

Persoalan sejarah adalah sains atau bukanlah sebuah persoalan yang perlu dikhawatirkan. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh E.H. Carr dalam paragraf pembuka pada bab III ‘Sejarah, Sains dan Moralitas’ dalam bukunya  Apa Itu Sejarah?



Dalam bab ini, ada beberapa poin yang ingin disampaikan Carr. Secara keseluruhan bab terdiri atas tiga kerangka pembahasan inti. Pada bagian pertama, setidaknya ada tiga persoalan yang diulas oleh Carr. Pertama adalah terkait pertanyaan apakah sejarah itu sains atau bukan; kedua ulasan tentang konsepsi hukum yang muncul sepanjang abad ke-18 dan ke-19; ketiga, perihal kedudukan periodisasi dalam sejarah. Pada bagian kedua, Carr kembali mengulas pertanyaan apakah sejarah adalah sains atau bukan dengan mengajukan lima gagasan yang memperkuat kedudukan sejarah sebagai sains. Terakhir berbicara penegasa simpulan argumen yang sudah disampaikan oleh Carr.

Kalimat awal pembuka bab dimulai dengan dengan kenyataan yang Carr temui ketika muda, bahwa ternyata seekor Paus, tanpa memedulikan bentuk fisiknya, adalah bukan ikan. Persoalan itu (apakah sejarah itu sains atau bukan) hanya persoalan klasifikasi – yang tidak begitu membuat Carr tertarik Hal itu juga merupakan persoalan terminologi yang disebabkan oleh kerumitan bahasa Inggris. Karena dalam bahasa lain di Benua Eropa, yang tidak berbahasa Inggris, sejarah tidak lagi dipertanyakan kedudukannya sebagai sebuah ilmu atau bukan.

Selanjutnya Carr menjelaskan tentang perkembangan sains pada akhir abad ke-18. Saat itu, sains berkembang dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pengetahuan manusia dalam memandang dunia dan juga sifat fisiknya. Akibat daripadanya memunculkan pertanyaan, apakah sains juga dapat memajukan pengetahuan manusia tentang ilmu-ilmu sosial—termasuk sejarah di dalamnya.

Perumusan tentang konsep ilmu-ilmu sosial mulai mengalami perkembangan secara bertahap sepanjang abad ke-19, yang dalam perkembangannya menerapkan metode yang digunakan oleh sains dalam mengkaji manusia (ilmu-ilmu sosial). Pada tahap awal perkembangannya, masyarakat diasumsikan sebagai sebuah mekanisme, persis sebagaimana alam bekerja. Seperti Herbert Spencer dengan karyanya Sosial Statics,dan Bertrand Russell yang berharap akan ada sebuah masa ketika kemungkinan perilaku-perilaku manusia dapat secara tepat dihitung oleh matematika sebagaimana menghitung mesin. Selain Spencer dan Russell–terutama Russell yang tumbuh bersama tradisi penerapan metode sains pada ilmu-ilmu sosial–Charles Darwin, melalui teori evolusinya, memasukkan sejarah (penggunan waktu) terhadap biologi. Apa yang dilakukan Darwin adalah meneruskan apa yang telah dimulai oleh Charles Lylle dalam geologi. Apa yang dikerjakan oleh Lylle dan Darwin adalah melibatkan sejarah dalam sains, dan oleh karenanya keilmuan pada saat itu mengalami evolusi. Sebelum itu, sains adalah sesuatu yang statis dan tidak berkaitan dengan waktu.

Perdebatan soal sejarah adalah sains atau bukan tidak dapat lagi mengubah pandangan yang telah mapan terkait metode sejarah; mengumpulkan fakta (heuristic) dan kemudian mengintrepetasinya. Metode ini sudah diterima tanpa ada yang menyangsikan bahwa itu adalah metode ilmiah. Mengacu pada itu, Carr menyampaikan bagian akhir pidato pengukuhan J.B Bury pada Januari 1903. Bury mengatakan bahwa sejarah adalah sains, tidak lebih dan tidak kurang. Tetapi, usaha untuk membuat batas yang jelas antara alam yang menjadi objek penyelidikan ilmiah dan sejarah masih dilakukan. Seperti yang dilakukan Collingwood dalam tulisannya sekitar tahun 1930-an. Tetapi yang luput dan gagal diperhatikan, bahwa pada periode itu, keilmuan tengah mengalami revolusi yang mendalam. Seperti apa yang telah dilakukan Lylle untuk geologi dan Darwin untuk biologi. Sehingga batasan yang dibuat (antara alam dan sejarah) menjadi tidak lagi begitu berarti, sebaliknya apa yang disampaikan Bury, menjadi hampir mendekati kebenaran.

Carr melanjutkan pembahasan terkait kedudukan hukum dan hipotesis. Ia menyampaikan bahwa Pembahasan apa yang banyak dianggap sebagai hukum sebenarnya adalah bukan hukum, melainkan hipotesis. Apa yang menjadi tesis utama dari ilmuan Henri Poincare dalam karyanya La Science et l’hypothes adalah, dalil yang disampaikan oleh para ilmuwan (yang kemudian dianggap sebagai hukum) merupakan sebuah hipotesis yang dirancang untuk mengorganisasi pemikiran yang lebih jauh, yang dijadikan pijakan pokok untuk memverifikasi, memodifikasi, atau bahkan menyanggah hipotesis tersebut. Hipotesis yang telah ada juga bisa dijadikan sebagai langkah awal bagi penelitian lainnya. Seperti yang disampaikan Car,

”Para ilmuwan mengakui telah membuat penemuan dan mendapatkan pengetahuan baru tidak dengan membuat hukum–hukum yang tepat dan komperhensif, tetapi dengan mengungkapkan hipotesis yang membuka jalan bagi penyelidikan baru.”

Dalam kasus ini penelitan yang dilakukan Max Weber tentang hubungan antara ajaran Protestan dengan kapitalisme dijadikan contoh. Penelitian yang dilakukan oleh Weber, merupakan sebuah hipotesis, yang mungkin pada masanya sempat dianggap hukum. Hipotesis Weber setidaknya menyumbang pengetahuan dan memperluas pemahaman, walaupun kemudian telah dilakukan verifikasi, modifikasi, maupun penyanggahan. Carr juga menyampaikan bahwa hipotesis merupakan sebuah alat pemikiran yang sangat diperlukan.

Pembahasan selanjutnya adalah persoalan periodisasi. Persoalan itu merupakan hipotesis–seperti yang sudah disampaikan sebelumnya–yang dapat diverifikasi, dimodifikasi dan bahkan disanggah. Periodisasi sering kali dianggap sebagai fakta. Sedangkan menurut Carr, pembagian waktu menjadi beberapa periode dalam sejarah merupakan alat bantu pemikiran (sebagaimana hipotesis) yang dibutuhkan. Selama periodisasi itu valid dalam interpretasinya dan memperjelas. Dalam kasus ini ia mencontohkan tentang kapan Abad Pertengahan di Eropa harus berakhir. Beberapa sejarawan berbeda dalam menafsirkan kapan Abad Pertengahan berakhir, dan perbedaan itu bedasarkan dari perbedaan interpretasi beberapa peristiwa tertentu. Selain periodisasi, Carr juga menyampaikan bahwa pembagian georgrafis juga merupakan sebuah hipotesis, dan persoalannya persis seperti persoalan periodisasi.

Carr melihat masih ada keberatan yang beredar mengenai kedudukan sejarah sebagai sains. Keberatan-keberatan itu adalah: 1) Sejarah secara eksklusif berhubungan dengan hal yang unik, tidak seperti sains yang berurusan dengan hal yang umum; 2) Bahwa sejarah tidak mengajarkan apapun; 3) Sejarah tidak dapat diprediksi; 4) Bahwa sejarah, perlu bersifat objektif, karena manusia mengamati dirinya sendiri; 5) Bahwa sejarah, tidak seperti sains, melibatkan isu-isu agama dan moralitas. Kelima poin itu, diulas oleh Carr satu persatu.

Tuduhan pertama menurut Carr berpijak pada apa yang disampaikan Aristoteles bahwa puisi itu lebih filosofis dan lebih serius dibanding sejarah. Karena puisi berhubungan dengan kebenaran umum sedangkan sejarah berhubungan dengan kebenaran.Carr menganggap pendapat inisebagai bentuk kesalahpahaman. Sebagaimana para ilmuwan, penggunaan bahasa juga membuat pera sejarawan melakukan generalisasi. Carr menjelaskan bahwa sejarawan tidak benar-benar tertarik pada keunikan yang khas, tetapi lebih tertarik pada keunikan yang umum. Seperti Revolusi Inggris, Revolusi Prancis, Revolusi Rusia dan Revolusi Cina adalah peristiwa umum yang diberinama (dikategorikan) revolusi”.Setiap revolusi yang terjadi di tiap negara berbeda detil dan latar belakangnya. Carr menegaskan bahwa sejarawan memberikan perhatian terhadap hubungan unik yang umum (general).  Sejarawan tidak dapat memisahkan keduanya sebagaimana memisahkan fakta dan interpretasi. Pada bagian Carr juga berkomentar mengenai hubungan sejarah dengan sosiologi, dan ketakutan Carr akan bahaya ultraempiris dan ultrateoritis. Terlalu banyak menelusuri tanpa mengambil simpulan (ultraempiris) sama berbahayanya dengan terlalu cepat berkesimpulan tanpa melakukan penelusuran mendalam (ultrateoris). Pesan Carr terkait sosiologi dan sejarah adalah, semakin sejarah bersifat sosial dan semakin sosiologi bersifat sejarah, akan semakin baik bagi keduanya.

Keberatan kedua adalah tidak adanya pelajaran yang didapat dari sejarah. Tetapi, sejarah terbukti berhubungan dengan hal yang umum (generalisasi), karena pokok penting dari generalisasi adalah adanya sesuatu yang dapat dipelajari. Carr mencontohkan peristiwa yang ia alami, Carr hadir pada Paris Peace Conference pada 1919 sebagai anggota junior delegasi Inggris. Dalam pertemuan tersebut, semua anggota delegasi memercayai bahwa anggota delegasi harus mampu mengambil pelajaran akan berbagai hal dari kongres sebelumnya, yaitu Kongres Wina. Sir Charles Webster, yang pada Kongres Wina sebagai masih sebagai kapten yang bertugas dalam Kementrian Perang sekaligus seorang sejarawan, menuliskan tentang pelajaran-pelajaran yang dimaksud. Pengalaman itu, pelajaran yang didapat Carr, diakui sangat diingat dan memengaruhi perilakunya dan peserta delegasi lainnya. Kemudian Carr menegaskan bahwa belajar dari sejarah tidak pernah satu arah, terdapat karakter ganda dari sejarah. Mempelajari sejarah bukan persoalan mempelajari masa lalu, tetapi juga dapat diambil pelajarannya untuk masa kini. Atau tepatnya sebagaimana yang Carr sampaikan berikut:

 “Untuk mempelajari tentang masa kini, dengan melihat masa lalu berarti juga mempelajari masa lalu dengan melihat masa kini. Fungsi sejarah adalah untuk meningkatkan pemahaman mendalam baik terhadap masa lalu maupun masa depan melalui hubungan timbal-balik  antara keduanya.”

Selanjutnya, adalah terkait prediksi dalam sejarahSeperti yang pada penjelasan sebelumnya, sejarah juga bersifat umum, menggeneralisir adalah peran salah satu kerja sejarawan. Pada tahap ini, sejarawan juga sekaligus menyiapkan panduan umum yang valid dan bermanfaat. Akan tetapi, panduan (prediksi) yang disiapkan sejarawan tidaklah spesifik, karena hal yang spesifik itu berkaitan erat dengan keunikan dan melibatkan unsur ketidaksengajaan di dalamnya. Carr mencontohkan dengan beberapa pelajar yang terserang penyakit campak di sebuah sekolah. Berdasarkan kejadian itu kemudian epidemi campak kemungkinan akan terjadi di sekolah tersebut. Tapi, kemudian tidak serta merta bisa memperkirakan secara spesifik siapa pelajar yang akan terlebih dahulu terserang penyakit campak. Seperti itulahgerak kerja sejarawan–terkait prediksi. Secara umum, semisalsejarawan–berdasarkan peristiwa yang serupa sebelumnya–dapat memprediksikan tentang revolusi yang akan terjadi di Ruritania (Ruritania adalah negara imajinatif yang terdapat dalam karya Antony Hope—peny) beberapa bulan ke depan. Prediksi dirunut berdasarkan kondisi yang tengah terjadi di Ruritania, dan revolusi akan segera terjadi jika ada seseorang yang memicunya. Akan tetapi, sejarawan tidak dapat memprediksi secara tepat kapan revolusi akan pecah dan siapa yang memicunya. Revolusi itumerupakan peristiwa-peristiwa unik dan sekaligus sulit diprediksi.

Keempat, poin yang menjadi keberatan Carr perihal sejarah perlu bersifat subjektif karena manusia akan mengamati dirinya sendiri. Tidak seperti sains, sejarah – termasuk juga ilmu sosial lainnyamenjadikan manusia sebagai objek sekaligus subjek penelitian. Manusia tidak hanya sebuah satuan alami yang paling kompleks dan bervariasi.Oleh karena itu manusia juga perlu dipelajari. Bukan oleh pengamat dari jenis (spesies) lain. Sejarah dan ilmu-ilmu sosial perlu menelusuri kecenderungan perilaku manusia dalam berkehendak. Sejarah dan ilmu-ilmu sosial menjadikan manusia sebagai subjek sekaligus juga objek penelitian,  baik menjadi penyelidik dan diselidiki. Pada poin diulas secara lebih detail pada pembahasan mengenai objektivitas dalam sejarah.

Kelima, keberatan Carr mengenai tuduhan bahwa sejarah bukan sains, karena sejarah berurusan dengan isu agama (dogma) dan moralitas. Terkait tuduhan ini Carr memilih berpendapat seperlunya saja. Ia berpendapat seorang sejarawan yang percaya terhadap kekuasaan Tuhan yang mengatur dan memberikan makna pada perjalanan sejarah. Tapi, sejarawan tersebut tidak bisa percaya dengan Tuhan yang mengintervensi pembantaian suku Amakelit yang terdapat dalam Perjanjian Lama, dan juga tidak bisa meminta Tuhan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa tertentu. Carr juga berpendapat bahwa ada kecenderungan memposisikan agama sebagai kartu joker dalam tumpukan kartu, yang akan dicadangkan sebagai trik paling penting saat tidak ada cara lain lagi bisa dilakukan. Ia juga mengakui secara personal merasa kesulitan untuk mendamaikan integrasi sejarah dengan kepercayaan terhadap kekuatan supersejarah. Menggantikan makna dan signifikasi sejarah pada kekuatan lain–apakah itu kekuatan Tuhan dari Rakyat Terpilih atau Tuhan Kristen dan sebagainya. Persoalan ini ditanggapi olehnya, bahwa sejarawan harus memecahkan masalahnya tanpa harus bergantung kepada kekuatan supersejarah seperti itu. Sejarah adalah permainan kartu yang harus dimainkan sekalipun tanpa adanya joker dalam tumpukan kartu. Persoalan terkait sejarah yang berurusan dengan moralitas, ia menegaskan bahwa sejarawan tidak ada kepentingan untuk mengurusi penilaian moral terhadap kehidupan pribadi tokoh sejarah. Carr mengajak untuk menolak gagasan sejarawan sebagai hakim dan beralih dengan melalukan penilaian moral bukan kepada individu (tokoh sejarah) melainkan kepada peristiwa itu sendiri, lembaga, atau kepada kebijakan masa lalu. Sederhananya,  yang dimaksud oleh Carr adalah lebih penting mengarahkan fokus penilaian moral kepada peristiwa, lembaga, atau kebijakan masa lalu yang dilakukan oleh tokoh sejarah daripada menilai tokoh sejarah itu sendiri.

Carr kembali mengulas apa yang telah ia sampaikan, danmenegaskan mengapa ia mengajukan keberatannyaKeberatan utama Carr, dengan mengajukan penolakan untuk menyebut sejarah sebagai sains, akan membenarkan dan mengabadikan keretakan antara dua kebudayaan. Keretakan itu sendiri merupakan prasangka kuno yang berdasar pada struktur kelas masyarakat Inggris di masa lalu. Sebagaimana yang disampaikan di awal bab, bahwa perbedaan antara sains dan sejarah tidak akan berarti apa pun dalam bahasa lain selain bahasa Inggris. Hal itu memelihara struktur kelas di Inggris tentang prasangka lama pembagian keilmuan, bahwa ilmu sejarah (humaniora) mewakili kebudayaan luas kelas penguasa dan sains adalah keahlian dari para teknisi yang melayaninya. 


Kausa dalam Sejarah

Dalam bab Kausa dalam Sejarah Carr mengulas mengenai kedudukan kausalitas (sebab-akibat). Carr setidaknya membagi pembahasan menjadi empat kerangka besar dalam bab ini. Pertama memamparkan mengenai kedudukan kausalitas dalam sejarah dan seperti apa karakteristik sejarawan akan kebutuhan atas kausalitas (penyebab); kedua memaparkan apa yang menganggu Carr–yang  juga Carr anggap sebagai pengalih perhatian–terkait determinasi sejarah dan kebetulan dalam sejarah; ketiga, kembali melanjutkan pembahasan mengenai kedudukan kausa dalam sejarah; terakhir, adalah simpulan.

Kerangka pertama pembahasan adalah seperti apa kedudukan kausa dalam sejarah. Carr menyampaikan bahwa sejarah adalah kajian tentang kausalitas. Sejarawan yang besar adalah sejarawan yang terus mengajukan pertanyaan “mengapa”, ketika menemukan hal baru atau dalam konteks yang baru, dan tidak akan berhenti bertanya hingga setidaknya memperoleh jawaban. 

Ketika pondasi historiografi mulai dirumuskan pada abad ke-18, Carr mengutip penyataan dari Montesquieu yang berpendapat,“terdapat penyebab umum–baik moral atau fisik–yang bekerja... semua hal yang terjadi adalah subjek dari tiap penyebab-penyebab”. Masih mengutip Montesquieu, “menyampaikan adalah sebuah kekonyolan jika mengatakan bahwa hanya nasib semata yang menyebabkan setiap dampak yang terjadi di dunia ini.” Kemudian dipertegas, bahwa manusia tidak semata diatur oleh fantasi unik untuk mengarahkan setiap perilaku manusia. Perilaku manusia berdasarkan hukum atau prinsip tertentu merupakan sebuah turunun dari sifat dari berbagai hal.

Selama hampir 200 tahun, para filsuf dan sejarawan menyibukkan diri dengan upaya untuk mengorganisasi pengalaman masa dengan terus mencari penyebab-penyebab peristiwa sejarah yang terjadi. Carr kemudian menegaskan bahwa sejarah merupakan kumpulan peristiwa-peristiwa yang terdiri dari berbagai penyebab dan dampak yang diurut secara tepat. Jika tidak begitu, ia mengutip apa yang ditulis Voltaire, jika sejarah tidak menyampaikan penjelasan mengenai penyebab dan dampak dari suatu peristiwa, akan menjadi sebuah usaha yang sia-sia yang tidak memiliki kepentingan sama sekali.

Selanjutnya dijelaskan kondisi sebagian orang (sejarawan atau intelektual) yang kemudian lebih tertarik membicarakan penjelasan ketimbang penyebab. Lebih tertarik menggunakan pendekatan fungsional (bagaimana itu terjadi) dan menolak pendekatan penyebab (mengapa itu terjadi). Kondisi ini dimaklumi oleh Carr karena ketertarikan itu didasari oleh pemahaman bahwa dengan anggapan sebuah penelusuran yang dengan bagaimana akan menjawab pertanyaan tentang mengapa.

Penjelasan singkat mengenai bagaimana kedudukan kausa dalam sejarah mengarahkan pembahasan kepada apa yang sekiranya dilakukan sejarawan ketika berhadapan akan kebutuhan akan penjelasan sebab suatu peristiwa. Setidaknya ada dua karakteristik yang dilakukan sejarawan akan kebutuhan tersebut. Karakteristik pertama yang dilakukan sejarawan adalah dengan menentukan sejumlah penyebab bagi peristiwa yang sama. Melihat beberapa peristiwa yang memiliki pola kejadian yang sama, lalu mengambil bentuk dari penyebab peristiwa tersebut untuk digunakan sebagai pemandu dalam menentukan penyebab dari peristiwa dengan pola serupa. Karakteristik kedua, membuat sejumlah daftar-daftar penyebab dan kemudian menatanya. Dilanjutkan dengan membuat semacam daftar hierarki penyebab kemudian menghubungkan antara satu penyebab dengan penyebab lainnya dalam daftar. Tentunya, menentukan penyebab mana yang berperan sebagai penyebab utama di antara penyebab-penyebab yang ada, atau sederhananya penyebab semua penyebab. Karena sejarawan selalu dikenal melalui penyebab yang ia sampaikan.

Sebelum masuk pada bahasan yang menganggu Carr tentang determinasi sejarah dan kebetulan dalam sejarah. Ia menegaskan bahwa sejarawan, secara bersamaan, melakukan sejumlah penyederhadaan terhadap penyebab-penyebab juga melakukan pelipatgandaan. Sejarah, sebagaimana ilmu, harus terus bergerak maju bersama dengan penyebab ganda yang terlihat bertolak-belakang.

Pada kerangka pembahasan kedua, Carr mencoba membahas mengenai determinasi sejarah dan kebetulan sejarah, yang merebut perhatian Carr. Pembahasan pertama diberi judul Determinasi dalam Sejarah, atau Kejahatan Hegel”. Dalam bahsan ini dicoba didefinisikan pengertian determinisme , yaitu sebuah kepercayaan bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki penyebab atau beberapa penyebab dan tidak akan terjadi perbedaan (pada dampak) kecuali ada sesuatu dalam penyebab atau beberapa penyebab yang juga berbeda. Carr mengulas pendapat dari Isaiah Berlin yang mempertanyakan “historisisme” Hegel dan Marx karena seolah meniadakan kehendak bebas manusia dengan menjelaskan setiap tindakan manusia dalam kontek kausalitas. Karena itu juga memberi dorongan kepada sejarawan untuk menghindari–apa yang dianggap Isaiah Berlin sebagai kewajiban–tindakan menyampaikan pengutukan moral kepada para tokoh dalam peristiwa sejarah. 

Dengan hati-hati Carr mencoba membuat sebuah perumpamaan terkait permasalahan ini dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa bertemu-sapa dengan tetangga yang bernama Smith. Seperti biasa, tiap bertemu dengan Smith kita menyapa dengan ramah dan tidak membicarakan apa pun yang tidak berkepentingan atau yang tidak dianggap penting. Kemudian Smith menanggapi dengan sapaan yang ramah juga dan beranggapan sama dengan tidak membuka atau memulai pembicataan yang tidak berkepentingan atau tidak dianggap penting. Tapi, Carr kemudian menyampaikan bagaiamana jika pada suatu pagi mereka melakukan sapaan seperti biasanya, tetapi Smith kemudian merespon dengan cacian dan makian tidak sabagaimana biasanya. Berdasarkan respon Smith seperti itu, kemudian kita akan mencari penyebab-penyebab yang memungkinkan Smith melakukannya. Dengan analogi Smith, Carr berasumsi bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mendiagnosis tentang penyebab dari suatu hal yang mungkin saja tidak memiliki penyebab. Kecenderungan itu, adalah apa yang dimaksudkan oleh Isaiah Berlin dengan meniadakan kemungkinan kehendak bebas. Tetapi pada kenyataannya, menurut Carr, tidak ada beranggapan seperti demikian dalam kehidupan sehari-hari, atau beranggapan bahwa baik determinasi maupun tanggungjawab moral sedang dipertaruhkan.

Selanjutnya  Carr berasumsi dengan mengajak untuk melihat sejarawan yang, sebagaimana manusia normal lainnya, percaya bahwa tindakan yang dilakukan manusia memiliki penyebab yang pada prinsipnya dapat dipastikan. Jika tidak berasumsi seperti itu, sejarah tidak mungkin akan berlangsung. Penyelidikan terhadap penyebab-penyebab itu, yang menurut Carr, menjadi fungsi khusus dari sejarawan.

Permasalahan lain adalah tentang kebetulan (ketidaksengajaan) dalam sejarah. Carr menjelaskan bahwa kebetulan dalam sejarah adalah serangkaian peristiwa-peristiwa yang disebabkan oleh semata-semata hanya sebuah ketidaksengajaan, dan dihubungkan dengan penyebab-penyebab paling sederhana. Carr membuat contoh dengan istilah ‘pangkal hidung Cleopatra.’ Peperangan Actium disebabkan bukan oleh penyebab-penyebab yang telah disampaikan oleh sejarawan, tetapi disebabkan hanya karena Mark Anthony yang tergila-gila terhadap Cleopatra. Menurutkan Carr  perasaan tergila-gila yang dialami oleh Mark Anthony kepada Cleopatra adalah sebuah penyebab. Bukankah dalam kehidupa sehari-hari, hubungan antara kecantikan wanita dengan perasaan tergila-gila seorang pria adalah sebuah hubungan sebab-akibat yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, peristiwa yang disebut sebagai ketidaksengajaan sejarah mewakili urutan sebab-akibat yang menganggu urutan yang biasanya diselidiki oleh sejarawan.

Mengenai kebutulan atau ketidaksengajaan terhadap sejarah, Carr berpendapat bahwa itu merupakan ukuran bagi ketidaktahuan yang kita miliki. Carr menyampaikan,
“Ketika seorang teman menyatakan kepada saya bahwa sejarah adalah bab-bab ketidaksengajaan, saya cenderung curiga bahwa ia memiliki kemalasan intelektual atau vitalitas intelektual yang rendah.”

Apa yang disampaikan Carr, menyiratkan bahwa kebetulan dan ketidaksengajaan menjadi mungkin muncul ketika kita sama sekali tidak melakukan apa pun untuk menelusurinya, atau kita tidak sama sekali bergerak mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan ketidaktahuan kita, agar dapat menghindari penggunaan kata kebetulan. Carr melanjutkan bahwa, “ketidaksengajaan  sebenarnya bukanlah ketidaksengajaan, tetapi dapat dijelaskan  secara rasional dan signifikan dengan memasukannya secara pas ke dalam pola peristiwa yang lebih luas.” Selain itu juga Carr memercayai bahwa ketidaksengajaan dalam sejarah bisa diatasi dengan mencari solusi dalam tatanan gagasan yang berbeda.

Kerangka pemikiran terakhir dalam pembahasan bab ini, Carr mencoba masuk kembali kepada pembahasan mengenai kausa (penyebab). Dimulai kembali dengan menerangkan tentang fakta. Tahap awal pekerjaan sejarawan adalah dengan menentukan fakta sejarah diantara fakta-fakta yang ditemukan. Tiap fakta yang ditemukan dapat diajukan menjadi fakta sejarah, setelah keterkaitan dan signifikasi dari fakta tersebut dapat dibedakan. Kurang lebih, perosalan kausa (penyebab) juga seperti demikian. Menurut Carr, dengan mengetahui penyebab dapat membantu sejarawan dalam menentukan interpretasinya memahami sebuah proses sejarah. Serta interpretasi tersebut dapat mengarahkan sejarawan untuk mengumpulkan penyebab-penyebab. Hubungan antara satu penyebab dan penyebab lainnya, kepentingan yang relatif dari satu penyebab dan penyebab lainnya merupakan inti dari interpretasi sejarawan.

Carr kembali menegaskan, sejarawan mengabstraksi fakta-fakta yang signifikan secara historis dari begitu banyak urutan sebab-akibat. Standar signifikasi historis tersebut merupakan kemampuan sejarawan untuk memasukkan hal itu dalam sebuah pola eksplanasi dan interpretasi secara rasional yang dibuat sejarawan itu sendiri. Urutan sebab-akibat lainnya yang tidak sesuai harus secara tegas ditolak oleh sejarawan dan dianggap sebagai sebuah ketidaksengajaan. Penolakan bukan karena hubungan antara sebab dan akibat tidak sesuai, tetapi lebih kepada urutan yang tidak relevan. Sejarawan tidak dapat melakukan apapun untuk itu, urutan tersebut tidak dapat diterima dengan interpretasi rasional dan tidak memiliki makan baik bagi masa lalu maupun masa kini.

Terakhir kesimpulan, pada bab ini Carr tidak membahas kembali apa yang telah ia ulas, sebagaimana yang Carr lakukan pada bab sebelumnya, tetapi lebih memilih untuk memberikan pertanyaan yang mewakili apa yang telah ia ulas dalam bab ini tentang sebab-akibat. Ia menyatakan bahwa masa kini lebih terlihat seperti garis imajiner yang membatasi antara masa lalu dengan masa depan.  Pun ketertarikan terhadap masa lalu dan keterkaitannya dengan masa depan nampak. Karena menurut Carr, “Sejarah dimulai dengan mewariskan tradisi, dan tradisi berarti meneruskan kebiasaan pelajaran dari masa lalu ke masa depan.”

0 comments: