I. Gifar Ramzani Kelas belajar Sulur telah menginjak pertemuan keenam. Di pertemuan tersebut (24/4/2018), Anugrah Rahmatullah mem bah...

Catatan Diskusi Plot dan yang Spesifik dari Peristiwa


I. Gifar Ramzani

Kelas belajar Sulur telah menginjak pertemuan keenam. Di pertemuan tersebut (24/4/2018), Anugrah Rahmatullah membahas hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan plot dalam sejarah dan hal-hal yang spesifik dari sejarah. Materi ini masih berasal dari buku Paul Veyne, Writting History: Essay on Epistomology.



Anugrah menjelaskan bahwa dalam sejarah kita akan menemukan begitu banyak fakta. Dari fakta tersebut kita kemudian akan menghadapi banyak pertanyaan atau masalah, seperti apakah sebuah fakta menjadi lebih penting dibanding fakta yang lain; jika suatu fakta memang lebih penting dari fakta yang lain, lalu bagaimana cara kita menentukannya? Menurut Veyne dalam bukunya, tentu saja akan ada fakta yang lebih penting dibanding fakta yang lain. Dan cara menentukannya bisa dilihat dari cara seorang sejarawan menyampaikannya dalam narasinya, apakah dalam narasi tersebut seorang sejarawan menjelaskan bahwa fakta tersebut memberi dampak yang besar pada terjadinya suatu peristiwa sejarah dan bagaimana dampaknya pada fakta-fakta lain dalam narasi tersebut? Penjelasan tersebutlah yang disebut dengan plot, yaitu sebuah alur yang digunakan sejarah untuk menyampaikan tiap fakta, sebab-akibat, atau dampak dari sebuah peristiwa sejarah.

Menurut Veyne yang dijelaskan oleh Anugrah, plot dalam sejarah menjadi begitu penting karena plot tersebutlah yang menyusun rangkaian hingga menjadi sebuah peristiwa sejarah. Suatu plot bisa mendeterminasi atau tidak sama sekali, dalam artian suatu plot bisa menentukan narasi utama dari sebuah peristiwa dan ke mana arah  peristiwa bermuara. Sebagai contoh misalnya, ketika Napoleon memberi perintah kepada para prajuritnya. Dalam narasinya, seorang sejarawan bisa saja mengulang beberapa kali fakta tersebut karena bisa jadi di narasi selanjutnya, para prajurit tersebut tidak menuruti perintah Napoleon, yang akan menyebabkan alur peristiwa menjadi berubah.



Dari plot ini juga kita akan bisa menemukan fakta-fakta yang menarik di tengah sebuah alur peristiwa yang umum. Misalnya dalam kajian mengenai sejarah revolusi, secara umum, plot atau alurnya adalah mengenai ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa. Lalu di situ, muncullah apa yang disebut menarik tadi, misalnya dalam sejarah revolusi Prancis, hadir sosok Napoleon Bonaparte yang memimpin revolusi Prancis.

Akan tetapi fakta dalam sebuah plot juga bukan merupakan hal yang terpisah. Dari satu fakta ke fakta lain tetap merupakan sebuah satu kesatuan. Veyne mencontohkan misalnya dengan serangan tentara Jerman ke Sedan pada 1940. Dari peristiwa tersebut kita bisa membaginya ke dalam tiga plot, yaitu strategi, psikologi, dan administrasi. Dari plot psikologi misalnya, kedatangan para tentara dengan cara jalan yang berbeda dengan rakyat sipil bisa kita liat bahwa kemungkinan beberapa waktu ke depan akan terjadi penyerangan. Gambaran keadaan tersebut memengaruhi perasaan rakyat sipil tersebut dan apa yang mereka lakukan. Hal inilah yang membuat sejarah menjadi unik karena kita bisa melihat berbagai sudut pandang mengenai suatu objek.

Berkaitan dengan sudut pandang, Veyne mengkritik mereka yang seringkali melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Ia menyebutnya dengan istilah “Geometric Figures”. Padahal, sebagai contoh misalnya dari sebuah peristiwa perang, banyak yang bisa dikaji, bukan hanya mengenai narasi terjadinya perang tersebut, tapi seperti bagaimana kondisi masyarakat ketika perang tersebut terjadi, atau bagaimana persediaan makanan bagi para tentara yang bertugas berperang. Sudut pandang seperti ini pada akhirnya akan memunculkan dugaan mengenai subjektivitas. Subjektivitas tidak menjadi masalah ketika ia diinterpretasikan secara seimbang. Caranya adalah dengan menekankan tidak ada fakta yang mendasar. Seperti telah dijelaskan di awal tadi, setiap fakta bergantung pada fakta yang lain.




Topik bahasan selanjutnya adalah mengenai hal yang spesifik dan menarik dari sejarah. (Peristiwa) apa yang menarik para sejarawan? Karena bisa saja, suatu peristiwa dianggap menarik bagi satu sejarawan tapi tidak untuk sejarawan lain. Mengenai hal ini, kita dapat mengenal sejarah populer, yaikni sebuah peristiwa yang menjadi kajian bagi banyak sejarawan. Untuk hal tersebut, Veyne mengkritik teori Weber, bahwa sejarah hanyalah berisikan hal-hal yang besar, sehingga menihilkan hal-hal yang bernilai kecil. Sebagai contoh misalnya, ketika Weber menyampaikan mengenai perubahan konstitusi yang dilakukan oleh Frederik Willams IV. Menurutnya peristiwa tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan pakaian yang digunakan oleh Frederik Williams IV pada saat itu. Padahal, menurut Veyne, jika ditelisik lebih jauh, pakaian yang digunakan tersebut bisa memengaruhi citra seorang Frederik Williams ketika melakukan perubahan konstitusi tersebut yang tentu akan berpengaruh. Bagaimana jika penjahit pakaian Frederik William bermain-main dengan kerjanya dalam menesain baju upacara tersebut?  

Lalu apa yang menarik untuk ditulis bagi sejarawan? Setidaknya, Veyne menyampaikan ada dua pola dasar, yaitu menulis untuk membuat suatu memori untuk terus diingat dan membuat suatu perbedaan. Tulisan tersebut kemudian menghasilkan pengetahuan sejarah. Dan apa tujuan atau pentingnya dari pengetahuan sejarah? Veyne menyampaikan bahwa ada banyak hal yang terjadi di masa lalu entah mengenai pribadi, keluarga, atau suatu bangsa yang membuat sejarawan atau siapa pun itu untuk terus mengeksplorasi lebih jauh mengenai pengetahuan tersebut. Selain itu, pengetahuan sejarah juga berguna bukan hanya untuk si penulis, tapi juga khalayak umum. Sejarah bisa menjadi sebuah sarana hiburan karena di dalamanya terdapat keindahan budaya dan sajian-sajian cerita yang menarik.

Pada sesi diskusi, terdapat pertanyaan dari salah satu peserta, Fadel, yang menanyakan mengenai fakta. Ia mengulang penjelasan Anugrah yang menyatakan bahwa fakta bukanlah sesuatu yang mengisolasi, sedangkan pada praktiknya, seorang sejarawan memilah-milah fakta yang berarti fakta tersebut mengisolasi. Menurut Anugrah, yang dimaksud dari fakta yang mengisolasi tersebut adalah fakta yang “mentah”, yaitu fakta yang belum melewati hasil interpretasi dari sejarawan, yang berarti fakta yang ditemukan tersebut masih berada dalam tahapan kritik.

Di akhir pertemuan, Rani sebagai moderator akhirnya memberi simpulan bahwa bahasan-bahasan yang disampaikan oleh Veyne dalam bukunya ini terasa lebih rinci dibanding bahasan-bahasan yang berasal dari buku E.H Carr yang telah menjadi materi dari tiga pertemuan awal.

(sulur.id - gfr/kln)

0 comments:

Anugrah Rahmatulloh Dalam sebuah peristiwa sejarah, juga berlaku dalam penelitian sejarah, kita akan menemukan banyak hal di lapanga...

Sejarah yang Enak Dibaca



Anugrah Rahmatulloh

Dalam sebuah peristiwa sejarah, juga berlaku dalam penelitian sejarah, kita akan menemukan banyak hal di lapangan yang berkaitan dengan fakta. Fakta-fakta tersebut dapat ditemukan dengan berbagai cara dalam proses heuristik sehingga kita akan masuk pada sebuah pertanyaan besar, bisakah fakta-fakta tersebut disejajarkan? Pertanyaan tersebut mengembangkan pelbagai pertanyaan yang tidak kalah penting, yaitu apakah tidak akan terjadi sebuah kekacauan ketika berbagai fakta di sama ratakan; lalu, dalam suatu peristiwa (atau berbagai perisiwa dalam konteks waktu yang sama), apakah terdapat satu fakta yang lebih penting dari fakta yang lain; dan bagaimana bisa fakta tersebut bisa lebih penting dibanding fakta yang lain?



Sebagai gambaran, Paul Veyne dalam Writing History: Essay and Epistemology menyatakan bahwa harus ada pilihan dalam pembahasan sejarah. Berdasarkan dari pernyataan itu, jelaslah bahwa dalam suatu fakta sejarah akan ada fakta yang lebih penting dibandingkan fakta yang lain, di mana fakta tersebut akan menguak berbagai penyebab dan dampak yang ditimbulkan peristiwa tersebut. Hingga setiap peristiwa memiliki alur tersendiri dalam menyampaikan sebab, proses serta akibat dari peristiwa tersebut. Hal itulah yang kemudian kita kenal sebagai “plot”.

Pada kenyataannya, fakta tidak terbentuk dari sesuatu yang mengisolasi. Dalam artian, tidak ada batasan dalam sebuah fakta. Hanya saja, sebuah fakta terbentuk dalam suatu alur tertentu yang menjadi patokan bagi berkembangnya fakta tersebut, atau yang lebih dikenal dengan nama plot. Pendeknya, plot berguna bagi sejarawan untuk melakukan analisis bagaimana fakta memiliki suatu objek kajian yang saling berhubungan dan juga sangat penting untuk diketahui.

Sebagai contoh, di sini disebutkan awal masa sistem masyarakat feodal, atau masa-masa revolusi Prancis. Pada dasarnya, plot bisa dibuat dari sesuatu yang tidak melulu bersifat kronologis, tetapi lebih dari itu, plot juga berbicara mengenai bagaimana penempatan objek terhadap sesuatu yang terjadi pada objek tersebut. Bagaimana juga sebuah plot bisa mengungkapkan hubungan antarfakta yang ditemukan. Sebuah plot bisa dianggap memiliki determinasi atau bahkan tidak memiliki determinasi sama sekali. Determinasi di sini dijelaskan bahwa sejarawan bisa menentukan apa saja hal yang terjadi dalam suatu peristiwa dan juga menentukan ke mana arah dari peristiwa tersebut. Misalnya, ketika Napoleon memberikan sebuah intruksi kepada para prajuritnya, sejarawan bisa menjelaskan beberapa kali mengapa para prajurit menuruti perintah dia. Dari sana bisa terlihat bagaimana sebuah intruksi diberikan kepada prajurit mengenai apa yang akan terjadi dan bagaimana cara para prajurit menghadapi peristiwa tersebut. Karena pada perkembangan selanjutnya, bisa jadi para prajurit tidak menuruti perintah Napoleon, dan tentu alur cerita akan berubah.

Sebuah plot juga dapat menentukan bagaimana sejarawan menentukan fakta-fakta yang menarik untuk dikaji, plot memberikan patokan mengenai bagaimana pelbagai peristiwa terjadi dalam satu zaman. Akan ada kemiripan-kemiripan yang ditunjukan antarperistiwa sezaman yang kemudian menjadi sebuah plot yang terstruktur. Adapun yang membedakan hanyalah detail-detail lain yang bisa memperkaya suatu plot dan bisa menarik minat para sejarawan. Sebuah fakta akan terlihat kering dan tidak bermakna ketika tidak memiliki plot.

Dalam kajian sejarah revolusi misalnya, bagaimana revolusi akan muncul dari adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan penguasa, hingga akhirnya terdapat seorang tokoh yang dianggap sebagai pahlawan karena memimpin sebuah pemberontakan atau kudeta misalnya. Seperti dalam sejarah Revolusi Prancis kita dapat melihat bagaimana Napoleon Bonaparte menjadi seseorang yang sangat dipuja masyarakat pada saat itu karena memimpin revolusi Prancis.

Perlu diingat juga, bahwa fakta sejarah bukan merupakan sesuatu yang terbagi atas beberapa butiran, tetapi sebuah fakta yang bisa menjelaskan kondisi secara umum. Terdapat banyak bagian yang dapat memengaruhi fakta sejarah. Di sini Veyne menjelaskan bagaimana fakta sejarah tidak terbentuk sebagai bagian-bagian dari butiran yang terpisah tersebut melalui Serangan Tentara Jerman ke Wilayah Sedan pada 1940, dalam analisa peristiwa tersebut, terdapat plot strategi, administrasi dan psikologi. Bagaimana tentara antarkedua pasukan yang saling berhadapan memiliki gaya jalan yang berbeda dengan kebanyakan orang, mereka berjalan dengan patokan tertentu, itu menunjukan bagaimana tekanan memenuhi perasaan mereka. Gerakan langkah yang berbeda itu pula menunjukkan bagaimana tindakan yang akan mereka lakukan. Bahasa tubuh yang mereka tunjukan bisa memengaruhi keadaan yang sedang terjadi, dan dapat memengaruhi penyampaian fakta tersebut.
Objek kajian sejarah tidak hanya menekankan pada sebuah fenomena yang sedang terjadi pada waktu dan keadaan tertentu, tetapi juga menekankan kepada aspek-aspek yang mengikuti dan ada di sekitar fenomena tersebut. Hal itulah yang kemudian membuat sejarah menjadi sesatu yang unik, karena dari satu fenomena kita bisa menemukan banyak fakta atau objek yang bisa dikaji.

Dalam ulasannya, Veyne juga mengkritik beberapa pihak yang percaya bahwa sejarah hanya bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, tanpa membuka kemungkinan terhadap sudut pandang yang lain. Istilah tersebut sering disebut dengan “Geometric Figure”. Penganut teori tersebut berpendapat bahwa dalam peristiwa sejarah hanya dijelaskan satu peristiwa yang menjadi narasi utamanya. Hal ini pun disepakati oleh semua penganut teori tersebut. Fenomena inilah yang menjadi fokus kritik Veyne. Ia berpendapat bahwa sebuah peristiwa yang sama menawarkan beragam pandangan, tentu pandangan tersebut muncul dari berbagai individu pula, tidak muncul dari satu individu saja. Istilah tersebut dikenal dengan sudut pandang. Ia mencontohkan dalam peristiwa Perang Dunia I yang terjadi pada 1914 sampai 1918 dinyatakan tidak hanya menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa tersebut, tetapi bisa merembet kepada hal-hal yang lain yang bisa terpengaruh. Dengan narasi utama perang, orang yang berada di sekitar peristiwa tersebut bisa jadi menafsirkan bahwa perang tersebut memiliki kaitan dengan kondisi politik yang terjadi pada masa itu. Individu lainnya menyatakan bahwa perang itu bisa memicu terjadinya sebuah permasalahan ekonomi. Hal tersebut menandakan bahwa peristiwa tersebut bukanlah suatu hal yang bisa dilihat dari satu sisi. Peristiwa tersebut luas, banyak hal yang bisa dijelaskan dengan melihat peristiwa tersebut menurut sudut pandang yang berbeda.

Pada akhirnya semua kembali bergantung pada plot yang menjadi kerangka peristiwa tersebut. Dengan demikian, sejarah bisa menjadi sesuatu yang sangat subjektif. Seperti yang dikatakan oleh Henry Irenee Marrou, seorang sejarawan Prancis abad 20-an. Ketika semua hal menjadi sejarah, sejarah menjadi sesuatu yang bergantung pada pilihan. Namun lebih lanjut, Marrou mengingatkan bahwa subjektifitas tersebut bukan hal yang sembarangan, atau dalam artian diinterpretasikan secara sembarang. Tapi tetap berada pada lingkup yang terbatas. Salah satu pengingatnya ialah bahwa tidak akan ada fakta yang mendasar. Setiap fakta hanya memiliki makna dalam plotnya sendiri serta fakta tersebut kemudian mengacu kepada plot lain yang luas dan berhubungan dengan fakta tersebut. Sehingga fakta yang dihasilkan tidak menjadi fakta yang ideal, melainkan fakta yang memiliki keanekaragaman secara nomina.

Namun, dengan adanya plot serta sudut pandang kemudian akan memunculkan masalah baru, yaitu kesulitan untuk mendeskripsikan suatu peristiwa, kesulitan di sini bukan berarti sebuah peristiwa tersebut tidak bisa di deskripsikan, tetapi lebih kepada keberagaman pendeskripsian yang ditujukan terhadap peristiwa tersebut. Misalnya ketika penggambaran terhadap periode Romantisme, orang akan mendeskripsikan hal tersebut secara berbeda-beda. Sebagian sejarawan akan menyatakan bahwa periode tersebut dinamakan periode Post-Classinism atau periode pascaklasik. Atau sebaliknya, periode klasik bisa disebut oleh sejarawan sebagai periode praromantisme. Hal tersebutlah yang kemudian menyulitkan sejarawan untuk membentuk suatu sintetis yang komprehensif, terutaman jika yang ditulis ialah fakta yang bersifat umum. Dengan munculnya berbagai fakta dari suatu peristiwa yang sama, kemudian para sejarawan harus bisa mengoroborasikan berbagai fakta tersebut agar menunjukan suatu keserasian yang kemudian menjadi satu analisis yang berkaitan

Selanjutnya kita akan membicarakan hal-hal yang spesifik dalam sebuah peristiwa. Hal pertama yang dibahas oleh Veyne ialah peristiwa yang membuat para sejarawan tertarik. Hal ini sangat penting dalam kajian sejarah. Sebab ketertarikan sejarawan terhadap suatu peristiwa memiliki perbedaan yang bermacam-macam. Bisa jadi terdapat suatu peristiwa yang menarik minat banyak orang maupun sebaliknya. Sehingga kemudian muncul sejarah populer. Sejarah populer sendiri muncul dari banyaknya fakta-fakta yang menarik minat para sejarawan yang kemudian memakainya sebagai kajian sejarah modern.

Lebih jauh, Veyne sedikit mengkritik teori dari Weber yang menyatakan bahwa sejarah terkait dengan nilai. Di sini Veyne menyoroti bagaimana Weber melihat bahwa sebuah fakta pembentuk sejarah hanya muncul dari sesuatu yang bernilai besar, sedangkan hal-hal kecil menjadi tidak berarti (setidaknya itulah yang saya tangkap dari bagian ini). Pada kenyataannya, bahwa seluruh aspek-aspek dalam suatu peristiwa bisa memengaruhi peristiwa tersebut, besar atau kecil. Ia mencontohkan bagaimana kritiknya terhadap narasi yang dibuat Weber mengenai Peristiwa Perubahan Konstitusi yang dilakukan oleh Frederik Williams IV. Weber menyatakan bahwa hal tersebut tidak ada hubungan sama sekali dengan penjahit yang membuatkan seragam yang dipakai Frederik Williams IV dalam peristiwa tersebut, dan hanya menyatakan bahwa itu hanya pengetahuan bagi sejarah busana. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, hal itu menyiratkan pesan bagaimana seragam yang dibuat oleh penjahit itu bisa memunculkan efek tertentu yang cukup memengaruhi peristiwa sejarah yang sedang berlangsung.

Veyne juga menekankan bagaimana kemudian muncul sebuah gagasan mengenai sejarah yang menarik. Dalam hal ini ia menekankan bahwa ketertarikan terhadap sebuah peristiwa yang sebenarnya muncul dari esensi yang didapat dari peristiwa tersebut, yang kemudian hanya ditemukan berhubungan dengan kenapa peristiwa itu terjadi, yang kemudian menghilangkan dua hal utama dalam sebuah ketertarikan, yaitu nilai dan contoh. Kemudian ketertarikan juga dipengaruhi oleh dua pola dasar penulisan sejarah: yaitu tindakan untuk membuat suatu memori yang akan selalu diingat, dan membuat perbedaan antara satu dengan yang lain. Lebih jauh lagi, ketertarikan terhadap sejarah bisa datang melalui sesuatu yang spesifik. Memang pada dasarnya bahwa sejarah muncul dari sesuatu yang umum, tetapi perlu ditekankan juga bahwa sejarah terbangun atas berbagai hal khusus yang kemudian saling berhubungan membentuk suatu fakta dan peristiwa. Pada akhirnya akan ada satu ketertarikan sejarawan terhadap peristiwa yang lebih spesifik di balik peristiwa umum yang sangat membosankan atau sebaliknya.

Dari semua yang dibicarakan oleh Veyne pada bab ini, akan ada dua prinsip dari peristiwa sejarah dan juga termasuk penulisan sejarah. Pertama, sejarah merupakan pengetahuan yang tidak penting, dan bukan juga merupakan memori bersama. Kedua, apa pun yang terjadi, sejarah itu merupakan hal yang sangat penting dan setiap kejadian adalah sejarah. Kedua prinsip tersebut kemudian saling mengikuti satu sama lain. Pada dasarnya historiografi bukan merupakan biografi dari sebuah dinasti ataupun sebuah bangsa. Tetapi historiografi adalah suatu tulisan yang tidak hanya memuat mengenai masa lalu suatu bangsa atau dinasti. Waktu bukan merupakan hal yang esensial bagi sejarah, yang terpenting ialah bagaimana kejadian masa lalu bisa memberikan gambaran dan juga pencerahan mengenai berbagai pengetahuan yang muncul. Waktu hanya menjadi patokan untuk mengetahui sejauh mana sebuah peristiwa sejarah berlangsung dan bisa menarik minat para pengkajinya.
Selanjutnya Veyne menyatakan bahwa menulis sejarah itu merupakan suatu aktivitas intelektual. Bagaimana tidak, dalam menulis sebuah karya sejarah, seseorang harus melihat banyak kemungkinan yang terjadi. Bagaimana ketertarikan terhadap bagian dari pada peristiwa sejarah, lalu melihat hubungannya dengan pengetahuan sejarah yang akan sangat berkaitan dibanding dengan pengetahuan lain. Juga mengenai subjek dan objek dari sejarah sendiri sangat sulit untuk dibedakan. Sehingga kemudian menulis sejarah harus menggunakan berbagai macam pertimbangan. Salah satunya ialah mengenai kesadaran.

Banyak yang menyatakan bahwa kesadaran tidak bisa dimanfaatkan sebagai pengetahuan sejarah. Alasannya karena kesadaran secara luas tidak bisa dielaborasikan dengan berbagai data. Namun pada kenyataannya, kesadaran bisa berguna sebagai pengetahuan sejarah. Bagaimana kemudian secara sadar, orang memikirkan sebuah kejadian secara kronologis dan berdasarkan plot yang diingat. Kesadaran dapat membuat sebuah prolog atau keterangan dari apa yang dilakukan dan diingatnya.

Kemudian sebuah pertanyaan muncul, apa yang menjadi tujuan dari pengetahuan sejarah? Pertanyaan ini dapat dijawab ketika melihat sejauh mana ketertarikan seseorang terhadap peristiwa tersebut. Hal tersebut merujuk pada dua alasan, pertama karena terdapat hal yang menarik dari masa lalu kelompok, keluarga, negara yang menjadi latar belakang orang tersebut, sehingga menarik minat ia untuk lebih mengeksplorasi kejadian yang terjadi di masa lalu; kedua, karena adanya kebutuhan akan pengetahuan yang berguna bagi dirinya maupun orang lain. Singkatnya, pengetahuan sejarah dapat berguna dalam dua hal: bagi alasan pertama, pengetahuan sejarah berguna sebagai pengingat akan kesadaran masa lalu yang dimiliki oleh suatu kelompok; kedua, pengetahuan sejarah berguna untuk memberikan sebuah pengetahuan dan juga sebagai sarana hiburan. Sejarah merupakan aktivitas kebudayaan yang mengandung suatu nilai yang merujuk pada keindahan, yang dapat menyajikan cerita menarik. 

Terakhir, dalam peristiwa yang kemudian ditafsirkan selalu memiliki pengaruh politis yang kuat. Hal ini dilihat dari bagaimana sudut pandang penafsir sendiri terhadap peristiwa tersebut. Begitulah kemudian penyebab adanya keharusan untuk “membersihkan” pandangan terhadap sejarah agar sejarah menjadi lebih baik untuk dinikmati.

(sulur.id - ang/kln)


0 comments:

Chairani Rahiimi P ertemuan Kelas Historiografi kelima (19/03/2018) mengulas karya Paul Veyne   yang berjudul Writing History: Essay on...

Catatan Diskusi Apa yang Ditulis Sejarah


Chairani Rahiimi

Pertemuan Kelas Historiografi kelima (19/03/2018) mengulas karya Paul Veyne  yang berjudul Writing History: Essay on Epistemology. Pada pertemuan ini Ummu Aiman dan Rizky Putra Zuwandono berkesempatan untuk memaparkan hasil pembacaannya kepada para peserta.

Pada awal diskusi, Ummu menjelaskan hal-hal yang ditulis dalam sejarah. Lalu, ia memaparkan beberapa hal yang ditulis sejarah, yaitu human events, dokumen, kebenaran peristiwa, dan mutasi pengetahuan.



Dalam human events, manusia tidak selalu menjadi “aktor” dalam sejarah. Peristiwa alam seperti letusan gunung berapi dapat ditulis oleh sejarawan dengan spesifikasi dan perspektif tertentu. Dalam penulisan, sejarawan bisa memilah mana yang penting untuk ditulis dan mana yang tidak penting untuk ditulis.

Pengetahuan mengenai peristiwa sejarah bisa didapatkan melalui dokumen. Ia merupakan salah bahan untuk penulisan sejarah. Akan tetapi, interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa dalam dokumen bisa jadi memiliki pengaruh terhadap informasi sejarah. Ummu menjelaskan mengenai Waterloo (pertempuran antara Inggris dan Prancis). Ada yang berpendapat bahwa peristiwa itu adalah pertempuran, ada pula yang berpendapat sebagai bentuk kemenangan Inggris, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam pencatatan peristiwa tidak semuanya ditulis dalam satu catatan atau dalam satu periode.





Dalam penulisan, sejarah hanya menuliskan hal-hal yang benar terjadi. Artinya, fakta-fakta yang digunakan oleh sejarawan merupakan fakta yang benar terjadi. Hal inilah membuat metode sejarah tidak digunakan untuk mencari kebenaran. Kritik sejarah digunakan untuk menjawab pertanyaan yang dirumuskan oleh sejarawan untuk mencari fakta-fakta sejarah. Sejarah hanya mencari kebenaran, bukan mencari ketepatan seperti sains.

Penjelasan selanjutnya mengenai pengetahuan sejarah terpotong pada pola dokumen yang dimutilasi. Dalam hal ini, sejarah tidak menjelaskan secara lengkap mengenai suatu peritiwa tersebut. Penulisan sejarah pun berdasarkan pada jejak-jejak yang ditemukannya. Sejarah tidak bisa mengungkapkan suatu hal tanpa ada jejaknya. Kendati demikian, sejarawan tetap berusaha mengungkapkan peristiwa-peristiwa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.



Pembahasan pun dilanjutkan oleh Rizky. Dalam pembahasannya, Rizky mengungkapkan ada 8 fakor yang tidak dianggap logis dalam penyusunan sejarah.

Pertama, ketidaklogisan sejarah. Dalam hal ini dinyatakan bahwa kedudukan sejarah tidak bisa ditentukan, kecuali satu hal: kenyataan. Kedua, sifat sejarah yang tidak lengkap, artinya adanya hal-hal detil yang tak muncul pada. Ketiga, sebuah gagasan tanpa peristiwa. semisal terjadinya pergeseran genre sejarah yang berbagi peran dengan sosiologi, sehingga penulisannya mencakup wilayah yang besar saja. Keempat, fakta yang tidak memiliki dimensi mutlak. Maksudnya, fakta-fakta pun dipilih karena ada kriteria tertentu untuk kepentingannya. Tiap fakta yang digunakan tidak bersifat ajeg. Kelima, perpanjangan dari sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah pun tak lagi mengulas dengan tema yang besar. Kini segala aspek kehidupan pun dapat dilihat secara historis. Keenam, sejarah ialah batas gagasan. Penulisan sejarah pun akan melibatkan gagasan-gagasan yang dipegangnya, sehingga ada batas tertentu. Ketujuh, sejarah berpijak pada yang ada di dunia. Maksudnya, tiap-tiap peristiwa memiliki perubahan dan penalaran tersendiri karena kajian pada sejarah terdapat pada manusia yang memiliki kekhasan tersendiri.  Kedelapan, yang mana fakta sejarah, di sini pertanyaan sejarah akan membedakan mana peristiwa historis dan mana yang bukan. Peristiwa historis ini akan memproyeksikan nilai-nilai dan jawaban atas pertanyaan sejarah.
Pembahasan yang telah dijelaskan oleh Ummu dan Rizky diperjelas oleh Gani A. Jaelani. Paul Veyne menuliskan buku ini untuk mengkritik model tulisan Fernand Braudel. Dalam model tulisan Braudel memukul rata orang-orang, sehingga peristiwa yang dialami bukan menjadi intinya. Di sinilah Veyne mendeskripsikan peristiwa itu seperti apa dan memfokuskan kembali apa yang dituliskan oleh sejarah.



Adanya kekurangan alamiah sejarah. Dalam penemuan jejak pun bukan berarti bahwa tidak ada jejak sama dengan tidak punya sejarah. Dalam penulisan pun ada yang menyingkat penulisan peristiwa satu abad yang lalu menjadi satu halaman, dan melebarkan penulisan sehari menjadi tiga halaman. Itu semua bergantung pada pilihan. Sebelumnya, apa yang dituliskan sejarah membedakan mana yang peristiwa dan yang bukan peristiwa. Dalam kasus ini, Veyne memperluas dimensi peristiwa-peristiwa sehingga semua peristiwa adalah sejarah.

Ketika sesi tanya-jawab dibuka, muncul beberapa pertanyaan dari para hadirin. Bryna menanyakan soal dokumen-dokumen tradisional yang lebih ke arah mitologi. Ia menanyakan bagaimana Paul Veyne menyikapi persoalan ini.

Gani menanggapi pertanyaan dari Bryna. Ia mengatakan bahwa dokumen-dokumen bukanlah hal yang utama. Jejak-jejak sejarahlah yang merupakan inti dari penulisan sejarah. Sebuah jejak disebut sebagai dokumen jika jejak tersebut berada di kertas. Untuk menyikapi adanya dokumen yang lebih ke arah mitologi, sejarawan Eropa pun menyikapi hal tersebut dengan cara melakukan kritik. Perlu dipahami bahwa masing-masing jejak bekerja dengan cara yang berbeda. Terdapat pola tertentu untuk menemukan apa yang dijelaskan oleh jejak. Di sinilah kemampuan membaca diperlukan agar jejak-jejak itu dapat digunakan. Hal ini juga diperlukan pula elaborasi dengan jejak-jejak lainnya dalam penulisan sejarah. Elaborasi pun tak hanya mengenai hal yang besar.

Gifar pun menanyakan soal keunikan sejarah, seperti apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo bahwa sejarah itu unik. Akan tetapi, ia diragukan oleh orang-orang ketika ia ingin menulis sejarah dengan tema yang bukan umum. Gani menjelaskan bahwa Kuntowijoyo tidak merincikan maksud kalimatnya yang menyatakan bahwa sejarah itu unik. Kajian sejarah itu spesifik, dan hal itu penting. Permasalahannya, di Indonesia sendiri masih banyak yang menulis sejarah dengan tema-tema besar. Hal inilah diperlukan argumen kuat dan sumber-sumber yang meyakinkan untuk mempertahankan apa yang ingin ditulis.

Pertanyaan lain pun diajukan oleh Kelana. Ia menanyakan tanggapan sejarawan terhadap adanya perdebatan dalam ilmu social-science, yaitu suatu hal dikatakan sebagai ilmu atau bukan ilmu. Gani pun melakukan perbandingan antara sejarawan di Indonesia dan di luar Indonesia, khususnya di Barat.

Mengenai suatu hal itu ilmu atau bukan ilmu tidak ada perdebatan di Indonesia. Sementara di luar Indonesia, khususnya Barat, perdebatan pun masih terjadi. Adanya bidang historiografi yang terus menelaah empiris sejarah dan epistemologi sejarah. Gani menambahkan bagaimana sejarawan Indonesia melakukan penelitian. Sejarawan lebih dulu mempelajari teori daripada mempelajari data. Hal ini keliru karena jika mempelajari teorinya terlebih dahulu, data yang akan dicari akan disesuaikan dengan teori yang digunakan. Seharusnya sejarawan mempelajari data-data terlebih dahulu, setelah itu baru ditentukan teori apa yang dapat mendekati data-data tersebut. Kelebihan sejarawan adalah cara membaca dokumen dan menginterpretasinya.

Mengenai cara kerja sejarah, Rima pun menanyakan bagaimana dengan novel sejarah. Dalam tanggapannya Gani mengatakan bahwa cara kerja novel dan sejarah itu sama, hanya realitasnya yang berbeda. Dalam novel sejarah, Gani merujuk pada Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, terdapat tokoh Annelies Mellema dan Nyai Ontorosoh. Mengenai adanya dua tokoh tersebut di dunia nyata pun tidak bisa dijelaskan. Akan tetapi, kehidupan-kehidupan yang dijalani oleh Annelies Mellema dan Nyai Ontorosoh merupakan representasi dari gambaran kehidupan orang Eurasia dan kehidupan gundik pada masa Hindia Belanda.



0 comments:

Chairani Rahiimi E.H. Carr dalam buku Apa Itu Sejarah? di bab kelima mengenalkan dua pandangan sejarah yang populer: mitisisme d...

Memandang Kemajuan dalam Sejarah


Chairani Rahiimi




E.H. Carr dalam buku Apa Itu Sejarah? di bab kelima mengenalkan dua pandangan sejarah yang populer: mitisisme dan sinisme. Mitisisme adalah suatu pandangan bahwa sejarah memiliki pergerakan yang bergerak pada suatu tujuan. Cara pandang mitisisme ini berkaitan dengan adanya kekuatan suprasejarah, yakni adanya kekuatan yang menggerakkan sejarah di luar manusia. Sementara sinisme adalah suatu pandangan bahwa sejarah hanya cukup sebagai “masa lalu” yang tak bernilai apa-apa, tidak ada pandangan terhadap pergerakan dan terpaku pada satu titik saja.

Pada abad pertengahan, proses pergerakan sejarah dikenalkan oleh orang-orang Yahudi-Kristen. Sejarah pun memiliki arti dan tujuan, tetapi cara pandang ini cenderung lebih religius, menuju pada ketuhanan. Pada zaman pencerahan, pandangan Yahudi-Kristen ini diperbarui dengan menyisipkan pokok duniawi pada tujuannya, sehingga jelas petunjuknya untuk menilai “gerak sejarah”.

Dalam bukunya, Carr menelaah konsep kemajuan, hal-hal di balik konsep kemajuan, dan mengkritiknya. Konsep itu dibagi menjadi empat, pertama tentang kesejajaran sejarah dengan alam; kedua tentang awal dan akhir kemajuan; ketiga tentang pergerakan kemajuan; dan keempat tentang esensi kemajuan terhadap sejarah.

Pertama, masa pencerahan memercayai adanya kemajuan. Akan tetapi kepercayaan ini membuat sejarah dengan alam itu sejajar. Anggapan bahwa landasan dasar di antara sejarah dan alam itu berbeda ini tidak begitu tepat. Landasan dasar sejarah adalah kemajuan (akuisisi sosial), sementara landasan dasar alam adalah evolusi (warisan biologis). Kedua hal ini  diibaratkan dengan kasus bayi Eropa yang tinggal dalam keluarga Tiongkok. Bayi Eropa ini akan tumbuh dengan kulit putih dan mampu berbahasa Tiongkok. Ras kulit si bayi merupakan warisan biologis dan kemampuan bahasanya adalah hasil akuisisi terhadap sosial.

Kedua, Carr menyarankan untuk tidak menganggap kemajuan memiliki awal atau akhir yang pasti. Permulaan peradaban bisa saja dianggap sebagai titik awal hipotesis kemajuan, tetapi itu bukanlah reka-cipta yang sebelumnya tidak ada. Hal tersebut merupakan proses perkembangan lambat yang tak terbatas, adanya lompatan-lompatan spektakuler kemungkinan yang terjadi dari waktu ke waktu. Bagi sejarawan, akhir dari kemajuan bukan berarti pokok tersebut telah berubah secara signifikan. Titik akhir adalah sesuatu yang masih jauh tak terbatas, dan petunjuk-petunjuk ke arahnya hanya bisa dilihat ketika kita bergerak maju.

Ketiga, kemajuan itu tidak selalu berjalan lurus. Kemajuan pun memiliki bagian yang terputus-putus, bahkan sampai kemunduran. Jika terdapat kebangkitan dari kemunduran, hal itu terjadi bukan di tempat yang sama dengan cara yang sama pula. Kemajuan dalam sejarah tidak terpaku dalam konteks waktu dan tempat. Carr berpendapat bahwa suatu kelompok yang berperan dalam kemajuan budaya pada satu periode tidak akan bisa memainkan peran yang sama pada periode selanjutnya.

Keempat, esensi kemajuan dalam sejarah adalah historical action (tindakan sejarah). Mereka yang bertindak pada masa lalu tidak sadar bahwa mereka bergerak maju. Mereka hanya sadar untuk melakukannya saat itu. Sejarawanlah[K2]  yang melakukan hipotesis kemajuan dan menginterpretasikan tindakan-tindakan di masa lalu itu menjadi sebuah kemajuan. Hal ini memunculkan hikmah dari pengalaman masa lalu yang terletak pada pencatatan dari sejarah itu sendiri. Carr mengatakan,

kepercayaan pada kemajuan lebih condong pada perkembangan progresif potensi manusia. Kemajuan adalah istilah abstrak dan akhir konkret yang dituju oleh umat manusia dari waktu ke waktu diperoleh dari gerak sejarah, bukan dari sumber-sumber di luarnya. Dengan konsepsi kemajuan, masyarakat akan tahu bagaimana cara bertahan hidup. Adanya pengorbanan masyarakat pada generasi sebelumnya untuk ditujukan kepada generasi selanjutnya.

Pembahasan mengenai kemajuan memunculkan pertanyaan baru, yakni bagaimana proses objektivitas sejarah? Dalam ilmu-ilmu sosial, subjek dan objek adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Fakta-fakta sejarah pun tidak dapat sepenuhnya objektif karena fakta-fakta tersebut telah melalui proses penilaian signifikansi oleh sejarawan. Signifikansi adalah standar objektivitas sejarawan dalam interpretasi sejarah. Objektivitas dalam sejarah hanyalah objektivitas antara fakta dan interpretasi yang dikaitkan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Jika ditemui kesalahan-kesalahan bukan berarti sejarawan melakukan “kesalahan”. Artinya, ada sesuatu yang tidak memadai seperti ditemukannya bukti-bukti baru atau sejarawan melakukan kekeliruan dalam sudut pandang melihat masalah. Lalu bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa sejarawan itu bersikap objektif? Ada dua kemungkinan penyebab, sejarawan tersebut mendapatkan fakta-fakta yang akurat atau ia melakukan signifikansi yang tepat. Objektivitas sejarah terus berkembang seiring pergerakan sejarah. Sejarah lebih memiliki arti dan objektif jika masa lalu bersangkut paut dengan masa depan.

Dalam hal signifikansi, sejarawan tidak hanya mencari logika terhadap arah pergerakan sejarah, tetapi ada rasa moral dalam arah geraknya. Hal inilah yang memunculkan fakta dan nilai. Dalam fakta dan nilai, terdapat penurunan nilai dari fakta serta penurunan fakta dari nilai. Namun kedua hal ini bersifat relatif.

Penurunan nilai dari fakta sebagian benar dan sebagian salah. Hal ini harus dilihat dari sistem nilai yang berasal dari fakta-fakta lingkungan yang bergantung pada periode atau wilayah. Nilai-nilai pun dapat berbeda karena adanya perbedaan fakta-fakta sejarah. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai yang tidak bisa diturunkan dari fakta adalah nilai-nilai yang sepihak dan menyesatkan.

Penurunan fakta dari nilai tidak sepenuhnya benar dan perlu kualifikasi. Penggambaran terhadap fakta-fakta lingkungan disebabkan oleh nilai-nilai yang digunakan untuk mendekati fakta. Masalah ini perlu ditimbang sebab nilai-nilai adalah bagian penting dalam manusia agar mampu menghadapi lingkungan sehingga menghasilkan sejarah. Untuk menangani dikotomi antara fakta dan nilai, di sini penggunakan kata “kebenaran” dipakai. Kebenaran tidak hanya menjelaskan mengenai fakta atau nilai saja. Kebenaran merangkul dua hal itu. Sejarawan perlu seimbang antara fakta dan nilai karena dua hal itu tidak dapat dipisahkan. Bisa saja sejarah menjadi teologi yang membuat arti masa lalu atau menjadi kesastraan masa lalu tanpa arti. Carr juga mengatakan pandangan kita terhadap sejarah mewakili pandangan masyarakat.
***
Pembahasan proses pergerakan sejarah dan sejarawan yang maju telah mencapai pada simpulan tentang kedudukan sejarah dan sejarawan dewasa ini. Pada bab keenam, Carr menjelaskan bagaimana keberlanjutan kemajuan sejarah serta masyarakat masa kini dan masa depan dalam relevansinya: perubahan menyeluruh dan perubahan dari segi geografis.

Sejarah dimulai ketika manusia memikirkan berlalunya waktu dalam konteks peristiwa-peristiwa khas di mana manusia terlibat dan terpengaruh secara sadar. Sejarah adalah perjuangan manusia menggunakan logikanya untuk memahami lingkungannya dan bertindak sesuai pemahamannya. Periode modern telah memperluas dimensi logika dan sejarah bahwa tak hanya lingkungan saja yang dipahami dan ditindak oleh manusia, tetapi juga dirinya sendiri. Mereka mengaitkan kecemerlangan masa lalu dengan tindakan-tindakan untuk guna masa depan.

René Descartes adalah tonggak dimulainya pemikiran manusia terhadap dirinya sendiri, sehingga manusia dapat diposisikan sebagai subjek dan objek. Jean–Jacques Rosseau juga memberikan kesadaran diri baru kepada manusia dan pandangan baru terhadap dunia alam dan kebudayaan tradisional. Pada abad ke-17 dan ke-18, manusia mulai menggunakan logika untuk memahami lingkungan dan hukum-hukumnya. Ketetapan misterius dan takdir gaib mulai menghilang.

Pada transisi dari abad ke-18 ke dunia modern, Hegel muncul dengan mengubah gagasan hukum ketuhanan menjadi hukum logika. Tentang tujuan rasional, Hegel menulis bahwa manusia dalam tindakan untuk mewujudkannya membuat kesempatan untuk memuaskan keinginan mereka sendiri, tetapi maknanya berbeda dari tujuannya. Marx pun membuat transisi menuju konsepsi dunia yang diatur oleh hukum yang berkembang melalui proses rasional. Marx juga berpendapat bahwa sejarah mempunyai tiga hal yang saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan, (1) gerakan yang menyesuaikan dengan hukum objektif, terutama ekonomi; (2) perkembangan pemikiran yang berhubungan dengan hal tersebut melalui proses dialektik; dan (3) tindakan yang berhubungan langsung dalam bentuk perjuangan kelas yang merekonsiliasi dan menyatukan teori serta praktik revolusi.

Kemudian Sigmund Freud menambahkan dimensi baru bagi logika. Freud menitikberatkan pada kondisi psikologis dalam analisisnya. Apa yang dilakukan oleh Freud adalah memperluas kisaran pengetahuan dan pemahaman kita dengan membuka akar ketidaksadaran perilaku menuju kesadaran dan penyelidikan rasional. Hal ini merupakan peningkatan domain logika untuk manusia memahami diri sehingga mampu mengontrol dirinya sendiri, kemudian mengontrol lingkungannya.

Bagi sejarawan, signifikansi Freud memiliki dua arti. Pertama, ia menyatakan bahwa dasar tindakan manusia berasal dari motivasi yang diyakini tidak mampu menjelaskan apa pun, walaupun para pengikutnya dapat menganalisisnya melalui psikoanalisis. Penggunaan psikoanalisis ini bergantung pada pemeriksaan silang pada pasien. Kedua, ia membuat sejarawan memeriksa dirinya terhadap sejarah. Apa motif yang menuju pada pemilihan tema atau periodenya, bagaimana interpretasi fakta-fakta, apa saja latar belakang nasional dan sosial yang membentuk sudut pandangnya. Di sinilah sejarawan tidak lagi sebagai individu yang terpisah dari masyarakat dan sejarah.

Awal abad ke-20 terjadi revolusi-revolusi dalam kehidupan manusia. Adanya perubahan kepercayaan hukum ekonomi objektif menjadi kepercayaan manusia atas nasib ekonominya sendiri. Sains pun tidak lagi condong kepada penyelidikan alam objektif dan membuat hukum-hukum. Sains dapat digunakan melalui logika untuk transformasi lingkungan juga transformasi dirinya sendiri. Telebih itu pula, perubahan dalam persuasi dan indoktrinasi modern sangat berkembang. Dibuatlah kebijakan pendidikan yang merupakan bagian dari kebijakan sosial yang telah disusun secara rasional.

Selain itu, individualisasi berkembang pesat saat itu. Adanya penganekaragaman keahlian, pekerjaan, dan kesempatan individu sesuai dengan pergerakan budaya sehingga berpengaruh pada minat orang untuk belajar. Dalam bidang ilmu mulai banyak spesialisasi individu yang ditawarkan.

Dari beberapa hal yang dipaparkan, Carr menjadikan revolusi teknologi sebagai aspek pertama dalam revolusi abad ke-20. Rasionalisasi produksi mendorong manusia untuk mempelajari mesin-mesin dan membuat mereka berpikir. Hal ini menyebabkan adanya rasionalisasi manusia.

Ada hal yang perlu diperhatikan ketika revolusi abad ke-20 ini berkembang. Individualisasi yang makin menguat ini digunakan oleh kelompok-kelompok yang mencoba untuk “menyetir” sosial. Di sini, para pengiklan komersial dan propagandis politik menggunakan logika untuk melakukan tugasnya. Mereka tidak peduli dengan fakta-fakta yang ada melainkan lebih memilih selera konsumen atau pemilih. Metode yang dilakukan ini menggunakan “hitting below the intellect”. Meskipun demikian, terdapat perbaikan pada tumbuhnya kesadaran logika di masyarakat dari bawah terhadap peran yang dimainkan logika.

Revolusi progresif pun terjadi pada tataran geografis. Pada abad ke-20 muncul negara-negara di luar Eropa Barat dan kelompok negara berbahasa Inggris yang mulai memengaruhi dunia, yakni Eropa Timur, Asia, dan Afrika. Jepang pada 1902 telah masuk aliansi besar kelompok Eropa. Revolusi Rusia pertama pada 1905 telah memengaruhi Persia, Cina dan Turki. Perang dunia I, yang sebenarnya perang saudara Eropa, memengaruhi seluruh dunia sehingga muncul dorongan industri di negara-negara Asia, antietnis asing di Cina, dan nasionalisme India dan Arab.

Perubahan bentuk dunia ini menurut Carr mengkhawatirkan kecenderungan kelompok-kelompok dominan untuk mengabaikan pemahaman perkembangan ini atau cenderung bergonta-ganti sikap antara meremehkan penuh curiga dan merendahkan dengan sopan, lalu kembali bernostalgia dengan masa lalunya yang buruk.

Acton mengatakan bahwa sejarah universal adalah perhatian semua sejarawan yang serius,  tetapi sejarawan-sejarawan di Inggris masih mengabaikannya. Carr pun mengungkapkan bahwa tak ada kemampuan dan kemauan untuk memahami sehingga mengisolasikan diri terhadap kejadian-kejadian di dunia. Carr khawatir akan hilangnya keyakinan terhadap pergerakan dunia. Jika hal itu terjadi, perubahan bukan dipandang lagi sebagai objek kemajuan, tetapi sebagai objek ketakutan. Negara-negara akan tertinggal dan akan kembali ke nostalgia yang dulu tanpa kemajuan karena ketakutan tersebut.


(sulur.id - crn/kln)

0 comments:

Bagaimana kita menyikapi gerak laju zaman dan segala hal yang memengaruhinya? Suatu temuan terkadang menandai titik kemajuan zaman dan me...

Ide Tentang Kemajuan dan Kenapa Kita Harus Belajar Sejarah


Bagaimana kita menyikapi gerak laju zaman dan segala hal yang memengaruhinya? Suatu temuan terkadang menandai titik kemajuan zaman dan menimbulkan suatu "semangat zaman". Sejarah pun tidak luput dari pengaruh-pengaruh itu. Apa saja yang memengaruhi pemahaman terhadap sejarah selama berabad-abad, khususnya ketika manusia telah dirasionalisasi oleh zaman industri?

Pada pertemuan Kelas Historiografi Komunitas Sulur yang ketiga kita akan membahasnya dengan topik "Ide Tentang Kemajuan dan Kenapa Kita Harus Belajar Sejarah" yang berdasarkan atas pembacaan buku E.H Carr What Is History?



Ide Tentang Kemajuan dan Kenapa Kita Harus Belajar Sejarah
Chairani Rahiimi
Senin, 12 Maret 2018
14.30-Selesai
B1.01, FIB, UNPAD

1 comments:

Dalam percakapan tentang sejarah, ada yang sering kali luput dalam pembahasan, yakni apa itu sejarah dan apa itu tulisan sejarah? Pertanyaan...

Sejarah, Tulisan Sejarah, dan Penulisan Sejarah

Dalam percakapan tentang sejarah, ada yang sering kali luput dalam pembahasan, yakni apa itu sejarah dan apa itu tulisan sejarah? Pertanyaan ini tampak sepele, tapi jawaban atas pertanyaan itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Definisi yang umum tentang sejarah, seperti "rekonstruksi masa lalu" hanya salah satu dari sejumlah pengertian yang ada. Dan jawaban atas pertanyaan itu merefleksikan cara kita memandang masa lalu dan masa kini.



Atas dasar itulah Kelompok Belajar Sulur pada semester ini menyelenggarakan kelas historiografi. Dalam sesi ini kami akan fokus pada tiga karya ditulis pada periode yang sama dan mencoba mengelaborasi pertanyaan yang sama: apa itu sejarah dan apa itu tulisan sejarah. Pertama, buku yang akan dibahas adalah buku klasik Apa itu Sejarah? karangan E.H Carr, seorang sejarawan asal Inggris. Pembahasan atas buku ini dimaksudkan untuk menyegarkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan setengah abad yang lalu, yang sampai saat ini masih cukup relevan, tapi sayangnya sering kali diabaikan. Kedua, adalah Writing History: Essay on Epistimology karya Paul Veyne, sejarawan Prancis yang melalui karyanya ini telah ikut mewarnai praktik penulisan sejarah di Prancis dan menggoda para filsuf untuk terlibat dalam perdebatan, terutama pada wilayah epistimologi sejarah. Di dalam karyanya ini, Veyne mengulas tentang apa dan bagaimana pengetahuan sejarah terbentuk. Dengan kata lain, ia membahas apa yang disebut sebagai epistomologi ilmu sejarah. Terakhir, buku yang akan dibahas adalah The Writing of History karya Michel de Certeau yang juga seorang sejarawan Prancis. Certeau dikenal sebagai seorang pemikir kebudayaan. Dalam karyanya ini ia mencoba merefleksikan bagaimana pengetahuan sejarah terbentuk dan beroperasi melalui tulisan.

Pembahasan atas karya-karya tersebut seperti tidak berjejak di bumi, jauh dari persoalan kehidupan sehari-hari yang nyata. Akan tetapi, anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Meskipun demikian, melalui pembahasan atas karya-karya ini diharapkan kajian sejarah jadi lebih menyentuh perkara keseharian, seperti kenapa dalam berargumen orang-orang selalu saja bertopang ke sejarah meski mengaku tidak suka pada sejarah; kenapa studi sejarah kita cenderung romantik; kenapa sejarah yang diproduksi oleh masa kini hampir tidak bisa menjawab persoalan teraktual? Kesalahan sejarah sebagai ilmu yang kurang radikal atau kesalahan sejarawan yang kurang progresif? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam diskusi ini. Tiga buku itu mungkin tidak bisa menjawabnya, tapi setidaknya melalui pembahasan atas karya-karya itu diharapkan akan timbul percakapan-percakapan yang sifatnya epistimologis dalam perbincangan mengenai sejarah.




Sejarah, Fakta Sejarah, dan Sejarawan
Fadly Rahman (Rabu, 28/2/18)

Memahami Ilmu dan Hukum Kausalitas dalam Sejarah
Azmil R. Noel Hakim (Senin, 5/3/18)

Ide Tentang Kemajuan dan Kenapa Kita Harus Belajar Sejarah
Chairani Rahiimi (Seni, 12/3/18)

Apa yang Ditulis Sejarah?
Rizki Putra Zuwandono, Ummu Aiman (Senin, 19/3/18)

Plot dan Kekhasan Peristiwa
Anugrah Rahmatulloh (Senin, 26/3/18)

Tentang Teori dan Konsep
Alika Lahitani (Senin, 2/4/18)

Kausalitas dan Kesadaran Bertindak
Farhan Assidiq (Senin, 9/4/18)

Sejarah: Antara Karya Sastra dan Ilmu
Kelana Wisnu (Senin, 16/4/18)

Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Budi Gustaman (Senin, 23/4/18)

Sejarah, Tulisan, dan Makna
I. Gifar Ramzani (Senin, 30/4/18)

Cara Kerja Sejarah Sebagai Ilmu
Reyonal Octavianus T., Ridha Hamidah Budian (Senin, 7/5/18)




0 comments: