Chairani Rahiimi
Pertemuan Kelas Historiografi
kelima (19/03/2018) mengulas karya
Paul Veyne yang berjudul Writing History: Essay on Epistemology. Pada
pertemuan ini Ummu Aiman dan Rizky Putra Zuwandono berkesempatan untuk memaparkan hasil pembacaannya kepada para peserta.
Pada awal diskusi, Ummu menjelaskan hal-hal yang ditulis dalam sejarah.
Lalu, ia memaparkan
beberapa hal yang ditulis sejarah, yaitu human events,
dokumen, kebenaran peristiwa, dan mutasi pengetahuan.
Dalam human events, manusia
tidak selalu menjadi “aktor” dalam sejarah. Peristiwa alam seperti letusan gunung berapi dapat
ditulis oleh sejarawan dengan spesifikasi dan perspektif tertentu. Dalam
penulisan, sejarawan bisa memilah mana yang penting untuk ditulis dan mana yang
tidak penting untuk ditulis.
Pengetahuan mengenai peristiwa sejarah bisa didapatkan melalui dokumen.
Ia merupakan salah bahan untuk penulisan sejarah. Akan tetapi, interpretasi
terhadap peristiwa-peristiwa dalam dokumen bisa jadi memiliki pengaruh terhadap informasi
sejarah. Ummu menjelaskan mengenai Waterloo (pertempuran antara Inggris dan Prancis).
Ada yang berpendapat bahwa peristiwa
itu adalah pertempuran, ada pula yang berpendapat sebagai bentuk kemenangan Inggris, dan lain
sebagainya. Selain itu, dalam pencatatan peristiwa tidak semuanya ditulis dalam
satu catatan atau dalam satu periode.
Dalam penulisan, sejarah hanya menuliskan hal-hal yang benar terjadi.
Artinya, fakta-fakta yang digunakan oleh sejarawan merupakan fakta yang benar
terjadi. Hal inilah membuat metode sejarah tidak digunakan untuk mencari
kebenaran. Kritik sejarah digunakan untuk menjawab pertanyaan yang dirumuskan
oleh sejarawan untuk mencari fakta-fakta sejarah. Sejarah hanya mencari
kebenaran, bukan mencari ketepatan seperti sains.
Penjelasan selanjutnya mengenai pengetahuan sejarah terpotong pada pola dokumen yang dimutilasi. Dalam
hal ini, sejarah tidak menjelaskan secara
lengkap mengenai suatu peritiwa tersebut. Penulisan
sejarah pun berdasarkan pada jejak-jejak yang ditemukannya. Sejarah tidak bisa
mengungkapkan suatu hal tanpa ada jejaknya. Kendati demikian, sejarawan tetap
berusaha mengungkapkan peristiwa-peristiwa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang ia ajukan.
Pembahasan pun dilanjutkan oleh Rizky. Dalam pembahasannya, Rizky
mengungkapkan ada 8 fakor yang tidak dianggap logis dalam penyusunan sejarah.
Pertama, ketidaklogisan sejarah. Dalam hal ini dinyatakan bahwa
kedudukan sejarah tidak bisa ditentukan, kecuali satu hal: kenyataan. Kedua, sifat
sejarah yang tidak lengkap, artinya adanya hal-hal detil yang tak muncul pada. Ketiga,
sebuah gagasan tanpa peristiwa. semisal terjadinya pergeseran genre sejarah yang berbagi peran dengan
sosiologi, sehingga penulisannya mencakup wilayah yang besar saja. Keempat, fakta
yang tidak memiliki dimensi mutlak. Maksudnya, fakta-fakta pun dipilih karena
ada kriteria tertentu untuk kepentingannya. Tiap fakta yang digunakan tidak
bersifat ajeg. Kelima, perpanjangan dari sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah
pun tak lagi mengulas dengan tema yang besar. Kini segala aspek kehidupan pun
dapat dilihat secara historis. Keenam, sejarah ialah batas gagasan. Penulisan
sejarah pun akan melibatkan gagasan-gagasan yang dipegangnya, sehingga ada
batas tertentu. Ketujuh, sejarah berpijak pada yang ada di dunia. Maksudnya,
tiap-tiap peristiwa memiliki perubahan dan penalaran tersendiri karena kajian
pada sejarah terdapat pada manusia yang memiliki kekhasan tersendiri. Kedelapan, yang mana fakta sejarah, di sini pertanyaan
sejarah akan membedakan mana peristiwa historis dan mana yang bukan. Peristiwa
historis ini akan memproyeksikan nilai-nilai dan jawaban atas pertanyaan
sejarah.
Pembahasan yang telah dijelaskan oleh Ummu dan Rizky diperjelas oleh
Gani A. Jaelani. Paul Veyne menuliskan buku ini untuk mengkritik model tulisan
Fernand Braudel. Dalam model tulisan Braudel memukul rata orang-orang, sehingga peristiwa yang
dialami bukan menjadi intinya. Di sinilah Veyne mendeskripsikan peristiwa itu seperti apa dan
memfokuskan kembali apa yang dituliskan oleh sejarah.
Adanya kekurangan alamiah sejarah. Dalam penemuan jejak pun bukan
berarti bahwa tidak ada jejak sama dengan tidak punya sejarah. Dalam penulisan
pun ada yang menyingkat penulisan peristiwa satu abad yang lalu menjadi satu
halaman, dan melebarkan penulisan sehari menjadi tiga halaman. Itu semua
bergantung pada pilihan. Sebelumnya, apa yang dituliskan sejarah membedakan
mana yang peristiwa dan yang bukan peristiwa. Dalam kasus ini, Veyne memperluas dimensi
peristiwa-peristiwa sehingga semua peristiwa adalah sejarah.
Ketika sesi tanya-jawab dibuka, muncul beberapa pertanyaan dari para
hadirin. Bryna menanyakan soal dokumen-dokumen tradisional yang lebih ke arah
mitologi. Ia menanyakan bagaimana Paul Veyne menyikapi persoalan ini.
Gani menanggapi pertanyaan dari Bryna. Ia mengatakan
bahwa dokumen-dokumen bukanlah hal yang utama. Jejak-jejak sejarahlah yang
merupakan inti dari penulisan sejarah. Sebuah jejak disebut sebagai dokumen
jika jejak tersebut berada di kertas. Untuk menyikapi adanya dokumen yang lebih
ke arah mitologi, sejarawan Eropa pun menyikapi hal tersebut dengan cara
melakukan kritik. Perlu dipahami bahwa masing-masing jejak bekerja dengan cara
yang berbeda. Terdapat pola tertentu untuk menemukan apa yang dijelaskan oleh
jejak. Di sinilah kemampuan membaca diperlukan agar jejak-jejak itu dapat
digunakan. Hal ini juga diperlukan pula elaborasi dengan jejak-jejak lainnya
dalam penulisan sejarah. Elaborasi pun tak hanya mengenai hal yang besar.
Gifar pun menanyakan soal keunikan sejarah, seperti apa yang dikatakan
oleh Kuntowijoyo bahwa sejarah itu unik. Akan tetapi, ia diragukan oleh
orang-orang ketika ia ingin menulis sejarah dengan tema yang bukan umum. Gani
menjelaskan bahwa Kuntowijoyo tidak merincikan maksud kalimatnya yang
menyatakan bahwa sejarah itu unik. Kajian sejarah itu spesifik, dan hal itu
penting. Permasalahannya, di Indonesia sendiri masih banyak yang menulis
sejarah dengan tema-tema besar. Hal inilah diperlukan argumen kuat dan
sumber-sumber yang meyakinkan untuk mempertahankan apa yang ingin ditulis.
Pertanyaan lain pun diajukan oleh Kelana. Ia menanyakan tanggapan sejarawan
terhadap adanya perdebatan dalam ilmu social-science,
yaitu suatu hal dikatakan sebagai ilmu atau bukan ilmu. Gani pun melakukan
perbandingan antara sejarawan di Indonesia dan di luar Indonesia, khususnya di
Barat.
Mengenai suatu hal itu ilmu atau bukan ilmu tidak ada perdebatan di
Indonesia. Sementara di luar Indonesia, khususnya Barat, perdebatan pun masih
terjadi. Adanya bidang historiografi yang terus menelaah empiris sejarah dan
epistemologi sejarah. Gani menambahkan bagaimana sejarawan Indonesia melakukan penelitian. Sejarawan lebih
dulu mempelajari teori daripada mempelajari data. Hal ini keliru karena jika
mempelajari teorinya terlebih dahulu, data yang akan dicari akan disesuaikan
dengan teori yang digunakan. Seharusnya sejarawan mempelajari data-data
terlebih dahulu, setelah itu baru ditentukan teori apa yang dapat mendekati
data-data tersebut. Kelebihan sejarawan adalah cara membaca dokumen dan
menginterpretasinya.
Mengenai cara kerja sejarah, Rima pun menanyakan bagaimana dengan novel
sejarah. Dalam tanggapannya Gani mengatakan bahwa cara kerja novel dan sejarah itu sama, hanya realitasnya yang
berbeda. Dalam novel sejarah, Gani merujuk pada Tetralogi Pulau Buru karya
Pramoedya Ananta Toer, terdapat tokoh Annelies Mellema dan Nyai Ontorosoh. Mengenai adanya dua
tokoh tersebut di dunia nyata pun tidak bisa dijelaskan. Akan tetapi,
kehidupan-kehidupan yang dijalani oleh Annelies Mellema dan Nyai Ontorosoh
merupakan representasi dari gambaran kehidupan orang Eurasia dan kehidupan
gundik pada masa Hindia Belanda.
0 comments:
Posting Komentar