Farhan Assidiq Dalam pembelajaran sejarah ,  sering kita dapati pembelajaran mengenai sejarah dilakukan secara formal dikelas. ...

Kausalitas dan Kesadaran Bertindak



Farhan Assidiq



Dalam pembelajaran sejarah, sering kita dapati pembelajaran mengenai sejarah dilakukan secara formal dikelas. Hal tersebut dibuat seakan-akan sejarawan merupakan suatu profesi semata tanpa melihat eksistensi sejarawan itu seperti apa.Sejarah bukanlah sains, hal itu yang coba dijelaskan oleh Paul Veyne bahwa eksistensi seorang sejarawan bukan hanya bertujuan untuk mengejar profesi semata, melainkan seorang sejarawan harusnya benar-benar mampu menempatkan dirinya di antara celah masa lalu dan masa kini. Untuk mencapai hal tersebut, sejarawan semestinya mampu memahami bagaimana peristiwa sejarah dibentuk dan melihat keunikan yang dimiliki oleh plot sejarah. Sejarah merupakan jalan untuk menjelaskan sejelas-jelasnya bagaimana suatu peristiwa dapat terjadi. Penggabungan peristiwa sejarahmerupakan hasil dari mengorganisir data-data. Dalam mengorganisir data-data, terkadang sejarawan sering membuat kesalahan. Paul Veyne menyebut salah satu kesalahan yang kadang tidak disadari oleh sejarawan adalah melakukan tindakan yangkadang hanya didasari teori yang belum memiliki kejelasan dan masih berupa kemungkinan, Veyne menyebutnya sebagai Retrodiction.

Masalah utama dari Retrodiction ada pada masalah asumsi sendiri yang dapat terjadi oleh sebab. Untuk memahami hal tersebut, Paul Veyne memberi proposisi sederhana dari peristiwa “Louis XIV menjadi tidak disukai karena kebijakan pajak yang tinggi”. Hal ini dapat ditulis dengan dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, maksud dari pernyataan tersebut diketahui sejarawan melalui dokumen-dokumen bahwa kebijakan pajak yang tinggi merupakan penyebab Raja Louis tidak disukai, jadi sejarawan berbicara dan mendengar hal tersebut dengan telinganya sendiri melalui dokumen-dokumen yang telah ia temukan. Kedua, sejarawan hanya mengetahui bahwa pajak yang tinggi dan hal itulah membuat raja menjadi tidak disukai sampai akhir pemerintahannya. Dalam kasus pertama dapat dilihat bahwa ada keterhubungan  antar plot-plot yang dibaca melalui dokumen-dokumen yang menjelaskan bahwa sistem pajak membuat raja tidak disukai. Sedangkan dalam kasus yang kedua dapat dilihat bahwa sejarawan membuat Retrodiction, ia hanya membuat alasan tidak disukainya raja atas dasar kemungkinan sebagai sebab untuk menjelaskan hipotesis tanpa melihat secara menyeluruh jejak-jejak peninggalan sejarah.

Kausalitas merupakan sesuatu yang alami dan tidak teratur,masa depan selalu dapat berubah.Apa yang akan terjadi esok tidak akan pernah diketahui sebelum hal itu terjadi. Kausalitas selalu bersama dengan mental sejarawan. Peristiwa terdiri dari berbagai plot yang semuanya persis tapi tidak selalu sama. Peristiwa memiliki sebab, tetapi sebab tersebut tidak selalu memiliki resiko dalam jangka pendek, dan kesempatan terjadinya peristiwa juga tidak selalu sama. Kausalitas dibuat berdasarkan hubungan kausal terhadap sesuatu. Retodiction, merupakan suatu jalan relasi untuk menjelaskan suatu alasan dengan analogi atau dalam bentuk prediksi apa yang akan terjadi dimasa depan. Pondasi dari Retrodiction dapat dilihat bahwa ia bukan merupakan generalisasi yang konstanefeknya selalu mengikuti sebab atau bukan dari pondasi dalam keadaan khusus, melainkan fenomena alami yang berurutan. Hal itu merupakan sesuatu yang empiris, sesuatu berasal dari pengalaman pribadi, artinya retodiction sangat personal, dan sangat berhubungan dengan lingkungan sekitar dimana seseorang itu hidup.

Sejarah memberikan periodisasi dalam rekonstruksinya berdasarkan klasifikasi yang didapat di antara dokumen-dokumen dan Retrodiction. Apa yang kita sebut “fakta” sejarah sejauh diketahui sangat konsisten (tetap dan pasti), pada kenyataannya fakta selalu jelas mengambil ukuran dari apa yang disebut Retrodiction. Untuk memahami kausalitas dan Retrodiction, sejarawan sebaiknya mempunyai pengalaman langsung dalam menganalisis suatu peristiwa sejarah. Pengalaman sejarah adalah pengetahuan yang paling umum dari semua yang dilakukan oleh sejarawan dalam sejarahnya. Hal tersebut menyatu dan dapat dipelajari dari kehidupannya, seperti apa yang ia baca dan dengan siapa ia mendapat pendidikan. Karena itu tidaklah mungkin sejarawan satu dan yang lainnya memiliki pengalaman yang sama. Dalam melakukan interpretasi, sejarawan penting untuk mempelajari periode sekarang atau periode yang lain dalam sejarah. Sejarawan sebaiknya dapat menggambarkan pemikirannya dengan dilandasi fakta, berbeda dengan sains yang pada prinsipnya difokuskan oleh hukum ilmiah. Akan tetapi jika logika empiris relevan membuat sejarah juga dapat dilihat dari satu hukum,hal tersebut benar-benar sangat kecil kemungkinannya.

Pemilihan plot juga benar-benar akan menentukan apa yang akan menjadi sebab relevan dan apa yang tidak. Sains dapat membuat itu sebagai proses yang dibutuhkan, akan tetapi sejarah akan berpegang teguh pada aturan bahwa keberadaan sebab merupakan kumpulan gagasan dari berbagai plot. Sejarah tidak akan pernah seperti sains,dikarenakan hal itu hanya akan menyisakan jurang hukum yang saling terhubung. Fisika dan sains manusia dapat membuat semua perkembangan menjadi mungkin, sejarah tidak demikiansejarah merupakan peristiwa yang sudah terjadi. Berbeda dengan sains yang melakukan perhitungan dengan tujuan dapat memperediksi apa yang akan terjadi, sejarah akan memprediksi kemungkinan yang akan terjadi melalui pengalaman dari peristiwa masa lalu. Oleh karena itu, penting sekali untuk melihat secara keseluruhan dan memahami betul bagaimana berbagai plot dapat membentuk suatu peristiwa yang akan dicari faktanya oleh sejarawan.
Sejarawan memang sebaiknya mengetahui benar konsep dari kausalitas sehingga tidak terjerumus ke dalam Retrodiction. Dalam konsepnya, kausalitas memiliki 2 aspek yang penting yaitu material causality dan human causalityMaterial causality meliputi gagasan yang diterima dari luar seperti di lingkungan ia berada. Terkadang teman terdekat dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang semula sudah ditetapkan oleh seorang sejarawan. Hal ini dikarenakan adanya kedekatan emosional. 

Sejarawan sebaiknya dapat menempatkan diri terhadap pengaruh gagasan bahwa kedekatan emosional bukan berarti menyalah gunakan data sejarah yang ditemukan. Human causality merupakan kondisi psikologis dari sejarawan. Hal tersebut biasanya muncul dari kegelisahan sejarawan melihat fenomena-fenomena disekitarnya. Memang agak membingungkan, akan tetapi bila diresapi dengan benar akan terlihat di mana letak perbedaannya. Dari sini menunjukkan bahwa pengalaman sejarawan jauh lebih berpengaruh dalam penulisan sejarah dibandingkan metode secara menyeluruh. Dalam penulisan sejarah justru kondisi psikologis sejarawan pada saat mencari data, sudut pandang mana yang ingin ia tulis bergantung dari pengalaman dan kebiasaan sejarawanbukan dari metode yang terkesan sebagai hukum baku agar sebuah tulisan sejarah menjadi ilmiah.

Situasi seperti itu ditemukan sejarawan sering memanfaatkan masa lalu untuk kepentingan penguasa. Sejarawan tidak tahu seperti apa ia harus bersikap ketika dibawah rezim penguasa. Hal inilah yang membuat banyak karya sejarah yang justru memberi pandangan yang salah terhadap masa lalu. Ideologi para sejarawan sangat mempengaruhi benar tulisan-tulisannya. Pada kasus ini sejarawan dapat saja membuat propaganda dengan mengatasnamakan agama yang membuat masyarakat secara sadar atau tidak sadar menjadi terprovokasi. Sangat memprihatinkan bahwa masa lalu yang seharusnya menjadi pengalaman pembentuk mental suatu negara malah dijadikan alat untuk politikHal itu dilakukan terus-menerus sehingga masyarakat sudah menganggap bahwa suatu peristiwa tertentu adalah sebuah fakta tanpa mempertimbangkan faktor lain. Institusi justru mendukung untuk memberi pandangan ideologis yang salah mengenai sejarah. Institusi memberi motivasi bukan bertujuan agar para pelajarnya memiliki mental kritismelainkan hanya untuk memikirkan karir saja. Sejarawan seharusnya mampu menempatkan diri di antara masa lalu dan masa kinitetapi pada kenyataanya  sejarawan sering abai dalam melihat secara kausalitas suatu peristiwa sejarah dan hanya menjadi sekedar profesi semata. Artinya, sejarawan membuat karya sejarah hanya untuk kepentingan penguasa. Institusi membuat sejarawan menjadi formal sehingga sejarawan sendiri kehilangan eksistensinya. Itulah mengapa banyak tulisan sejarah yang terkesan kering. Sejarawan dibatasi benar terhadap apa yang dibacanya, sementara apa yang dibaca oleh sejarawan menentukan kualitas dan cara pandang sejarawan terhadap suatu hal.

Kesulitan sebenarnya yang dihadapi  sejarawan adalah bagaimana mengingat hubungan antara kesadaran terhadap bentuk kausal dari peristiwa sejarah dan bagaimana sebaiknya sejarawan bertindak. Hal tersebut merupakan bagian yang terpenting. Kesulitan lainnya adalah bagaimana peristiwa dapat diverifikasi, dan apakah itu cukup dengan hanya melihat dari dokumen-dokumen? Tentu saja sejarah tidak sesederhana itu. Kesadaran sejarawan memang bukan merupakan tujuan akhir. Untuk dapat merasakan kesadaran terhadap masa lalu, urutan tindakan sejarawan tidak dapat dikurangi dari banyak data yang ia dapat dan ia susun, meskipun demikian hal tersebut hanya merupakan pertimbangan dan bukan informasi mengenai tujuan sebenarnya. Oleh karena itu, sejarah merupakan sesuatu yang kompleks sehingga sejarawan hanya dapat mendekati sebagian kecil fakta yang terjadi pada masa lalu.

0 comments:

Alika Lahitani Dalam sejarah seringkali dikatakan jika penulisannya itu tidak dapat berbentuk laporan saja, tetapi harus dijelaskan s...

Mengurai untuk Memahami



Alika Lahitani

Dalam sejarah seringkali dikatakan jika penulisannya itu tidak dapat berbentuk laporan saja, tetapi harus dijelaskan secara rinci. Penjelasan yang rinci dimaksudkan agar pemahaman kita terhadap peristiwa sejarah lebih terpetakan dan tidak terlalu mengawang. Penjelasan” itu terdiri dari berbagai laporan yang disusun berdasarkan plot yang dapat dipahami. Lantas seperti apa plot yang dapat dipahami itu?




Paul Veyne dalam buku Writing History : Essay on Epistemology memposisikan “penjelasan” sebagai sesuatu yang begitu kuat yang berasal dari fakta yang telah ditetapkan secara mendasar atau teori khusus kemudian berkembang menjadi teori yang lebih umum. Akan tetapi hal itu hanya mungkin terjelaskan apabila fakta yang dipakai memiliki kekuatan untuk mengurai plot. Karena terdapat beberapa fakta dalam sejarah yang tidak memiliki daya penjelas yang kuat.  Penjelasan” dipandang sebagai sesuatu yang berbeda, di mana sintesa dari penjelasan” itu dipertemukan pada satu titik kesulitan tertentu guna mempertajam sintesa itu sendiri. Kesulitan yang akan ditemui tidak hanya terbatas pada kritik dan penggunaan dokumen saja. Berbicara mengenai penjelasan, artinya kita akan berbicara mengenai sesuatu yang terlalu banyak atau sesuatu yang terlalu sedikit untuk dijelaskan.

Pada bagian tentang Memahami Plot ini, Veyne lantas menyatakan jika tidak ada penjelasan sejarah yang dapat diartikan pasti secara ilmiah. Hal ini memperkuat pernyataan Veyne di bagian awal, bahwa sejarawan tidak bisa memastikan peristiwa sejarah itu persis sama sebagaimana yang terjadi. Sejarawan hanya bisa membuat rekonstruksi yang mirip, tetapi tetap dapat memberikan pemahaman terhadap pembacanya. Bagi sejarawan, menjelaskan berarti menunjukkan bentangan plot untuk bisa dipahami. Sejarawan tertarik terhadap berbagai peristiwa karena peristiwa tersebut dianggap memang terjadi, sehingga harus mengalami penelitian lebih lanjut agar tidak menimbulkan salah paham.

Penjelasan sejarah menggunakan berbagai pengetahuan yang disebut sebagai kenyataan yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Sejarah tidak berbicara mengenai suatu hukum yang berlaku, tetapi secara luwes berbicara mengenai kebebasan, kesempatan, dan berbagai hal yang tidak ditemukan dalam dunia sains yang kaku.

Sejarah tidak dapat memberikan suatu penjelasan yang bersifat menyimpulkan atau meraba-raba. Karena sejarah hanya menuliskan fakta- fakta yang didapat melalui proses heuristik dan telah melalui verifikasi. Terkadang sejarah memberi kesan seolah penarikan abstraksinya didapat begitu saja tanpa suatu proses yang berarti. Sebagai contoh, Revolusi Prancis digambarkan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi karena adanya kebangkitan dari kelas kapitalis menengah. Tidak dijelaskan apakah kelas menengah yang dimaksud merupakan penjaga toko atau pengacara. Tanpa elaborasi, akan ada satu pemahaman sederhana bahwa Revolusi Prancis hanya menampilkan gambaran umum mengenai revolusi, tidak lebih dari itu.

Kita tidak mencari tahu mengenai teori  dan konsep revolusi secara umum, semisal ketika bicara mengenai Revolusi Prancis. Kita hanya membicarakan hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya yang mendukung pecahnya revolusi di tahun 1789. Bagaimana dengan penyebab terjadinya revolusi? Tentu selalu ada sebab di setiap tulisan sejarah, hanya saja sebab itu biasanya dimasukkan secara halus dalam narasi sejarah.

Seignobos mengatakan setiap peristiwa selalu memiliki sebab, semua sebab memiliki nilai yang sejajar. Sulit untuk menentukan sebab mana yang paling istimewa atau lebih baik daripada di antara sebab-sebab yang ada, tapi persoalan mengenai sebab dalam sejarah tidak sama seperti yang Seignobos katakan. Dalam kasus ini Veyne membuat sebuah ilustrasi, ia menggambarkan jika terdapat sejumlah episode yang membentuk sebuah cerita di dalamnya akan ada satu episode khusus yang dianggap sebagai sebab terjadinya cerita.

Seignobos menganggap sejarawan memiliki cara kerja yang sama dengan jurnalis, yang artinya sejarawan hanya mengumpulkan fakta, mencari penyebab dan merasa tidak puas jika tidak ditemukan sebab dalam fakta yang didapatnya. Tapi lagi-lagi, cara pandang Seignobos ini bertentangan dengan Veyne yang menganggap jika sejarawan lebih menyerupai detektif dibanding jurnalis. Tidak seperti jurnalis, sejarawan tidak secara spontan menemukan sebab dalam peristiwa. Dalam proses pencarian itu, sejarawan akan berhadapan dengan beberapa plot yang memiliki nilai penjelasan” yang sama tapi memiliki karakteristik yang berbeda. Lalu, apakah ada batas tertentu dalam objektivitas sejarah?

Sejarah tersusun dari berbagai plot yang berbeda, tapi plot-plot itu akan memiliki benang merah yang saling terkait dan merujuk pada satu sebab untuk dianalisis. Setiap laporan sejarah sejatinya memang tersusun dari berbagai plot yang menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat. Fakta dalam sejarah dikembangkan dari suatu ide sehingga menghasilkan tiga klasifikasi sebab sejarah, yaitu ketidaksengajaan atau superficial cause, kondisi objektif atau material cause, dan final cause dengan sifat yang lebih bebas dibanding dua sebab sebelumnya.

Meskipun terdapat tiga macam sebab dalam penulisan sejarah, Veyne membahas secara khusus dua di antaranya, yaitu tentang material cause dan final  cause. Untuk memutuskan suatu fakta sebagai material cause dan final material tidak harus mengkaji buku-buku sejarah atau pun bacaan lain yang merujuk pada sejarah. Fakta itu akan terlihat lewat aktivitas sehari-hari manusia karena ia hanya muncul melalui tindakan mereka. Beberapa sejarawan tidak memberikan penjelasan yang mendalam terhadap fakta yang dikaji. Hal ini menyebabkan penjelasan dalam penulisan itu tanggung atau kurang lengkap. Dalam proses pencarian ini sejarawan dapat menghentikan pendalaman pada tahap mana pun. Jika berhenti pada tahap material cause atau sebab material, maka akan tercipta suatu pandangan yang dibangun oleh mereka sendiri yang mengartikan manusia sebagai sebuah kondisi objektif. Hal tersebutlah yang dinamakan materialisme marxis, penjelasannya dibangun lewat fakta-fakta sederhana yang muncul dari pemahaman sehari-hari yang berhenti pada suatu titik tertentu tanpa menyentuh substansi intinya.

Setiap hal yang kita lakukan, disadari atau tidak, dilatarbekangi oleh suatu maksud yang tidak dapat dijelaskan tapi dapat kita pilih. Suatu sebab terkadang sulit untuk dilihat, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebab juga tidak dapat disejajarkan karena ia memiliki kekuatan yang berbeda. Bisa saja ada sebab yang lebih kuat atau lebih lemah daripada sebab lainnya.

Sejarawan harus berhati-hati dalam menyikapi peristiwa sejarah yang dihadapinya karena terdapat sejumlah kepingan peristiwa yang dianggap dapat mewakili sejarah secara keseluruhan. Sebagai contoh, meskipun Revolusi di tahun 1789 dan 1917 dianggap memiliki sebab yang kuat dan mengakar, tetapi penjelasan yang mendalam tetap diperlukan. Jika sejarah selalu membutuhkan penjelasan yang detail, lantas adakah metode khusus dalam penulisan sejarah? Dalam hemat Veyne, metode bukanlah sesuatu yang dimiliki sejarah. Tugas yang sulit yang dihadapi sejarawan dalam hal ini adalah mengelaborasi fakta-fakta yang mereka temukan secara detail.

Penjelasan sejarah terkadang menampilkan struktur yang tidak permanen dan tidak mendasar. Sejarawan profesional umumnya memiliki sedikit gagasan sedikit daripada sejarawan pemula dalam kerja pembacaannya. Dalam hal ini pula metodologi sejarah nyatanya tidak memiliki pokok yang pasti. Selain itu, banyak sejarawan yang tidak dapat menghadapi berbagai permasalahan yang muncul saat mengembangkan fakta. Tidak heran kemudian jika tulisan yang dihasilkan tampak sangat kering, tumpul, dan mengecewakan jika dibaca. Upaya untuk menghindarinya adalah dengan mempelajari dan mengelaborasi fakta secara detail. Dalam hal ini, pemahaman terhadap fakta menjadi hal yang lebih penting daripada metode itu sendiri.

Sejarah sebenarnya merupakan ilmu yang konkrit. Ide, teori, dan konsep yang membuat sejarah terkesan mati hanya sesekali diungkap saja karena yang terpenting adalah cara sejarawan memandang peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang dapat diorganisir pengisahannya. Sejarah tidak memiliki struktur ataupun metode, tapi hal ini menjadi suatu keuntungan karena sejarah dapat terus lahir dan berkembang. Sejarah dikatakan tidak memiliki metode karena bagi Veyne cara sejarawan memandang sejarah itu sama seperti cara kita memandang sesuatu yang asing, di tanah yang asing itu sejarawan berusaha menemukan plot-plot yang dapat membentuk peristiwa sejarah secara spesifik. Dalam menemukan sebuah plot, sejarawan memilah mana yang ingin ditulis dan mana yang disingkirkan. Sebuah penjelasan kisah akan dirangkai secara detail dan terorganisir sehingga membuat plot dapat dipahami.

Memasuki bahasan mengenai teori, tipe, dan konsep, lantas timbul pertanyaan apakah ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar memahami plot? Kemudian bagaimana peran teori dan konsep itu dalam upaya memahami plot sejarah? Teori dan tipe disebut juga sebagai permasalahan abadi dalam konsep sejarah. Teori pada dasarnya merupakan sebuah plot yang ditentukan melalui kriteria sejarah.

Teori, tipe dan konsep sejatinya merupakan hal yang sama. Ketiganya berfungsi sebagai ringkasan dari plot. Karena objek sejarah yang terus mengalami pergerakan, sejarawan memerlukan alat agar plot- plot itu dapat dituliskan seluruhnya secara singkat dan jelas. Tulisan sejarah yang detail tidak berarti harus dibangun dari berbagai penjelasan yang panjang apalagi berputar- putar. Tulisan semacam itu tidak nyaman untuk dibaca dan menyebabkan fakta sejarah tak bisa tersampaikan sebagaimana mestinya. Teori, tipe dan konsep hadir untuk membuat plot lebih mudah dipahami dengan cara menampilkan bagian mana saja yang harus ditulis dan harus diabaikan sejarawan. Menjelaskan seluruh pergerakan sejarah tidak bisa dicapai hanya dengan pemahaman seadanya. Pemahaman itu harus benar- benar menukik hingga ke akarnya.


Apa yang disebut sebagai teori dikatakan pula sebagai ringkasan dari plot. Sejarawan mungkin saja terjebak dalam mengabstraksi seputar ringkasan dan plot. Hal ini dikarenakan mereka lupa untuk mengonversi ulang abstraksi ke dalam plot yang konkrit. Misalnya di sebuah kota atau negara, bukan hanya pemerintah dan tentara yang punya eksistensi dalam sejarah itu, tetapi juga petani. Hal yang seringkali dianggap sepele dalam penulisan sejarah terkadang justru merupakan aspek pendukung yang penting agar teori dapat dipahami.

Untuk bisa memahami teori, tipe, dan konsep, ada yang perlu diingat, yakni sejarah memiliki kekhasan tersendiri. Sesuatu yang khas itu memang tidak selalu ditemukan dalam setiap peristiwa sejarah karena dalam sejarah suatu hal yang khas dan unik terkadang ditentukan secara subjektif. Mungkin inilah sebab munculnya perbedaan  pandangan terhadap satu peristiwa sejarah karena sejarawan sejatinya dapat menginterpretasikan peristiwa itu dari sudut pandang yang berbeda, pula objek natural sejarah juga muncul setelah melewati berbagai kriteria yang ditetapkan.

Leopold van Ranke mengatakan jika dalam menuliskan sejarah, sejarawan harus menuliskan peristiwa sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi bukan berarti penjelasan yang timbul harus dibuat sepanjang mungkin, karena tipe ataupun teori sejarah baru berfungsi jika deskripsinya disajikan secara singkat dan padat. Perlu diingat jika teori, tipe dan konsep memiliki kesamaan, dalam arti ketiganya sama-sama meringkas suatu plot yang ada.

Konsep seringkali menjadi pemasalahan pelik dalam sejarah. Sejarawan seringkali terlalu terpaku pada konsep atau tipe yang mereka gunakan. Hal itu dapat menjadi penghalang dalam penulisan sejarah karena sejarawan justru akan kesulitan mengembangkan analisisnya sendiri. Sejarawan pemula biasanya yang paling mudah terjebak dalam kesulitan ini. Dalam penjelasan mengenai hal ini dalam pembahasan di atas Memahami Plot, sejarawan seharusnya menuliskan suatu hal yang spesifik secara detail. Konsep berguna untuk membuat detail-detail dalam tulisan sejarah.

Konsep sejarah memang seperti unsur yang sangat aneh dalam sejarah. Karena di satu sisi, konsep membiarkan kita untuk memahami fakta dengan berbagai definisinya, sedangkan di sisi lain hal itu bisa menyebabkan kita menginterpretasikan fakta secara tidak tepat.

Sejarah hanya menginginkan suatu hal yang konkrit, ia juga bukan sesuatu yang dituliskan di lembar yang kosong di mana kita tidak dapat menemukan segalanya di atasnya. Karena itulah historiografi menjadi alat untuk melawan kecenderungan dalam penempatan interpretasi yang salah itu agar sejarawan tidak lagi terjebak dalam berbagai hal yang tidak perlu diceritakan.

Kesalahan terus diproduksi karena konsep sebenarnya terjadi karena ambiguitas yang dimilikinya. Ambiguitas itu muncul karena objeknya seringkali bergerak sehingga terus mengalami perubahan. Konsep merupakan rintangan dalam pengetahuan sejarah. Karena pengetahuan bersifat dekriptif, sedangkan sejarah yang tidak membutuhkan dasar-dasar dalam penjelasannya hanya membutuhkan sejumlah kata untuk menunjukkan peristiwa yang terjadi sebagaimana mestinya. Banyak hal yang perubahannya lebih cepat daripada kata, sehingga sejarawan harus terus berpindah dari satu gaya ke gaya yang lain. Konsep selalu mengalami perubahan bentuk terhadap objek realitas dari setiap waktu yang dihadapinya.

Untuk dapat memahami plot, sangat penting untuk terlebih dahulu memahami teori dan konsep yang tersaji. Beberapa tulisan sejarah seringkali menyuguhkan fakta dengan ide yang bertentangan dengan zamannya atau diluar kategori- kategori yang lazim. Ketika konsepyang sering membuat sejarawan terjebak dalam interpretasidapat membuat fakta ditafsirkan dengan benar, hal itu akan membuat sejarah seperti hasil karya seni. Artinya sejarah telah mencapai titik kesempurnaan. Hal ini seolah merepsentasikan apa yang dikatakan Chuang-tze, “menaklukkan berbagai hal tanpa ada yang terlukai.”

Dalam sejarah seringkali dikatakan jika penulisannya itu tidak dapat berbentuk laporan saja, tetapi harus dijelaskan secara rinci. Penjelasan yang rinci dimaksudkan agar pemahaman kita terhadap peristiwa sejarah lebih terpetakan dan tidak terlalu mengawang. Penjelasan” itu terdiri dari berbagai laporan yang disusun berdasarkan plot yang dapat dipahami. Lantas seperti apa plot yang dapat dipahami itu?

Paul Veyne dalam buku Writing History : Essay on Epistemology memposisikan “penjelasan” sebagai sesuatu yang begitu kuat yang berasal dari fakta yang telah ditetapkan secara mendasar atau teori khusus kemudian berkembang menjadi teori yang lebih umum. Akan tetapi hal itu hanya mungkin terjelaskan[K2]  apabila fakta yang dipakai memiliki kekuatan untuk mengurai plot. Karena terdapat beberapa fakta dalam sejarah yang tidak memiliki daya penjelas yang kuat.  Penjelasan” dipandang sebagai sesuatu yang berbeda, di mana sintesa dari penjelasan” itu dipertemukan pada satu titik kesulitan tertentu guna mempertajam sintesa itu sendiri. Kesulitan yang akan ditemui tidak hanya terbatas pada kritik dan penggunaan dokumen saja. Berbicara mengenai penjelasan, artinya kita akan berbicara mengenai sesuatu yang terlalu banyak atau sesuatu yang terlalu sedikit untuk dijelaskan.

Pada bagian tentang Memahami Plot ini, Veyne lantas menyatakan jika tidak ada penjelasan sejarah yang dapat diartikan pasti secara ilmiah. Hal ini memperkuat pernyataan Veyne di bagian awal, bahwa sejarawan tidak bisa memastikan peristiwa sejarah itu persis sama sebagaimana yang terjadi. Sejarawan hanya bisa membuat rekonstruksi yang mirip, tetapi tetap dapat memberikan pemahaman terhadap pembacanya. Bagi sejarawan, menjelaskan berarti menunjukkan bentangan plot untuk bisa dipahami. Sejarawan tertarik terhadap berbagai peristiwa karena peristiwa tersebut dianggap memang terjadi, sehingga harus mengalami penelitian lebih lanjut agar tidak menimbulkan salah paham.

Penjelasan sejarah menggunakan berbagai pengetahuan yang disebut sebagai kenyataan yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Sejarah tidak berbicara mengenai suatu hukum yang berlaku, tetapi secara luwes berbicara mengenai kebebasan, kesempatan, dan berbagai hal yang tidak ditemukan dalam dunia sains yang kaku.

Sejarah tidak dapat memberikan suatu penjelasan yang bersifat menyimpulkan atau meraba- raba. Karena sejarah hanya menuliskan fakta- fakta yang didapat melalui proses heuristik dan telah melalui verifikasi. Terkadang sejarah memberi kesan seolah penarikan abstraksinya didapat begitu saja tanpa suatu proses yang berarti. Sebagai contoh, Revolusi Prancis digambarkan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi karena adanya kebangkitan dari kelas kapitalis menengah. Tidak dijelaskan apakah kelas menengah yang dimaksud merupakan penjaga toko atau pengacara. Tanpa elaborasi, akan ada satu pemahaman sederhana bahwa Revolusi Prancis hanya menampilkan gambaran umum mengenai revolusi, tidak lebih dari itu.

Kita tidak[K3]  mencari tahu mengenai teori  dan konsep revolusi secara umum, semisal ketika bicara mengenai Revolusi Prancis. Kita hanya membicarakan hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya yang mendukung pecahnya revolusi di tahun 1789. Bagaimana dengan penyebab terjadinya revolusi? Tentu selalu ada sebab di setiap tulisan sejarah, hanya saja sebab itu biasanya dimasukkan secara halus dalam narasi sejarah.

Seignobos mengatakan setiap peristiwa selalu memiliki sebab, semua sebab memiliki nilai yang sejajar. Sulit untuk menentukan sebab mana yang paling istimewa atau lebih baik di antara sebab-sebab yang ada, tapi persoalan mengenai sebab dalam sejarah tidak sama seperti yang Seignobos katakan. Dalam kasus ini Veyne membuat sebuah ilustrasi, ia menggambarkan jika terdapat sejumlah episode yang membentuk sebuah cerita di dalamnya akan ada satu episode khusus yang dianggap sebagai sebab terjadinya cerita.

Seignobos menganggap sejarawan memiliki cara kerja yang sama dengan jurnalis, yang artinya sejarawan hanya mengumpulkan fakta, mencari penyebab dan merasa tidak puas jika tidak ditemukan sebab dalam fakta yang didapatnya. Tapi lagi-lagi, cara pandang Seignobos ini bertentangan dengan Veyne yang menganggap jika sejarawan lebih menyerupai detektif dibanding jurnalis. Tidak seperti jurnalis, sejarawan tidak secara spontan menemukan sebab dalam peristiwa. Dalam proses pencarian itu, sejarawan akan berhadapan dengan beberapa plot yang memiliki nilai penjelasan” yang sama tapi memiliki karakteristik yang berbeda. Lalu, apakah ada batas tertentu dalam objektivitas sejarah?

Sejarah tersusun dari berbagai plot yang berbeda, tapi plot-plot itu akan memiliki benang merah yang saling terkait dan merujuk pada satu sebab untuk dianalisis. Setiap laporan sejarah sejatinya memang tersusun dari berbagai plot yang menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat. Fakta dalam sejarah dikembangkan dari suatu ide sehingga menghasilkan tiga klasifikasi sebab sejarah, yaitu ketidaksengajaan atau superficial cause, kondisi objektif atau material cause, dan final cause dengan sifat yang lebih bebas dibanding dua sebab sebelumnya.

Meskipun terdapat tiga macam sebab dalam penulisan sejarah, Veyne membahas secara khusus dua di antaranya, yaitu tentang material cause dan final  cause. Untuk memutuskan suatu fakta sebagai material cause dan final material tidak harus mengkaji buku-buku sejarah atau pun bacaan lain yang merujuk pada sejarah. Fakta itu akan terlihat lewat aktivitas sehari-hari manusia karena ia hanya muncul melalui tindakan mereka. Beberapa sejarawan tidak memberikan penjelasan yang mendalam terhadap fakta yang dikaji. Hal ini menyebabkan penjelasan dalam penulisan itu tanggung atau kurang lengkap. Dalam proses pencarian ini sejarawan dapat menghentikan pendalaman pada tahap mana pun. Jika berhenti pada tahap material cause atau sebab material, maka akan tercipta suatu pandangan yang dibangun oleh mereka sendiri yang mengartikan manusia sebagai sebuah kondisi objektif. Hal tersebutlah yang dinamakan materialisme marxis, penjelasannya dibangun lewat fakta-fakta sederhana yang muncul dari pemahaman sehari-hari yang berhenti pada suatu titik tertentu tanpa menyentuh substansi intinya.

Setiap hal yang kita lakukan, disadari atau tidak, dilatarbekangi oleh suatu maksud yang tidak dapat dijelaskan tapi dapat kita pilih. Suatu sebab terkadang sulit untuk dilihat, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebab juga tidak dapat disejajarkan karena ia memiliki kekuatan yang berbeda. Bisa saja ada sebab yang lebih kuat atau lebih lemah daripada sebab lainnya.

Sejarawan harus berhati- hati dalam menyikapi peristiwa sejarah yang dihadapinya karena terdapat sejumlah kepingan peristiwa yang dianggap dapat mewakili sejarah secara keseluruhan. Sebagai contoh, meskipun Revolusi di tahun 1789 dan 1917 dianggap memiliki sebab yang kuat dan mengakar, tetapi penjelasan yang mendalam tetap diperlukan. Jika sejarah selalu membutuhkan penjelasan yang detail, lantas adakah metode khusus dalam penulisan sejarah? Dalam hemat Veyne, metode bukanlah sesuatu yang dimiliki sejarah. Tugas yang sulit yang dihadapi sejarawan dalam hal ini adalah mengelaborasi fakta-fakta yang mereka temukan secara detail.

Penjelasan sejarah terkadang menampilkan struktur yang tidak permanen dan tidak mendasar. Sejarawan profesional umumnya memiliki sedikit gagasan daripada sejarawan pemula dalam kerja pembacaannya. Dalam hal ini pula metodologi sejarah nyatanya tidak memiliki pokok yang pasti. Selain itu, banyak sejarawan yang tidak dapat menghadapi berbagai permasalahan yang muncul saat mengembangkan fakta. Tidak heran kemudian jika tulisan yang dihasilkan tampak sangat kering, tumpul, dan mengecewakan jika dibaca. Upaya untuk menghindarinya adalah dengan mempelajari dan mengelaborasi fakta secara detail. Dalam hal ini, pemahaman terhadap fakta menjadi hal yang lebih penting daripada metode itu sendiri.

Sejarah sebenarnya merupakan ilmu yang konkrit. Ide, teori, dan konsep yang membuat sejarah terkesan mati hanya sesekali diungkap saja karena yang terpenting adalah cara sejarawan memandang peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang dapat diorganisir pengisahannya. Sejarah tidak memiliki struktur ataupun metode, tapi hal ini menjadi suatu keuntungan karena sejarah dapat terus lahir dan berkembang. Sejarah dikatakan tidak memiliki metode karena bagi Veyne cara sejarawan memandang sejarah itu sama seperti cara kita memandang sesuatu yang asing, di tanah yang asing itu sejarawan berusaha menemukan plot-plot yang dapat membentuk peristiwa sejarah secara spesifik. Dalam menemukan sebuah plot, sejarawan memilah mana yang ingin ditulis dan mana yang disingkirkan. Sebuah penjelasan kisah akan dirangkai secara detail dan terorganisir sehingga membuat plot dapat dipahami.

Memasuki bahasan mengenai teori, tipe, dan konsep, lantas timbul pertanyaan apakah ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar memahami plot? Kemudian bagaimana peran teori dan konsep itu dalam upaya memahami plot sejarah? Teori dan tipe disebut juga sebagai permasalahan abadi dalam konsep sejarah. Teori pada dasarnya merupakan sebuah plot yang ditentukan melalui kriteria sejarah.

Teori, tipe dan konsep sejatinya merupakan hal yang sama. Ketiganya berfungsi sebagai ringkasan dari plot. Karena objek sejarah yang terus mengalami pergerakan, sejarawan memerlukan alat agar plot- plot itu dapat dituliskan seluruhnya secara singkat dan jelas. Tulisan sejarah yang detail tidak berarti harus dibangun dari berbagai penjelasan yang panjang apalagi berputar- putar. Tulisan semacam itu tidak nyaman untuk dibaca dan menyebabkan fakta sejarah tak bisa tersampaikan sebagaimana mestinya. Teori, tipe dan konsep hadir untuk membuat plot lebih mudah dipahami dengan cara menampilkan bagian mana saja yang harus ditulis dan harus diabaikan sejarawan. Menjelaskan seluruh pergerakan sejarah tidak bisa dicapai hanya dengan pemahaman seadanya. Pemahaman itu harus benar- benar menukik hingga ke akarnya.


Apa yang disebut sebagai teori dikatakan pula sebagai ringkasan dari plot. Sejarawan mungkin saja terjebak dalam mengabstraksi seputar ringkasan dan plot. Hal ini dikarenakan mereka lupa untuk mengonversi ulang abstraksi ke dalam plot yang konkrit. Misalnya di sebuah kota atau negara, bukan hanya pemerintah dan tentara yang punya eksistensi dalam sejarah itu, tetapi juga petani. Hal yang seringkali dianggap sepele dalam penulisan sejarah terkadang justru merupakan aspek pendukung yang penting agar teori dapat dipahami.

Untuk bisa memahami teori, tipe, dan konsep, ada yang perlu diingat, yakni sejarah memiliki kekhasan tersendiri. Sesuatu yang khas itu memang tidak selalu ditemukan dalam setiap peristiwa sejarah karena dalam sejarah suatu hal yang khas dan unik terkadang ditentukan secara subjektif. Mungkin inilah sebab munculnya perbedaan  pandangan terhadap satu peristiwa sejarah karena sejarawan sejatinya dapat menginterpretasikan peristiwa itu dari sudut pandang yang berbeda, pula objek natural sejarah juga muncul setelah melewati berbagai kriteria yang ditetapkan.

Leopold van Ranke mengatakan jika dalam menuliskan sejarah, sejarawan harus menuliskan peristiwa sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi bukan berarti penjelasan yang timbul harus dibuat sepanjang mungkin, karena tipe ataupun teori sejarah baru berfungsi jika deskripsinya disajikan secara singkat dan padat. Perlu diingat jika teori, tipe dan konsep memiliki kesamaan, dalam arti ketiganya sama-sama meringkas suatu plot yang ada.

Konsep seringkali menjadi pemasalahan pelik dalam sejarah. Sejarawan seringkali terlalu terpaku pada konsep atau tipe yang mereka gunakan. Hal itu dapat menjadi penghalang dalam penulisan sejarah karena sejarawan justru akan kesulitan mengembangkan analisisnya sendiri. Sejarawan pemula biasanya yang paling mudah terjebak dalam kesulitan ini. Dalam penjelasan mengenai hal ini dalam pembahasan di atas Memahami Plot, sejarawan seharusnya menuliskan suatu hal yang spesifik secara detail. Konsep berguna untuk membuat detail-detail dalam tulisan sejarah.

Konsep sejarah memang seperti unsur yang sangat aneh dalam sejarah. Karena di satu sisi, konsep membiarkan kita untuk memahami fakta dengan berbagai definisinya, sedangkan di sisi lain hal itu bisa menyebabkan kita menginterpretasikan fakta secara tidak tepat.

Sejarah hanya menginginkan suatu hal yang konkrit, ia juga bukan sesuatu yang dituliskan di lembar yang kosong di mana kita tidak dapat menemukan segalanya di atasnya. Karena itulah historiografi menjadi alat untuk melawan kecenderungan dalam penempatan interpretasi yang salah itu agar sejarawan tidak lagi terjebak dalam berbagai hal yang tidak perlu diceritakan.

Kesalahan terus diproduksi karena konsep sebenarnya terjadi karena ambiguitas yang dimilikinya. Ambiguitas itu muncul karena objeknya seringkali bergerak sehingga terus mengalami perubahan. Konsep merupakan rintangan dalam pengetahuan sejarah. Karena pengetahuan bersifat dekriptif, sedangkan sejarah yang tidak membutuhkan dasar-dasar dalam penjelasannya hanya membutuhkan sejumlah kata untuk menunjukkan peristiwa yang terjadi sebagaimana mestinya. Banyak hal yang perubahannya lebih cepat daripada kata, sehingga sejarawan harus terus berpindah dari satu gaya ke gaya yang lain. Konsep selalu mengalami perubahan bentuk terhadap objek realitas dari setiap waktu yang dihadapinya.

Untuk dapat memahami plot, sangat penting untuk terlebih dahulu memahami teori dan konsep yang tersaji. Beberapa tulisan sejarah seringkali menyuguhkan fakta dengan ide yang bertentangan dengan zamannya atau diluar kategori- kategori yang lazim. Ketika konsepyang sering membuat sejarawan terjebak dalam interpretasidapat membuat fakta ditafsirkan dengan benar, hal itu akan membuat sejarah seperti hasil karya seni. Artinya sejarah telah mencapai titik kesempurnaan. Hal ini seolah merepresentasikan apa yang dikatakan Chuang-tze, “menakukkan berbagai hal tanpa ada yang terlukai.”


(sulur.id - alk/kln)

0 comments: