I. Gifar Ramzani
Perdebatan mengenai kedudukan sejarah sebagai sebuah ilmu atau bukan dan kausalitas di dalamnya merupakan tema diskusi kelas Historiografi Komunitas Sulur yang diselenggarakan pada hari Senin (5/03/17). Materi bahasan pada pertemuan ini merupakan bagian bab ketiga dan keempat dari buku E.H. Carr, What is History? Diskusi belajar historiografi kali ini dipantik oleh Azmil R. Noel Hakim.
Argumen pertama mengenai perdebatan apakah sejarah merupakan sains atau bukan hanyalah masalah klasifikasi. Hal ini sesuai dengan refleksi Carr muda yang menemukan fakta bahwa dengan segala bentuk dan penampilannya, ternyata Paus tidak termasuk Ikan. Masalah yang kedua adalah peristilahan. Di beberapa negara Eropa lain seperti Jerman atau Prancis, definisi sejarah ekuivalen dengan sains, sehingga kedudukan sejarah sebagai sebuah ilmu sudah tidak lagi menjadi perdebatan.
Sepanjang abad ke-18–19, sains berkembang begitu pesat. Secara siginifikan kehadirannya memberi sumbangsih bagi pengetahuan manusia. Dalam periode tersebut juga menciptakan konsep hukum semisal hukum gerak Newton, hukum gravitasi, hukum Boyle, hukum evolusi, dst. Sehingga dari situ tercipta sebuah paradigma bahwa sains haruslah memiliki atau menciptakan sebuah hukum. Persoalan inilah yang menyebabkan sejarah dianggap bukan sains karena tidak memiliki atau menciptakan sebuah hukum tersebut.
Akan tetapi menurut Carr, sejarah memiliki konsep hukum yang disebut hipotesis. Pun menurutnya, seharusnya seluruh ilmu pengetahuan harus bersifat seperti itu. Mengapa? Karena hipotesis yang bersifat sementara membuat gerak laju ilmu pengetahuan terus berjalan sehingga pintu untuk penemuan baru. Carr mencontohkan, misalnya dengan diganosa yang disampaikan oleh Max Weber mengenai hubungan antara Protestan dengan Kapitalisme. Tidak ada lagi orang yang percaya bahwa diagnosa tersebut merupakan sebuah hukum, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pada masanya diagnosa tersebut kokoh sebagai hukum. Meski telah memberi penjelasan seperti itu, Carr merasakan masih banyak keraguan perihal kedudukan sejarah sebagai sains. Keraguan tersebut muncul karena setidaknya terdapat lima kesalahpahaman dari masyarakat umum mengenai sejarah itu sendiri.
Pertama, anggapan bahwa sejarah secara ekslusif berhubungan dengan hal yang unik sedangkan ilmu merupakan hal yang umum. Carr menanggapi bahwa keunikan yang diteliti oleh sejarah juga merupakan keunikan yang umum. Hal ini berkaitan dengan penggunaan bahasa seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan. Sejarawan juga menggunakannya untuk membuat sebuah generalisasi. Misalnya konsep revolusi. Secara umum atau general, Revolusi Inggris, Revolusi Perancis, Revolusi Rusia, atau Revolusi Cina semuanya merupakan sebuah peristiwa revolusi. Akan tetapi revolusi di setiap negara tersebut pasti memiliki keunikan tersendiri. “Sejarawan tidak benar-benar tertarik pada keunikan yang khas, tetapi lebih pada apa yang umum dalam keunikan itu”, begitu
kata Carr dalam bukunya.
kata Carr dalam bukunya.
Anggapan kedua adalah yang mengatakan bahwa tidak ada pelajaran yang didapat dari sejarah. Untuk mematahkan anggapan tersebut, Carr mencontohkan pengalaman hidupnya sendiri. Pada tahun 1919, Carr hadir di Paris Peace Conference sebagai anggota junior Inggris. Dalam pertemuan tersebut, semua orang memercayai bahwa mereka dapat mengambil pelajaran dari Kongres Wina. Pelajaran-pelajaran tersebut setidaknya dituliskan oleh Sir Charles Webster yang pada saat Kongres Wina bertugas di Kementerian Perang. Pelajaran-pelajaran tersebut sangatlah memengaruhi perilakunya serta peserta lainnya.
Anggapan ketiga adalah mengenai prediksi dalam sejarah. Tidak adanya pelajaran yang bisa didapat dari sejarah membuat sejarah tidak bisa memprediksi masa depan, tidak seperti sains. Untuk kasus ini Carr mencotohkan bahwa di sebuah sekolah terdapat beberapa siswa yang terkena penyakit campak. Dari fenomena tersebut, kita tentu dapat memprediksi bahwa epidemik campak akan terjadi di sekolah itu. Akan tetapi, kita tidak bisa memprediksi secara spesifik siswa mana yang akan terkena penyakit campak selanjutnya. Contoh lain misalnya kapan pecahnya revolusi di Ruritania. Sejarah tidak bisa memberi simpulan bahwa akan terjadi revolusi di Ruritania bulan depan, tetapi dengan melihat kondisi yang ada sejarah bisa memprediksi bahwa revolusi meletus.
Anggapan keempat adalah bahwa sejarah perlu bersifat subjektif karena manusia akan mengamati dirinya sendiri. Sejarah dan ilmu sosial lainnya memang menempatkan manusia menjadi objek sekaligus subjek penelitiannya. Sedangkan untuk perihal subjektifitas, Carr akan menerangkannya di bagian lain.
Anggapan terakhir adalah bahwa sejarah berkaitan dengan agama dan moralitas. Dalam meneliti sejarah atau menjadi sejarawan tidak mengharuskan kita menjadi ateis, tetapi bukan juga berarti bahwa kita menyerahkan semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini pada kehendak Tuhan. Dalam pembahasan ini Gani A. Jaelani sebagai moderator diskusi menambahkan dengan menyebut “takdir”. “Mengapa (sejarah) ini terjadi? Karena sudah takdirnya.” Tentu saja cara kerja sejarah dan sejarawan bukan seperti itu. Poin kedua adalah mengenai moralitas. Sejarah tidak menilai moralitas seorang tokoh, melainkan pada peristiwa, kebijakan, atau lembaga. Itulah mengapa, Gani kembali menambahkan bahwa reformasi ’98 bisa dianggap gagal karena para demonstran memfokuskan demonstrasi mereka pada tokoh, yaitu untuk melengserkan Suharto.
Bahasan selanjutnya adalah mengenai kausalitas dalam sejarah. Sejarah adalah ilmu sebab-akibat dan lebih banyak mengajukan pertanyaan mengapa dibanding bagaimana. Semakin banyak penyebab atau data yang dikumpulkan sejarah, maka akan semakin baik hasil yang dituliskan. Untuk hal ini, Gani menambahkan dengan menjelaskan lewat “lapisan sebab-akibat” milik Carr. Ada lapisan paling bawah, yaitu sejarawan kelas tiga, yang hanya melihat sebuah peristiwa terjadi karena satu penyebab/mono causa. Selanjutnya, adalah lapisan tengah, yaitu sejarawan kelas dua, yang melihat sebuah peristiwa terjadi karena banyak penyebab. Dan ketiga, lapisan paling atas, yaitu sejarawan kelas pertama, yang melihat sebuah peristiwa terjadi karena banyak penyebab dan mengurutkan penyebab-penyebab tersebut menjadi sebuah hieraki. Langkahnnya adalah dengan menentukan mana di antara banyak penyebab tersebut yang merupakan penyebab besar dan kecil, serta mana penyebab yang langsung dan tidak langsung.
Perdebatan mengenai kausalitas ini kemudian berlanjut pada perdebatan lain, yaitu mengenai determinisme dan kebetulan dalam sejarah. Determinisme di sini memiliki definisi sebuah kepercayaan bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki penyebab. Carr memberi contoh ketika Isaiah Berlin mempertanyakan “historisisme” Hegel dan Marx yang seolah meniadakan kehendak bebas manusia terkait kausalitas.
Poin kedua adalah mengenai kebetulan dalam sejarah. Bagi Carr, kebetulan dalam sejarah ini terjadi karena ketidakmampuan seseorang untuk menentukan kausalitas-kausalitas yang ada. Lebih parahnya, ketidakmampuan tersebut seringkali disebabkan oleh kemalasan intelektual itu. Lagi-lagi, Carr membuat pengibaratan mengagumkan. Anggaplah terdapat seorang pengendara mobil bernama Jones yang baru selesai pesta dan mabuk lebih parah dari biasanya. Ia mengendarai mobil yang remnya rusak. Di sebuah tikungan tajam dengan pencahayaan yang kurang, ia menabrak Robinson dan membuatnya tewas yang sedang menyebrang untuk membeli rokok. Kita kemudian dimintai keterangan mengenai kejadian tersebut. Apakah kecelakaan tersebut terjadi karena Jones yang mengendarai dengan keadaan mabuk sehingga kemudian aduannya menjadi aduan kriminal? Atau kecelakaan tersebut terjadi karena kerusakan rem sehingga pihak bengkel tempat mobil tersebut diservis seminggu lalu yang dimintai pertanggungjawaban? Atau malah pemerintahlah yang patut dipersalahkan karena kurangnya pencahayaan di tempat kejadian? Akan tetapi, seseorang lain malah berpikir bahwa kematian Robinson disebabkan oleh dirinya sendiri karena keinginannya untuk merokok pada saat itu.
Penyebab terakhir tersebutlah yang dianggap Carr sebagai kebetulan dan kemungkinan dalam sejarah. Perlu adanya realitas dan rasionalitas dalam menentukan-menentukan kausalitas-kausalitas tersebut. Bukan berarti penyebab tersebut salah, tapi karena sifatnya yang tidak relevan.
(sulur.id - gfr/kln)
0 comments:
Posting Komentar